OPINI — Sejak awal kemunculannya sampai saat ini Covid-19 atau yang sering disebut degan corona, telah melumpuhkan segala aktivitas manusia dan membatasi interaksi sosial antar sesama manusia. Sebagian besar negara-negara di dunia yang terserang virus covid-19 ini, membuat kebijakan dengan cara menganjurkan kepada masyarakatnya untuk melakukan aktivitas dari rumah saja atau bahkan ada sebagian menunda segala aktivitasnya. Di Indonesia sendiri akibat dari mewabahnya covid-19, banyak perusahan-perusahan yang telah memikirkan untuk mengambil langkah PHK terhadap karyawannya dikarenakan berkurangnya pemasukan bagi perusahaan.
Selain itu juga masalah lain yang dihadapi oleh sebuah perusahaan dalam situasi seperti ini adalah banyak kontrak tidak dijalankan karena adanya anjuran dari pemerintah yang membatasi segala aktifitas. Perusahaan yang selama kita ketahui dalam setiap kegiatan bisnis yang dilakukan, tentunya harus disertai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak dan dituangkan kedalam sebuah kontrak untuk mengikat kedua belah pihak. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1313 KUHP menerangkan: “Suatu Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kontrak yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan merupakan perbuatan hukum bagi kedua belah pihak yang berarti bahwa ada hubungan hukum diantara keduanya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa, kontrak merupakan sebuah Perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi. Sehingga dalam kontrak telah ada kesepakatan dari satu pihak yang berjanji untuk melakukan sesuatu hal yang merupakan kewajibannya, olehnya itu pihak lainnya pun berhak untuk menuntut kontrak tersebut.
Kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak jelas mensyarakatkan adanya kewajiban untuk memenuhi janji yang telah di sepakati dalam klausul perjanjian. Namun dalam kondisi seperti ini, tentunya sebagai manusia yang memiliki keterbatasan akan merasa tergangu dengan ancaman wabah covid-19 dan untuk keselamatan bersama harus mengikuti anjuran pemerintah untuk membatasi segala aktifitasnya.
Disatu sisi kewajiban untuk memenuhi prestasi yang telah dibuat tidak sepenuhnya dipenuhi atau bahkan sama sekali tidak dapat dipenuhi, jika demikian secara yuridis dapat dikategorikan sebagai wanpestasi atau Covid-19 dapat menjadikan seseorang dalam kondisi ini tergolong Force Majeure.
Pemenuhan Prinsip Resiprositas Dalam Kontrak
Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dari setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara hukum akan menimbulkan akibat hukum, dari akibat hukum tersebut menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang telah bersepakat. Jadi memenuhi prestasi dalam sebuah perjanjian timbul karena adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1320 BW ditentukan empat syarat sahnya, dan salah satunya adalah kata sepakat (konsensus) yang merupakan persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
Memenuhi prestasi dalam sebuah perjanjian juga sebagai bagian dari memenuhi Asas pacta sunt servanda, asas ini menjadikan sebuah perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat janji.
Keharusan melaksanakan hak dan kewajiban dalam sebuah kontrak sama dengan prinsip Resiprositas atau Resiprokal, prinsip ini mensyaratkan para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban sebagai akibat hukum yang yang timbul dari adanya kesepakatan.
Prinsip ini menegaskan pelaksanaan kontrak harus memberi keuntungan timbal balik bagi masing-masing pihak, yang artinya bahwa salah satu pihak tidak boleh melakukan prestasi yang tidak seimbang karena pada prinsipnnya hak satu pihak terdapat kewajiban pihak lainnya. Prinsip menerangkan tentang prestasi timbal balik, sehingga jika salah satu pihak sama sekali tidak memenuhi, tidak tunai memenuhi, terlambat memenuhi dan keliru memenuhi prestas,i akan dikategorikan sebagai wanprestasi.
Prinsip Resiprositas sebagian besar dipakai dalam istilah kontrak internasional yang melibatkan kedua negara dalam berbagai perjanjian, akan tetapi yang mendasar Prinsip Resiprositas adalah adanya pemenuhan hak dan kewajiban timbal balik dalam perjanjian apapun. Sehingga kewajiban menjalankan prinsip Resiprositas dalam kontrak bisa dipakai dalam menentukan seseorang melaukan wanprestasi atau dia tergolong force majeure. Karena prinsip ini meletakan pelaksanaan hak dan kewajiban secara seimbang dari masing-masing pihak sebagai dasar menjalankan prestasi.
Apalagi ditengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini dalam perspektif perjanjian internasional, masing-masing negara juga harus melihat pemenuhan Prinsip Resiprositas dari negara lain yang terganggu aktifitasnya akibat pendemi.
Pemenuhan Prinsip Resiprositas dalam sebuah kontrak baik itu antar individu maupun secara Internasional yang melibatkan negara merupakan suatu keharusan, akan tetapi disatu sisi ada pertimbangan-pertimbangan lain.
Dalam hal ini misalnya seperti tertundanya pengiriman barang dari satu daerah ke daerah yang lain akibat kebijakan pemerintah, sehingga barang yang telah di sepakati sampai pada tanggal yang telah ditentukan harus di tunda lagi. Pun sama hal nya dengan hubungan kerja sama antar negara yang harus tertunda akibat pemberlakukan penutupan penerbangan ke negara tersebt atau ke luar dari negara tersebut akibat pandemi covid-19.
Dalam kondisi seperti ini tentunya tidak selayaknya diberikan teguran (Sommatie) atau bahkan di kategorikan sebagai tidak memenuhi prestasi (wanprestasi).
Covid-19 Sebagai Dasar Force Majeure dalam Kontrak.
Sebuah kontrak atau perjanjian membentuk suatu entitas privat antara para pihak yang terlibat di dalamnya, dimana masing-masing pihak memiliki hak secara yuridis untuk menuntut pelaksanaan atau dipenuhinya segala unsur yang ada dalam perjanjian tersebut. Hubungan hukum yang lahir melalui kontrak/perjanjian tersebut tidak selalu terpenuhi maksud atau tujuannya (prestasi), dimana hal tersebut dapat terjadi karena pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut melakukan cidera janji atau breach of contract (wanprestasi).
Wanprestasi ini dapat terjadi dan dilakukan baik itu oleh kedua belah pihak, karena adanya paksaan, kekeliruan, kecurangan, maupun keadaan kahar/memaksa atau yang dikenal sebagai force majeure.
Persoalan yang paling mendasar saat ini adalah apakah dalam kondisi pendemi Covid-19 seperti ini debitur yang terhalang untuk memenuhi prestasinya dapat dikategorikan sebagai wanpretasi atau dia dalam keadaan force majeure….??
Dalam Pasal 1267 BW mengatur tentang kondisi debitur dalam keadaan wanprestasi, penulis berpedapat jika dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, seorang debitur dapat memilih opsi yang telah diatur dalam Pasal 1267 BW.
Pasal ini dapat digunakan oleh debitur jika pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan sebagai alasan force majeure dalam kontrak, dalam pasal tersebut mengatur tentang pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, ganti kerugian, pembatalan perjanjian timbal balik dan pembatalan dengan ganti kerugian. Sehingga jika kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan, maka tuntutan itu tidak termasuk kedalam sanksi atas kelalaian karena pemenuhan perikatan sudah menjadi kesanggupan debitur sejak awal untuk melaksanakannya.
Kondisi pandemi Covid-19 merupakan alasan yang logis bagi seorang debitur dalam posisi force majeure, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menunda pemenuhan kewajibannya kepada kreditur.
Hal ini cukup kuat alasannya karena bukan saja ganasnya Covid-19, tetapi adanya peraturan pemerintah tentang larangan beraktifitas yang di sertai dengan sanksi bagi yang tidak taat. Ini berarti bahwa debitur memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tetapi harus ditunda karena adanya pembatasan aktifitas oleh pemerintah.
Menurut Asser Goudoever dan Hofmann dengan berdasar pada kepatutan, bahwa debitur masih dapat melaksanakan perikatan tersebut dan kreditur sepatutnya menerima pelaksanaan perikatan tersebut. Jadi dalam kondisi pandemi seperti ini, kreditur harus menerima penundaan pemenuhan hak nya oleh debitur karena debitur termasuk dalam force majeure.
Overmacht atau yang sering disebut dengan force majeure termuat dan diatur dalam bagian Umum Buku III BW (KUH Perdata) yang dituangkan dalam pasal 1244, 1245 dan 1444 dalam tiga pasal tersebut menjelaskan tentang macam-macam force majeure.
Sehingga dalam kondisi pendemi Covid-19 saat ini, menurut penulis pasal 1245 BW yang tepat digunakan sebagai dasar force majeure bagi seorang debitur. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa “tidaklah biaya ganti rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja, siberutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang wajbkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Kata siberutang berhalangan memberikan atau dalam pengertian yang lain berhalangan memenuhi janjinya, merupakan dasar yang bisa dipakai untuk debitur menunda memenuhi kewajibannya dari waktu yang telah ditentukan atau disepakati.
Ahmad Ichsan berpendapat dalam buku yang berjudul “Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata” tentang keadaan memaksa yang diatur dalam Pasal 1243 BW dengan menyebutkan kalimat “tidak berkesempatan melakuan keawjibannya”, sehingga penulis meyakini bahwa Covid-19 dapat dijadikan sebagai dasar force majeure dengan alasan debitur tidak berkesempatan memenuhi kewajibannya saat ini dan akan dilakukan jika kondisi sudah membaik.
Oleh karena itu menurut penulis Covid-19 dapat dikategorikan sebagai Overmacht yang sementara, yang dimaksud dengan Overmacht yang sementara dalam bukunya Riduan Syahrani adalah Overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda daripada waktu yang ditentukan semula dalam perjanjian.
*Penulis merupakan Akademisi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare.