ESAI–Pandemi covid-19 lagi-lagi menjadi alasan segala aktivitas berubah haluan, mulai dari work from home, belajar via daring, bahkan beribadah di rumah saja. Segala aktivitas dilakukan dari rumah, meski tidak sedikit yang masih beraktivitas di luar rumah demi sesuap nasi. Namun, kali ini yang terasa sangat berbeda ialah ramadhan, bulan suci yang dilalui di tengah pandemi.
Banyak hal yang hilang dan tak bisa dirasakan saat ini. Dulu bulan berkah ini dijalani dengan penuh suka cita. Para kaula muda maupun dewasa menghabiskan waktu sebelum berbuka dengan nongkrong di pantai, atau bahkan hanya sekadar berjalan dan bersepeda santai, kini tak lagi marak dilakukan. Begitupun dengan berburu kuliner seolah menjadi hal langka.
Sebelum pandemi, penjual takjil hampir memenuhi trotoar jalan, tapi sekarang tidak lagi. Suara imam saat salat tarawih juga tidak lagi dapat dinikmati dan didengar. Jangankan shalat tarawih, azan pun kian langka. Seluruh penjuru negeri seolah kehilangan alarm terbaik.
Jejak langkah kaki tidak lagi menjadi penanda bahwa jiwa dalam genggamannya pernah melangkah menuju rumahnya. Semua itu hanya menjadi kenangan yang tak berperi, yang sewaktu-waktu dinalar kembali untuk mengusik sepi demi rindu pada ramadhan.
Ruas jalan yang pernah dilalui menuju masjid masih sama, tapi dengan suasana yang berbeda. Rumah Allah yang dulu ramai dengan muda mudi, gelak usik anak-anak, bahkan perbincangan hangat antar tokoh agama dan masyarakat tidak lagi berwarna. Yang ada hanya sekuntum sepi kian merajai.
Namun, pandemi ini tidak serta merta hanya menjadi momok mengerikan untuk kaum muslim di tengah ramadhan. Ada hal positif yang ditawarkan perihal kualitas ibadah.
Seperti halnya Muh. Daud, imam masjid Babul Jihad Salubone, Pinrang, Sulsel. Ia mengatakan ramadhan di tengah pandemi harus diterima dengan lapang dada, karena hal itu diturunkan oleh Allah Swt sebagai ujian bagi hamba-Nya. Juga sebagai masyarakat yang baik harus patuh kepada imbauan pemerintah.
Meski ia tak menampik bahwa ia merasakan hal yang berbeda pada ramadhan kali ini. Jika ramadhan sebelum pandemi ia lalui dengan menghabiskan waktu beribadah di masjid, dengan makmum puluhan bahkan ratusan, kini tak lagi ia dapatkan. Saat ini jemaahnya lebih terbatas, hanya seputar keluarga saja.
“Saya kira ada sih, karena kalau kita berjamaah di masjid tentu kita tahu bersama bahwa berjamaah di masjid jauh lebih baik ketimbang berjamaah di rumah. Saya kira kalau di rumah tentu jamaah terbatas ketimbang dengan di masjid. Lagipula kita tidak tahu kekhusyukan siapa yang diterima kalau cuman di rumah, kalau di masjid tentu ada yang khusyuk ada yang tidak makanya saling mendukung. Artinya saling menutupi ketimbang dengan di rumah,” ujar imam masjid ini dalam voice note whatsapp.
Perihal kualitas ibadah di tengah pandemi, Daud lebih memfokuskan diri ketika beribadah di rumah dengan membaca lembar demi lembar kitab suci Alquran. Hingga hari ke-21, ia sudah 7 kali khatam. Berbeda dengan ramadhan sebelumnya, ia hanya khatam sampai 5 kali selama bulan suci.
“Kalau berbicara masalah perbedaan kualitas ibadah, lebih banyak saat diadakan di rumah, lebih fokus menjalankan ibadah terutama membaca ayat suci Alquran. Saya saja sendiri sudah 7 kali khatam di hari ke 21 ini, dibanding sebelum ada pandemi corona ini, saya kira paling saya dua kali atau tiga kali sampai lima kali paling banyak khatam, saya kira demikian,” ungkapnya.
Harapan demi harapan selalu dihaturkan di ramadhan kali ini oleh seluruh penduduk bumi. Berharap pandemi ini segera berlalu. Penduduk bumi rindu ingin beraktivitas seperti sedia kala dan bersua dengan sanak keluarga tanpa ada iming-iming terdampak covid-19. Semoga semua umat muslim dapat memetik hikmah ramadhan di tengah pandemi yang meresahkan ini. (*)
Penulis : Sunarti, Mahasiswa Prodi Jurnalistik Islam IAIN Parepare.