Oleh: Rizki Putra Dewantoro, M.Si (Kader Muhammadiyah)
Dalam upaya memajukan sistem pendidikan Indonesia, pendekatan deep learning (pembelajaran mendalam) dinilai sebagai solusi strategis untuk menjawab tantangan pembelajaran konvensional yang masih berfokus pada hafalan dan ujian. Berbeda dengan metode tradisional, deep learning menekankan pemahaman konseptual yang holistik, keterampilan mengaitkan antardisiplin ilmu, serta kemampuan menerapkan pengetahuan dalam konteks kehidupan nyata. Melalui pendekatan ini, pendidikan diharapkan dapat melahirkan generasi yang kritis, adaptif, dan mampu menyelesaikan masalah secara kreatif.
Deep learning bukan sekadar menghafal materi atau menyelesaikan soal ujian, melainkan proses pembelajaran yang bertumpu pada internalisasi konsep, analisis mendalam, dan integrasi pengetahuan dengan pengalaman nyata. Misalnya, siswa tidak hanya diajarkan rumus matematika, tetapi juga diajak memahami kegunaannya dalam merancang bangunan ramah lingkungan atau mengoptimalkan produksi usaha kecil. Pendekatan ini selaras dengan teori kognitif yang menyatakan bahwa pembelajaran efektif terjadi ketika informasi diproses secara mendalam, dikaitkan dengan memori jangka panjang, dan dihubungkan dengan konteks relevan. Proses ini melibatkan aspek attention (perhatian), deep level processing (pengolahan informasi mendalam), dan retrieval (pengambilan kembali informasi), yang terbukti meningkatkan retensi pengetahuan.
Tiga Prinsip Utama Deep Learning
Agar implementasi deep learning optimal, tiga prinsip utama harus diterapkan, pertama Mindful (Penuh Kesadaran) yaitu guru menciptakan lingkungan inklusif yang menghargai keberagaman cara belajar siswa. Kedua, Meaningful (Penuh Makna) di mana materi pembelajaran dirancang agar siswa melihat relevansi ilmu dengan kehidupan. Ketiga, Joyful (Menyenangkan) yaitu proses belajar dikemas secara interaktif, seperti gamifikasi atau diskusi kelompok, sehingga siswa merasa termotivasi dan terlibat aktif.
Senada, kajian yang dilakukan oleh Diputera dan kawan-kawan (2024) dalam Bunga Rampai Usia Emas (BRUE) mengulas pentingnya prinsip deep learning dalam konteks pendidikan anak usia dini (PAUD). Konsep deep learning di sini tidak merujuk pada teknologi algoritma komputer, melainkan pada pendekatan pedagogis yang mencakup tiga aspek fundamental seperti meaningful learning (pembelajaran bermakna), mindful learning (pembelajaran sadar), dan joyful learning (pembelajaran menyenangkan). Meskipun istilah teknis seperti deep learning mungkin terdengar asing di lingkungan PAUD, esensinya justru sangat relevan.
Pembelajaran bermakna, misalnya, dapat diwujudkan dengan menghubungkan materi ajar dengan pengalaman konkret anak, seperti menggunakan cerita atau objek sehari-hari untuk mengenalkan konsep matematika sederhana. Sementara itu, mindful learning menekankan pelatihan fokus dan konsentrasi melalui aktivitas yang terstruktur namun fleksibel, seperti permainan puzzle atau kegiatan seni yang memicu kreativitas. Adapun joyful learning bertumpu pada penciptaan lingkungan belajar yang positif, di mana anak merasa aman, didukung, dan termotivasi untuk mengeksplorasi hal baru tanpa tekanan. Ketiga prinsip ini, ketika diadaptasi secara tepat, tidak hanya mendukung perkembangan kognitif, tetapi juga membentuk fondasi kecintaan belajar sepanjang hayat serta kesiapan anak untuk menghadapi jenjang pendidikan yang lebih kompleks.
Dalam pendekatan ini, peran guru bergeser dari sekadar penyampai materi menjadi fasilitator yang membimbing siswa mengeksplorasi konsep, bertanya, dan merefleksikan pembelajaran. Guru juga perlu merancang kurikulum yang tidak terlalu padat, tetapi fokus pada materi esensial dengan kedalaman analisis. Misalnya, mengurangi daftar hafalan sejarah dan menggantinya dengan proyek analisis dampak peristiwa bersejarah terhadap kondisi sosial saat ini. Selain itu, nilai-nilai seperti integritas, empati, dan kolaborasi harus diintegrasikan dalam semua mata pelajaran untuk membentuk karakter siswa.
Di sisi lain, pendidikan holistik menjadi pendekatan yang tak kalah penting dalam membentuk manusia utuh. Ghani dan Riadi (eds., 2012) menjelaskan bahwa pendidikan holistik berkaitan erat dengan pedagogik transformatif, yang bertujuan mengembangkan peserta didik secara menyeluruh—baik secara intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual. Merujuk pada pemikiran Tilaar, proses pendidikan harus menjadi wahana individuasi, yakni proses di mana anak didik belajar menjadi dirinya sendiri melalui eksplorasi potensi dan pengambilan keputusan mandiri.
Latifah (2008) memperkuat gagasan ini dengan tiga prinsip pendidikan holistik: connectedness (keterkaitan antarunsur dalam sistem pembelajaran), wholeness (keutuhan yang mencakup semua aspek kehidupan), dan being (proses menjadi diri sendiri melalui pembelajaran aktif). Prinsip-prinsip ini selaras dengan filosofi deep learning, terutama dalam menekankan pembelajaran yang kontekstual, reflektif, dan berpusat pada peserta didik. Pendidikan holistik, dengan demikian, tidak hanya mengajarkan anak untuk menghafal informasi, tetapi juga memahami hubungan antara pengetahuan, kehidupan nyata, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah telah mengadopsi dan mengembangkan paradigma pendidikan holistik-integratif sebagai respons terhadap tantangan zaman. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa pendidikan holistik-integratif menjadi landasan untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak mulia, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan.
Visi ini sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045, di mana kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci kemajuan bangsa. Pendidikan holistik-integratif ala Muhammadiyah memadukan penguatan kompetensi kognitif melalui kurikulum berbasis keilmuan, penanaman nilai-nilai agama dan moral melalui pembelajaran akidah-akhlak, serta pengembangan keterampilan hidup seperti kolaborasi, kreativitas, dan berpikir kritis.
Model ini juga mengakar pada filosofi Islam Berkemajuan, yang menekankan keseimbangan antara tradisi keagamaan dan modernitas. Melalui lembaga pendidikannya, Muhammadiyah berupaya mencetak intelektual muslim yang tidak hanya menguasai disiplin ilmu, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan komitmen untuk berkontribusi pada kemaslahatan umat.
Keterkaitan antara deep learning, pendidikan holistik, dan model Muhammadiyah terletak pada kesamaan visi tentang pembelajaran yang mendalam dan transformatif. Deep learning menawarkan metode untuk membuat proses belajar lebih bermakna dan menyenangkan, sementara pendidikan holistik memberikan kerangka filosofis untuk mengintegrasikan semua dimensi perkembangan anak.
Muhammadiyah, dengan pendekatan holistik-integratifnya, menjadi contoh nyata bagaimana prinsip-prinsip ini dapat dioperasionalkan dalam sistem pendidikan formal. Misalnya, kegiatan pembelajaran di PAUD ‘Aisyiyah sering kali dirancang untuk menggabungkan permainan edukatif (joyful learning), refleksi nilai-nilai keislaman (connectedness), dan proyek kolaboratif yang melibatkan orang tua atau komunitas (wholeness). Sinergi ini menunjukkan bahwa pendekatan parsial dalam pendidikan telah usang; yang diperlukan kini adalah integrasi antara teori pembelajaran modern, nilai-nilai kemanusiaan universal, dan kearifan lokal.
Jika diimplementasikan secara konsisten, deep learning dapat menjadikan sistem pendidikan Indonesia lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Siswa tidak hanya menguasai konten akademik, tetapi juga mengembangkan critical thinking, kreativitas, dan kemampuan berpikir sistemik. Hal ini sejalan dengan kebutuhan era digital yang menuntut sumber daya manusia mampu berinovasi dan menyelesaikan masalah kompleks. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya generasi yang siap membangun masa depan bangsa secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, tantangan pendidikan di era disruptif menuntut inovasi yang berkelanjutan. Prinsip deep learning dan pendidikan holistik bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan untuk memastikan anak didik tidak hanya menjadi penerima pasif informasi, melainkan pembelajar sepanjang hayat yang kritis, kreatif, dan berkarakter. Dukungan pemerintah, pelatihan guru berbasis kompetensi, dan penyediaan infrastruktur pembelajaran yang memadai menjadi kunci keberhasilan transformasi ini. (*)