Dahulu kala, ada sebuah hutan bakau dipinggir laut dekat Gunung Nepo. Hutan itu dikenal dengan nama Parapara. Pada suatu hari, satwa yang mendiami hutan tersebut lagi ramai membicarakan rencana pemilihan raja baru untuk memerintah 5 tahun kedepan. Nampaknya satwa yang hidup di hutan itu sudah pada tahu. Setiap 5 tahunan mereka akan melakukan pemilihan raja dan pemimpin yang diharapkan dapat memandu mereka mewujudkan kehidupan damai dan sejahtera di wilayah mereka.
Dari informasi yang mulai beredar, ada beberapa calon raja baru yang ingin duduk di singgasana dan memerintah di hutan Parapara, ada Singa, Harimau, Haina, Badak, Rusa, Monyet dan Buaya. Mereka semua sudah pada memasang gambar mereka dengan disertai program yang akan mereka kerjakan jika dipercaya menjadi raja.
Hiruk-pikuk para pendukung calon mempromosikan dukungannya dengan berbagai cara dan metode mulai menghias kehidupan hutan tersebut. Ada yang naik ke atas pohon lalu menggoyang-goyang ranting agar mendapat perhatian, ada yang mengaum untuk menakuti penduduk hutan, ada yang mencakar-cakar pohon memperlihatkan ketajaman kukunya, ada juga yang rajin berbagi buah untuk menggambarkan dia dermawan, ada yang mempertontonkan keindahan tubuhnya, keindahan tanduk-nya, serta kekuatan larinya.
Bahkan ada yang berpuasa makan untuk mencitrakan dia peduli, dan banyak lagi tingkah mereka untuk membuat penduduk hutan bisa mempercayakan kepemimpinan kepadanya.
Nampaknya, hinggar-bingar dan keriuhan di hutan itu membangunkan Raja Agung yang bertahta di puncak gunung Nepo dari istirahatnya. Sang raja mencoba memasang telinganya, dia mendengar suara yang kadang rendah, lalu meninggi di hutan Parapara. Auman, ringkikan bersahut-sahutan, dan saat matanya di buka pelan lalu memandang ke arah Hutan tersebut.
Raja Agung melihat beberapa pohon dan dahan kayu bergoyang keras, air sungai sampai ke muara beriak dahsyat, bahkan beberapa dahan dan ranting jadi patah. Dia sebenarnya faham apa yang terjadi, bahkan dia juga suka dengan atraksi seperti itu, namun dia juga punya kepentingan untuk menjaga stabilitas di wilayah kerajaan Gunung Nepo dan sekitarnya.
Suatu hari, dia mencoba mengundang beberapa calon pemimpin di hutan Parapara yang dianggap bisa patuh dan setia pada kekuasaannya untuk mendengarkan progres usaha mereka dalam memenangkan simpati penduduk hutan, serta mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan.
Dari hasil pertemuan dan diskusi antara Raja Agung dengan si Harimau dan si Singa dia mendapat gambaran bahwa kalau pemilik hutan ingin berkuasa di hutannya, maka antara si Harimau dan si Singa mesti disatukan, dan kalau perlu “dipaksa kawin” agar mereka bisa bersatu. Karena jika tidak, maka Buaya, penguasa sungai dan muara akan menjadi raja di hutan itu, dan ini dianggap dapat merusak wibawa dan martabat kerajaan hutan.
Setelah pemikiran ini disampaikan kepada Harimau dan Singa, sempat terjadi tarik-menarik dan diskusi yang panas. Karena keduanya merasa layak jadi Raja dan ogah menjadi Perdana Menteri.
Raja Agung: “kamu Harimau dan Singa, mesti menyatu”. Salah satu kalian jadi raja dan yang lain jadi Perdana Menteri.”
Harimau: “Maaf tuangku, sejak awal, bahkan sejak periode-periode sebelumnya cita-cita saya memang untuk menjadi Raja, dan bukan menjadi Perdana Menteri. Saya bersedia bersatu jika saya pada posisi Raja”
“Tidak bisa begitu tuanku, saya juga sama, saya pada periode dahulu juga sudah bercita-cita jadi Raja, bukan dan tidak untuk posisi Perdana Menteri. Bahkan periode kemarin saya sudah jadi Perdana Menteri sekiranya saya mau.” kata Singa tidak kalah tegasnya.
Raja Agung: “Begini…, kalian adalah adik-adik saya, jika kalian berkeras dan tidak ada mau mengalah salah satunya, maka kerajaan di hutan itu akan dikuasai oleh penguasa sungai dan muara, kalian mesti bersatu. Masalah pembagian kekuasaan, itu gampang dibicarakan, kita buat aturannya.”
“Lalu siapa diantara kami yang mesti jadi raja dan menjadi perdana menteri tuanku?” tanya Singa dan Harimau bersamaan.
“Begini…, ini keputusan saya, Harimau jadi Raja dan kamu Singa jadi Perdana Menteri. Tetapi dalam menjalankan pemerintahan nanti, Harimau tidak boleh membuat kebijakan tanpa pembicaraan dan diskusi antar kalian berdua. Kalian mesti jadi dwi-tunggal, tidak boleh jalan sendiri-sendiri.” Kata Raja Agung tegas.
Mendengar keputusan tersebut, keduanya akhirnya menerima. Harimau merasa puas karena keinginannya dapat disetujui Raja Agung. Sedangkan Singa, meski perasaan mendongkol, namun dia berharap itulah keputusan yang terbaik. Semoga pesan Raja Agung tentang mekanisme pengambilan keputusan dan kebijakan dalam pemerintahan nanti dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Pada hari yang sudah ditentukan, pelaksanaan pemilihan raja di hutan Parapara dilaksanakan. Para calon dan pendukungnya optimis akan memenangkan pemilihan itu. si Harimau dan si Singa yang dahulunya menjadi rival kuat, akhirnya menjadi satu. Penguasa sungai dan muara juga hadir dengan kebesarannya, demikian pula penguasa pepohonan dan penghuni hutan lainnya hadir di tempat pemilihan.
Panitia pemilihan lalu menyampaikan, bahwa masing-masing hewan akan menulisakan nama calon yang akan dipilihnya dibilik suara. Pemilihanpun berjalan dengan baik, meski riak-riak saling menggesekkan tubuh, mengibas-ibaskan ekor dan injak kaki menjadi pernak-pernik dalam acara tersebut.
Setelah semua sudah memberikan suara, panitia lalu menghitung hasilnya, dan dinyatakan bahwa pasangan Harimau dan Singa menjadi pemenang. Maka dikukuhkanlah mereka sebagai Raja dan Perdana Menteri hutan Parapara untuk 5 tahun kedepan.
Bagaimana kisah mereka dalam menjalankan pemerintahan di hutan itu? Apakah mereka yang pada dasarnya masing-masing memiliki ego berkuasa yang besar bisa bergandeng tangan dan seiring memberi layanan kepada penduduk hutan dengan baik? kita tunggu episode berikutnya dengan judul “Berebut Kuasa”.
Saiful Jihad.
Makassar, 28 Februari 2018