OPINI-Berbagai mahasiswa di seluruh Indonesia berbondong-bondong turun ke jalan untuk berdemonstrasi di tengah situasiyang semakin kacau. Kondisi Indonesia saat ini seakan bertolak belakang dengan visi Indonesia Emas 2045, yang seharusnya membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat. Alih-alih menuju kejayaan, realita yang ada justru menggambarkan Indonesia yang cukup memprihatinkan.
Harapan besar akan Indonesia Emas 2045 kini terasa semakin jauh dari kenyataan. Alih-alih menunjukkan kemajuan, berbagai kebijakan yang diambil justru menunjukkan ketimpangan dan ketidakpastian. Salah satunya adalah kebijakan efisiensi anggaran yang baru saja digulirkan dan langsung menuai kontroversi.
Dalam konteks keuangan negara, efisiensi anggaran mengacu pada upaya penggunaan sumber daya secara optimal dalam proses penganggaran untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan fiskal. Namun, kebijakan ini menuai reaksi keras dari masyarakat, terutama mahasiswa, yang menganggapnya sebagai langkah yang kontradiktif. Mereka khawatir efisiensi anggaran akan berujung pada pemangkasan layanan publik yang krusial, seperti listrik (#IndonesiaGelap), pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar lainnya, sehingga akan semakin memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Kebijakan efisiensi anggaran sering dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan keuangan negara, tetapi pada kenyataannya, kebijakan ini sering berujung pada pemangkasan hak-hak rakyat yang paling penting. Fenomena #IndonesiaGelap menunjukkan bagaimana efisiensi anggaran memengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung. Pemadaman listrik yang semakin sering terjadi di berbagai tempat tidak hanya mengganggu aktivitas sehari-hari, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi bisnis, terutama UMKM yang bergantung pada pasokan listrik yang stabil. Pemadaman listrik juga meningkatkan risiko keamanan dan menghambat layanan kesehatan di rumah sakit karena tidak memiliki pasokan listrik cadangan. Ironisnya, anggaran untuk proyek besar terus mengalir tanpa penilaian yang jelas sementara subsidi listrik dikurangi untuk alasan efisiensi.
Pemangkasan anggaran semakin terasa di sektor pendidikan dan kesehatan. Bantuan seperti KIP dan beasiswa berkurang karena pemotongan dana pendidikan, yang membuat akses pendidikan semakin sulit bagi kelompok kurang mampu. Selain itu, kualitas pembelajaran dapat menurun jika anggaran terbatas untuk peningkatan fasilitas dan pembangunan sekolah. Hal yang sama terjadi di sektor kesehatan, anggaran yang efisien dapat menyebabkan pengurangan subsidi BPJS, pengurangan pasokan obat dan alat kesehatan rumah sakit, dan pengurangan pembiayaan untuk tenaga kesehatan di daerah terpencil. Akibatnya, masyarakat miskin yang paling membutuhkan layanan kesehatan justru menghadapi tantangan yang semakin besar. Kebijakan ini dapat menimbulkan perbedaan yang lebih besar dan berbahaya bagi masyarakat jika efisiensi anggaran hanya berarti mengurangi sektor-sektor yang sangat penting tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya.
Selain itu, kebijakan efisiensi ini berdampak pada sektor infrastruktur dan transportasi publik. Layanan transportasi umum yang sangat dibutuhkan oleh kelas menengah ke bawah dapat menjadi lebih buruk jika anggaran dikurangkan. Misalnya, jika subsidi diberlakukan, tarif transportasi dapat meningkat, membuat rakyat kecil yang bergantung pada layanan tersebut merasa terbebani. Keterbatasan anggaran dapat membuat pembangunan infrastruktur di daerah terpencil tertunda, semakin memperlebar jarak antara kota besar dan desa. Jika efisiensi anggaran hanya diterapkan pada bidang-bidang yang langsung mempengaruhi kehidupan rakyat, dan proyek-proyek besar terus dilaksanakan tanpa evaluasi kritis, maka ini bukan efisiensi yang sebenarnya, tetapi pengalihan tanggung jawab dari negara ke rakyat.
Di tengah pemangkasan anggaran di bidang penting seperti pendidikan, kesehatan, energi, dan infrastruktur publik, muncul pertanyaan besar tentang prioritas anggaran pemerintah. Proyek besar seperti Danantara adalah contoh yang mencolok karena tetap menerima dana besar meskipun masyarakat menghadapi berbagai konsekuensi dari efisiensi anggaran. Danatara berasal dari Daya Anagata Nusantara, yang berarti daya adalah energi atau kekuatan, Anagata berarti masa depan, dan Nusantara merujuk pada Tanah Air sebagai badan pengelola investasi. Dengan fokus pada investasi non-APBN, Danatara akan menginvestasikan modal yang berasal dari aset negara dan sumber daya alam ke dalam berbagai proyek yang berkelanjutan.
Jenis proyek ini sering dikaitkan dengan strategi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, tetapi masih ada pertanyaan tentang bagaimana mereka dialokasikan dan berhasil. Layanan publik seperti subsidi listrik, bantuan pendidikan, dan dukungan transportasi umum telah dikurangi. Di sisi lain, proyek bernilai triliunan rupiah terus berlangsung tanpa melakukan penilaian menyeluruh yang melibatkan masyarakat. Apakah ini menunjukkan bahwa anggaran didistribusikan dengan tidak seimbang, di mana kepentingan kelompok tertentu lebih penting daripada kebutuhan dasar masyarakat?
Kesalahan ini semakin terlihat ketika proyek besar terus mendapatkan dana, sementara masyarakat harus menanggung akibat kebijakan efisiensi. Jika efisiensi anggaran benar-benar bertujuan untuk meningkatkan keuangan negara, pengurangan anggaran seharusnya dilakukan secara proporsional dan tidak terbatas pada bidang-bidang tertentu yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat kecil. Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru dapat memperluas kesenjangan ekonomi dan sosial. Kelompok masyarakat menengah ke bawah harus menghadapi kenaikan biaya hidup sementara proyek besar terus berjalan tanpa kepastian apa yang benar-benar akan membantu mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk membiarkan publik berbicara dan menilai alokasi anggaran agar kebijakan yang dibuat benar-benar menguntungkan seluruh rakyat Indonesia daripada hanya segelintir individu.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan adalah komponen penting dari kebijakan efisiensi anggaran. Untuk memastikan bahwa dana yang tersedia di sektor publik digunakan secara efektif, mekanisme pengawasan yang ketat seharusnya disertakan dengan pengurangan dana. Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak laporan tentang birokrasi yang tidak efisien, proyek yang gagal, dan alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan tujuan. Hal ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pengawasan yang seharusnya memastikan bahwa semua uang pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, tidak adanya akses publik ke informasi anggaran membuat sulit bagi masyarakat untuk menentukan apakah pemangkasan anggaran benar-benar diperlukan atau hanya alasan untuk memberikan lebih banyak uang kepada kelompok tertentu. Kebijakan efisiensi anggaran dapat menyebabkan ketidakseimbangan fiskal yang lebih buruk daripada memperluas kesenjangan ekonomi dan sosial jika tidak transparan.
Selain itu, ada bukti penyalahgunaan anggaran dan praktik korupsi di tingkat birokrasi yang terus menghambat kinerja keuangan negara. Sebuah laporan menunjukkan bahwa praktik mark-up, proyek fiktif, atau kesalahan dalam proses pengadaan barang dan jasa sering menyebabkan anggaran bocor. Sebaliknya, jika anggaran sektor publik dipangkas, itu tidak selalu berarti penghematan yang sebenarnya jika diiringi dengan efisiensi pengeluaran pemerintah. Memperkuat pengawasan, meningkatkan transparansi, dan memastikan bahwa setiap kebijakan anggaran dibuat untuk kepentingan umum adalah tindakan yang lebih tepat daripada mengurangi hak rakyat. Jika tidak, janji pemerintah tentang efisiensi hanya akan menjadi retorika untuk menutupi kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara.
Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi tujuan, pemangkasan seharusnya dimulai dari belanja yang boros dan tidak transparan, bukan dari bidang-bidang yang benar-benar berkontribusi pada kemakmuran masyarakat. Mengapa dana triliunan dialokasikan untuk proyek besar dengan keuntungan yang belum jelas, sementara subsidi untuk listrik dan pendidikan dikurangi? Alih-alih mengurangi hak dasar orang, pemerintah seharusnya mengevaluasi ulang anggaran kelembagaan, perjalanan dinas pejabat, dan proyek mercusuar. Selain itu, anggaran negara harus diawasi secara independen dengan partisipasi masyarakat sipil dan lembaga antikorupsi untuk memastikan bahwa uang digunakan dengan benar dan tidak hilang karena korupsi. Digitalisasi birokrasi harus diterapkan secara menyeluruh untuk menekan biaya operasi pemerintahan dan meminimalkan penyalahgunaan anggaran. Jika elit terus mendapatkan akses ke anggaran negara dengan cara yang tidak transparan, maka efisiensi sebenarnya adalah pembajakan anggaran negara untuk kepentingan segelintir orang. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.