OPINI – Memasuki musim penghujan tentu akan memberikan suasana sejuk bagi kita, namun jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Parepare, suasana seakan terasa menjadi panas oleh hiruk pikuk wacana dan debat tentang pilkada. Tulisan ini terinspirasi dari postingan salah seorang pendukung pasangan calon (paslon) di group media sosial facebook Aku Cinta Pareapare (ACP) yang mengatakan, “jangan marahi anak-anak yang bermain dan bercanda di Masjid. Marahi saja mereka yang ke Masjid hanya menjelang pemilu”.
Dari beberapa kesempatan, saya sering berkelakar tentang sebuah anekdot yang mengatakan, “jika ingin merusak bangsa, maka hancurkan saja budayanya,” dan ini sudah benar-benar terjadi, dimana budaya berdemokrasi kita sudah kebablasan, dan sangat memprihatinkan.
Suasana persaingan demokrasi menjelang pilkada yang seharusnya menggairahkan telah berubah dan cenderung mengkhawatirkan. Seharusnya kampanye rasional yang ditonjolkan, akan tetapi emosi dan sentimen pribadi mengambil alih.
Bila hal ini terus berlanjut dan makin meningkat ketika masa pemilihan makin mendekat dan kita hanya membiarkannya, maka bukan saja kualitas demokrasi kita akan menurun hingga titik nadir, akan tetapi juga berbahaya bagi stabilitas di kota kita tercinta ini.
Para pendukung paslon kelihatannya terlalu bersemangat, tanpa atau dengan sepengetahuan para paslon. Bukannya mengkampanyekan keunggulan dan rekam jejak paslon yang mereka unggulkan, akan tetapi para pendukung itu lebih banyak memilih menonjolkan sisi negatif.
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Setiap orang juga bebas berbicara dan mengutarakan pandangannya. Berkampanye sepuasnya untuk mendukung calon yang dianggapnya terbaik, tidak dilarang. Tapi demokrasi juga ada aturan mainnya. Ada hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan mengatur serta membatasi prilaku kita. Tujuannya tentu tidak lain dan tidak bukan agar demokrasi itu sendiri selamat sampai tujuan.
Bersitegang dalam bersaing sampai batas tertentu boleh saja. Tetapi ketika sentimen pribadi atau bahkan urusan ibadah seseorang yang seharusnya dipahami bahwa itu adalah urusan mereka dan Tuhannya.
Jika itu tetap dipaksakan, hampir bisa dipastikan warga telah memasuki arena yang sangat peka dan emosional yang dapat menyulut bentrok dan adu fisik. Bukan adu akal tapi adu emosi. Bukan adu argumen tapi saling bully. Bukan adu otak tapi adu otot. Dan tanda-tanda ke arah ini sudah mulai tampak. Saat ini masih terbatas di media sosial. Ketika hal ini terus berlanjut dan meluas sampai ke darat, makin mendekati masa pemilihan makin panas, maka kerukunan akan terancam, persatuan akan terpuruk, dengan konsekuensi kehancuran atas segala yang sudah kita bangun selama ini dengan susah payah.
Bisa saja apa yang disampaikan oleh penulis barangkali dianggap suatu kekhawatiran yang sangat berlebihan. Namun, dari pengalaman sebelumnya, kita tidak boleh lupa dan menganggap kecil potensi bahaya yang disebabkan oleh konflik yang disebabkan oleh isu-isu yang sangat sensitif.
Karenanya, marilah kita sama-sama bersaing dengan cara beradab, menonjolkan figur atau calon pemimpin yang kita dambakan dari sisi karakter, rekam jejak, kemampuan, kejujuran, dan program-programnya yang paling realistis dan menguntungkan warga atau yang berpihak kepada rakyat. Bukan sisi-sisi calon pemimpin yang tidak relevan dan berpotensi menimbulkan perseteruan sesama warga. Selamat berpesta demokrasi. Bukankah pesta harus disambut dengan suka cita, bukan saling sindir dan saling bully. Semoga yang terbaiklah dan yang kita harapkan akan terpilih sebagai pemimpin kita di Kota yang sama kita cintai ini. (*)