oleh : Saifuddin al Mughniy
Makna kalimat tersebut diatas, tentu mengandung unsur etik, leksikal dan gramatikal, fonem serta verba. Segala sesuatu yang ingin kita kenali maka ketahuilah secara sistemik tentang makna dan pesan obyek yang di maksud. Demikian kira-kiran pesan moralnya. Aksara dipahami tak lebih dari huruf atau tanda penanda yang bisa dibaca oleh orang.
Namun seiring perkembangan saintek, aksara tak cukup dipahami sebatas “huruf”, tetapi aksara lebih pada kata, kalimat, bunyi serta makna-makna dalam fonetik. Pertanyaannya adalah, apa hubungannya dengan “meta politik”. Sebagian kalangan mungkin bisa menilai, bahwa politik hanya sebatas kekuasaan, lepas dari pengayaan makna. Kalau politik lepas dari pengayaan makna, lalu bagaimana dengan diksi bahwa politik itu adalah nilai (values). Politik adalah sains yang dikendalikan oleh berbagai persepsi dan perspektif, ada yang tak terlihat oleh ekonomi sains, dan hukum sains, tetapi dapat dilihat oleh politik sains.
Yah, mungkin ada benarnya hukum ada dalam benar salah (hitam putih), ekonomi berada pada takaran utung rugi, tetapi politik tak berada dikeduanya, sebab politik dapat menembus apa yang terlihat oleh yang lain, inilah yang kemudian disebut dengan “meta politik” pelampauan dalam pandangan politik. Multi perspektif dalam dimensi politik menjadikannya ia bergerak dinamis.
Dalam dinamika sosial, politik begitu menjadi atmosfer dalam bergeraknya perubahan sosial, statement Adam Smith tentang invosible hand, mungkin dapat tercerna lewat meta politik, kalau teori tersebut pernah diragukan. Tetapi paling tidak eksistensi sains politik telah memberi ruang bagi keberlanjutan polituk yang lebih baik.
Meta politik dalam sosiologis modern sebagaimana disebutkan oleh Talcot Parson tentang “cybernetic”, yakni adanya hubungan interkoneksitas antara unsur yang satu dengan yang lainnya, sehingga memungkinkan perubahan itu terjadi. Apa yang dikerja pemimpin dengan karya nyata itu afalah bagian kerja “meta politik”.
Kebijaksanaan para pemimpin adalah wujud pengejawantahan dari “meta politik”, anasir sosio begitu sangat penting dalam mendaras makba aksara dalam terminologi demokrasi dan politik. Karenanya aksara atau bahasa diarena politik harus lebih santun dan meyakinkan publik. Apalagi di era kampanye banal di ruang elektoral. Bahasa sangat menentukan kewibawaan serta jiwa pemimpinnya.
Bukankah tidak sedikit pemimpin yang jatuh karena “tuturnya”, oleh sebab itu tutur yang baik tentu sangat menentukan masa depan daerah, wilayah serta negara yang di pimpinnya. (*)
Bawakaraeng, 23 Agustus 2017
*sebuah catatan kecil seri 106*