oleh : Saifuddin al Mughniy*
Kalimat tersebut diatas dengan memandang secara literer tentu kita akan menjumpai, dua kata yang berbeda baik secara leksikal maupun gramatikal. Namun kalau keduanya ditarik dalam realitas empiris sepertinya begitu mudah menemukan esensi perbedaan diantara keduanya, tetapi memiliki ikatan yang begitu kuat dalam dimensi tertentu.
Paul Ricoeur (interpretasi theory),yang disebutnya sebagai “dialektika peristiwa dan makna”. Nah, dari tarikan makna tersebut maka mimbar secara harfiah sebagai tempat, sarana, medium, bagi seseorang berpidato, berkhutbah, untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak. Dalam perspektif “academos” ada yang disebut “mimbar akademik”, dimaknai dengan pemahaman bahwa mimbar adalah sarana ekspresi kebebasan bagi seorang cerdik pandai (kaum pelajar, mahasiswa) menyampaiksn gagasannya, bisa fslsm bentuk orasi, tulisan dan demonstratif. Dan secara ekstrim ada yang menyebutnya kebebasan mimbar akademik.
Sementara makna keterasingan, dalam sebagian kalangan menyebutnya sebagai bentuk perilaku sosial masyarakat, karena “kesalahan” seseorang terasing dari lingkungannya. Bahkan perilaku individu yang kurang percaya diri dengan kehidupannya sehingga mengasingkan diri dari lingkungannya. Terasing bisa juga disebut sebagai rasa “tertutup” dari orang lain.
Keterasingan oleh Marxian disebutnya “alienasi”. Yakni suatu kondisi masyarakat tertentu teralienasi karena pengaruh kuat dari lingkungan eksternal. Seperti kemajuan saintek, daya tangkap masyarakat yang lemah menyebabkan ia terpinggirkan (teralienasi). Dalam kehidupan serba kompleks kebebasan dan keterasingan kerap kali kita temukan dalam waktu yang bersamaan.
Kebebasan cendrung dipengaruhi oleh idealisme yang fanatik, para pejuang yang fanatisme pada gagasannya seringkali mengalami keterasingan bila “penganut idealisme” surut dan terjebak pada kapitalisasi kekuasaan politik dan ekonomi. Seseorang yang berprinsip idealis akan memilih jalan keterasingan dari jebakan “hedonisme’, Plato menyebutnya perburuan kebahagiaan yang disebut “eudemonisme”.
Karenanya, era sekarang adalah era sensitivisme, ketersinggungan, perasa, yang terkadang membuat pemangku jabatan “mengalienasi’ individu atau kelompok. Mungkin kita bisa melihat berbagai poster, pamflet, banner, spanduk, yang bertuliskan perlawanan. Dalam memaknai kontekstual tidak semata emosional, dendam, amarah, tetapi ada makna ketidakadilan didalamnya.
Dibanyak negara aksi demonstratif begitu dibuka, sebab mereka sadar bahwa “peradaban dan demokrasi” dapat dibangun dengan memberi ruang ekspektasi bagi warga negara, sebab negara bukanlah “penjara kemanusiaan”, tetapi negara adalah subkultur masyarakat dimana mereka hidup mengembangkan diri dan melahirkan generasi selanjutnya.
Karena itu, kebebesan tanpa keterasingan adalah kemerdekaan yang tertulis di mimbar-mimbar kemanusiaan. Itulah kekuatan manusia untuk menentukan jalan masa depan baik untuk dirinya maupun.bangsanya.**