JAKARTA, PIJARNEWS.COM--Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara mengutarakan analisisnya terkait larangan thrifting (berbelanja produk bekas), khususnya baju bekas impor, yang sebelumnya dilontarkan Presiden Joko Widodo. Presiden menilai impor baju bekas bisa merugikan industri dalam negeri.
Larangan impor pakaian bekas tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Melalui peraturan tersebut, Menteri Perdagangan mengatur barang yang dilarang untuk diimpor. Dalam Pasal 2 Ayat (3) dijelaskan bahwa pakaian bekas impor termasuk barang yang dilarang impor. “Barang Dilarang Impor, berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas”.
Khusus pakaian bekas impor, BPS melaporkan 26,22 ton produk pakaian berhasil diimpor pada 2022 senilai US$272,146 atau setara Rp4,22 miliar. Negara yang rutin mengirimkan stok baju bekas dalam negeri dipimpin oleh Australia, diikuti Jepang, AS, Singapura, Malaysia, Cina, Prancis, dan Thailand.
Gaya Hidup
Menurut Dr. Fika, thrifting merupakan bagian gaya hidup, khususnya dari negara maju. “Konsumennya kebanyakan generasi milenial dan Z yang 250% lebih cepat dibandingkan generasi yang lain. Bahkan, bersedia membayar lebih banyak untuk pakaian yang mengusung konsep ramah lingkungan,” jelasnya dalam “Fenomena Thrifting: Antara Tren Gaya Hidup dan Industri Tekstil dalam Negeri” di kanal Peradaban Islam, Senin (20-3-2023).
Maraknya thrifting ini, imbuhnya, tidak terlepas dari tren shopping haul atau membongkar pakaian yang biasanya dilakukan para influencer, baik di dalam maupun luar negeri.
“Ini menjadi tren anak muda yang ingin bergaya dan mendapatkan produk dengan harga miring. Ditambah lagi, di negara maju dengan tingkat produksi tinggi, semua harus serba baru sehingga barang-barang bekas harus dibuang dan negara ketiga menjadi pasar barunya, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Dr. Fika menuturkan, meski pada awalnya konsep thrifting adalah mendorong mayarakat mengurangi limbah tekstil, nyatanya limbah tekstil makin membeludak.
“Ini menjadi masalah ketika melihatnya secara makro, yakni saat orang menjadikan pakaian bekas impor ini sebagai solusi memenuhi kebutuhan sandang, akhirnya ada yang menilainya mengancam industri dalam negeri, khususnya tekstil,” ucapnya.
Waste Management
Dr. Fika mengemukakan, negara-negara maju, seperti Singapura memiliki waste management, tetapi sebagaimana lazimnya kapitalisme, tetap ada industri yang hidup.
“Meskipun ada zero waste city, tetapi hanya di lingkup Singapura, sedangkan tumpahannya masuk ke negara berkembang di sekitarnya. Walaupun sebagian besar limbah banyak yang terkurangi dengan minat pasar yang tinggi terhadap pakaian bekas, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat masih berlaku pilih-pilih,” ungkapnya.
Ia mencermati, daya beli masyarakat Indonesia yang tidak sebesar masyarakat Singapura menyebabkan terjadinya kesenjangan daya beli. “Thrifting sendiri disebut sebagai bentuk konsumerisme masyarakat berpenghasilan rendah,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, masyarakat Singapura itu sangat anti membeli barang bekas, bahkan i-phone rusak sedikit saja, mereka buang karena biaya servisnya lebih tinggi.
“Ini menjadikan mereka harus memiliki barang-barang serba baru. Belum lagi, perputaran barang baru sangat cepat sehingga waste management juga harus cepat,” ulasnya.
Selain itu, ia mengatakan, dampak thrifting ini dihubungkan pula dengan ancaman terhadap industri tekstil nasional karena mendapat pesaing dari maraknya pakaian bekas impor.
“Ini adalah persoalan di semua level, baik persoalan gaya hidup di level individu, gaya hidup generasi secara kolektif, pengaruh media sosial yang sangat tinggi, dan pengaruh sistem perdagangan internasional atau perdagangan bebas yang asimetris (menimbulkan kesenjangan). Akarnya adalah persoalan ideologis sehingga muncul masalah dilematis dalam poros kehidupan kapitalistik,” bebernya.
Kehadiran Negara
Dr. Fika menegaskan, berbagai kondisi ini mengharuskan kehadiran negara. “Islam dengan aturan ekonominya secara makro, secara bersamaan menyelesaikan pula persoalan pada aspek individu. Pada saat yang sama menjamin hak-hak hidup, dan memungkinkan adanya kemewahan karena menikmati kualitas. Namun, masyarakatnya dipastikan memiliki gaya hidup yang khas, bukan menjadikan materi itu segala-galanya,” urainya.
Negara pun, lanjutnya, harus melakukan edukasi gaya hidup takwa agar masyarakat tidak terjatuh dalam lembah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme.
“Dalam hal ini, negara harus menjadi junnah (perisai) yang melindungi pola konsumsi masyarakatnya,” pungkasnya. (*)
Sumber: MuslimahNews.com