MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Maraknya media online di Indonesia menuntut tanggungjawab dikelola secara profesional sesuai standar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Salah satu indikatornya, dengan mendaftarkan ke Dewan Pers untuk terverifikasi secara administratif maupun faktual. Proses tersebut dilakukan secara bertahap mengingat berbagai dokumen pendukung mesti dilengkapi.
Wartawan pun harus tetap melakukan kerja-kerja jurnalistik sesuai UU Pers dan KEJ. Sehingga, tidak timbul kesan sebagai media abal-abal.
Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun menyebut, istilah media abal-abal hanya digunakan pada media yang isinya tidak sesuai standar jurnalistik.
“Istilah abal-abal itu digunakan untuk media yang isinya tidak sesuai standar jurnalistik, umumnya berita digunakan untuk cari duit, dan tidak berbadan hukum,” tegasnya kepada Pijarnews.com, Sabtu (15/2/2020).
Mengenai definisi media abal-abal ini, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulsel Herwin Bahar juga angkat bicara.
“Memang betul, semua perusahaan media itu harus mendapat verifikasi administrasi dan faktual dari Dewan Pers. Tetapi semua ada proses dan tahapannya. Dan yang utama tidak semua media, utamanya media daring itu langsung dijustifikasi abal-abal,” ujar Herwin Bahar kepada wartawan di Makassar.
Dikutip dari KanalKalimantan.com edisi 6 Februari 2020 lalu, mengenai isu adanya permintaan dari Dewan Pers kepada pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan media yang telah terverifikasi Dewan Pers. Isu itu ditepis Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh.
“Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan media yang belum terfaktual oleh Dewan Pers,” kata Nuh saat itu.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun menambahkan apa yang disampaikan oleh Nuh. Menurut jurnalis senior ini, tidak masalah adanya kerja sama antara media dengan pemerintah daerah, selama media tersebut merupakan sebuah perusahaan berbadan hukum.
“Dewan Pers tidak pernah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa media yang boleh bermitra dengan pemerintah itu (harus terverifikasi). Tidak ada surat itu,” tambah Hendry. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna