Oleh : Muhammad Zaldy Febry
(Mahasiswa IAIN Parepare)
Hari Jumat tepatnya tanggal 4 November 2022 merupakan sebuah awal bagi 10 mahasiswa yang berasal dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare yang terdiri 5 laki-laki dan 5 perempuan di antaranya Hajar, Putri, Maya, Ainun, Rani, Rizal, Khaeril, Hajar, Mulwan dan Zaldy. 10 mahasiswa ini akan membawa para pembaca terjun bebas memasuki sebuah kisah terdalam yang selama ini ternyata tidak lagi nampak di permukaan yang hampir saja hanya akan menjadi Istilah “konon katanya” inilah yang kemudian menginspirasi mereka dalam menjalani pengabdian masyarakat yang dikenal sebagai program Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Mandiri di Kelurahan Wattang Bacukiki Desa Mangimpuru.
Cerita yang penulis uraikan pada tulisan ini akan berfokus pada pendalaman historis penduduk, sejarah, dan budaya Bacukiki khususnya pada daerah Kelurahan Wattang Bacukiki yang selama ini telah tertutupi oleh lawasnya long term memory yaitu ingatan jangka panjang dan ingatan yang mengikat momen masa lampau yang hanya mampu ditafsirkan oleh segelintir orang.
Namun sebelum itu penulis ingin menyampaikan bahwa keseluruhan cerita yang akan dituliskan oleh penulis adalah bersifat informatif yang di mana keseluruhan sumber informasi yang diperoleh dari penduduk lokal yang memiliki kecendrungan informasi yang sama sehingga memberikan hasil yang tervalidasi yang dimuat dalam Artefak, Idiofak, Linguafak dan Ritualifak yang kemudian tidak dapat dijadikan sebagai fondasi pembentuk kerangka pembuktian.
Jika dilihat dari Letak geografis wilayah Kelurahan Watang Bacukiki lokasi ini terletak di Garis Lintang Selatan 4003’36.63” dan Garis Bujur Timur 119040’01.69” dengan luas wilayah kurang lebih 25,52 hektare, jika kita berdiri di atas tanah Watang bacukiki maka kita bisa melihat ke arah Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kelurahan Lemoe, sebelah selatan yaitu Kabupaten Barru, Sebelah Baratada Kelurahan Lumpue Kec. Bacukikik Barat, Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidrap dan Kelurahan Watang Bacukiki terdiri atas 7 RW dengan 14 RT tapi penulis akan membawa pembaca menuju ke cerita yang saat ini sangat dekat dengan tempat tinggal mereka yakni daerah yang dikenal dengan nama “Mangimpuru”.
Mangimpuru dahulu dikenal sebagai wilayah yang berada dalam daerah kekuasaan Kerajaan Bacukiki tepatnya berada disekitaran kaki pegunungan. Penduduk Watang Bacikuki menyebut daerah ini dengan sebutan “Mangimpuru” yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia artinya “Cemburu”. Konotasi dari kata cemburu ini bukan berarti warga Mangimpuru mempunyai sifat cemburuan atau menaruh kecurigaan antara sesama warga. Sifat cemburu yang dimaksud adalah warga yang berada di luar dari daerah Mangimpuru yang terkadang merasa cemburu dengan segala bentuk pemberian alam yang diberikan untuk wilayah Mangimpuru. Dalam sebuah kesempatan penulis menanyakan kepada salah satu warga penduduk asli yang dihormati dan dianggap masih mempunyai ingatan lampau mengenai daerah Mangimpuru beliau akrab disapa dengan sapaan “Ambo Hanafi”.
Beliau menjabarkan bahwa dahulu ketika masa panen telah tiba dan daerah lain mengalami gagal panen justru berbanding terbalik dengan daerah Mangimpuru yang memperoleh hasil panen yang melimpah. Dengan wilayah yang subur inilah yang memberikan lahan pekerjaan yang bermacam-macam kepada warga berupa hamparan sawah yang luas, tanah yang subur memberikan hasil tanaman sayuran yang berkualitas serta pakan ternak yang tersedia berupa rerumputan yang hijau.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh salah satu warga mangimpuru yakni Pak Jamal beliau mengatakan bahwa“ketika kita menghitung, 9 dari 10 warga yang ada disini pasti memliki sapi” hingga sampai saat ini komoditas pertanian dan peternakan dapat ditemui pembaca ketika berjalan-jalan ke daerah ini dan ketika memasuki wilayah Mangimpuru kita akan mencium aroma kotoran sapi yang sudah menjadi kebiasaan dari warga daerah Mangimpuru.
Selain dari faktor kesuburan tanah yang di dapatkan, ada satu hal tragis yang juga berkaitan dengan wilayah ini, yakni dahulu terjadi pemberontakan yang disebut sebagai pemberontakan Gurilla yang terjadi di tanah Bacukiki. Pada saat itu mereka yang disebut Gurilla mempunyai tujuan untuk merampas dan mengambil barang bahkan sampai membunuh warga Bacukiki, namun para Gurilla tidak memasuki daerah Mangimpuru. Dalam sebuah kesempatan penulis bersama kawan-kawan menanyakan kepada puang Hanafi terkait hal demikian dan beliau berkata bahwa saat wilayah Watang Bacukiki diserang oleh Gurilla tapi wilayah mangimpuru tidak pernah di jajaki oleh Gurilla.
Informasi terkait Gurilla ini masih belum bisa di konfirmasi apa motif dan alasan mereka melakukan itu pada zaman dahulu namun kesaksian serta informasi yang diberikan oleh warga mereka datang dari daerah hutan pegunungan dan mereka akan lari kembali ke hutan pegunungan setelah merampas, mengambil barang warga bahkan menculik warga ke hutan untuk dibunuh. Masih teringat ciri fisik dari Gurilla yang mereka ingat sampai saat ini bahwa mereka mengenakan ‘pa’bekeng” yakni kain pengikat berwarna merah yang mereka rekatkan ke badan dan senjata yang mereka pakai adalah senjata api yang di curigai adalah rampasan barang-barang penjajahan.
Mendengar cerita dan informasi warga yang membuat hati mereka menangis sekali lagi dalam menceritakan cerita di atas dan membawa kita terjun bebas masuk kedalam alam imajinasi dengan membayangkan kekejaman mereka yang disebut dengan Gurilla. Dalam beberapa kesempatan lagi penulis akan mencari informasi lebih dalam sebab ketika kita melihat pada pencarian Google dengan keyword ”Gurilla Kota Parepare” kita tidak akan menemukan hasil namun jika kita bergeser ke daerah yang bersebelahan langsung dengan Watang Bacukiki yaitu Kabupaten Barru kita akan mendapatkan hasil yang akan membawa kita pada temuan baru mengenai informasi Gurilla ini yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan yakni apakah mempunyai kaitan erat atau terpisah dari pengalaman warga terdahulu.
Berdasarkan penjabaran di atas maka tulisan ini tidak akan dijadikan sebagai acuan referensi ilmiah. Oleh karena itu, untuk sementara penulis akan mematikan akal kerangka penulisan ilmiahnya demi menjaga kelestarian budaya dan mempertahankan simbol dan tanda yang kini mulai redup termakan zaman dan jika suatu saat nanti ada seorang penulis yang mampu menjelaskan secara ilmiah maka sebuah kesyukuran apalagi jika tulisan ini mampu memantik para penulis lainya yang lebih kompeten dan koheren dalam menjabarkan serta menerjemahkan sejarah dan informasi yang ada. (*)