LUWU, PIJARNEWS.COM – Fahmi Rahmasari gadis cantik kelahiran Kendari, 1 April 1999 itu menambah kisah inspiratif guru-guru di Indonesia.
Fahmi tercatat sebagai guru honorer di SMA Negeri 19 Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel). Saat dihubungi Pijarnews.com, Ahad (26/11/2023) Fahmi menceritakan kisah inspiratifnya.
Kisah itu berawal saat Fahmi diminta oleh orang tuanya yang merupakan warga asli Kabupaten Luwu, namun bekerja di Kendari untuk menemani neneknya.
“Saya lahir dan besar di Kendari, tapi ibu asli di sini hanya saja kerja di Kendari. Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Makassar saya diminta untuk menemani nenek di sini, belum sempat menyelesaikan studi nenek sudah pergi,” cerita Fahmi.
Setelah menyelesaikan studinya Fahmi ditawari untuk mengajar. Ia awalnya merasa berat menerima tawaran itu. “Awalnya berat untuk menerima tawaran, tapi setelah mencoba ada rasa bahagia tersendiri ketika bisa berbagi dengan anak-anak yang ada disini, saya tidak bisa membagikan uang, tapi saya harap bisa memberikan semangat untuk bisa meraih impian,” ujarnya.
“Saya juga melihat sosok ibu saya yang tidak pernah lelah berusaha membantu anak-anak yang putus sekolah disini, bagaimana caranya agar mereka bisa melanjutkan pendidikan,” sambungnya.
Fahmi mengungkapkan, tantangannya di SMAN 19 Kabupaten Luwu, menurutnya akses jalan menjadi penghambat guru-guru disana untuk mengajar. Bagaimana tidak, dirinya menempuh perjalanan 4-5 Km untuk bisa sampai dari rumah ke sekolah meski menggunakan sepeda motor, namun akses jalan cukup sulit dilalui kendaraan.
Jika menggunakan ojek memakan biaya Rp200 ribu, mobil yang lewat juga hanya mobil tertentu yang bisa, belum lagi ketika musim penghujan. “Menjadi penghambat besar kami adalah jalan yang membuat proses sedikit terhambat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Fahmi, sarana dan prasarana serta media dan bahan ajar juga menjadi penghalang para guru-guru disana. “Kami sebagai pendidik disini harus pandai-pandai menggunakan dan memanipulasi, karena susahnya memperoleh barang-barang alat ataupun bahan yang dapat kami gunakan. Akses jalan dan juga ongkos harus kami keluarkan,” katanya.
“Pengalaman saat itu, adalah kegiatan-kegiatan sekolah yang membutuhkan jaringan bahkan listrik sempat hilang. Kami harus naik gunung untuk mencari jaringan. Pernah saat kegiatan olimpiade sains, kami harus mengangkat komputer ke rumah warga untuk mengikuti kegiatan, karena di tersebut yang ada jaringan dan juga menggunakan listrik tenaga air,” lanjutnya.
Selain disibukkan dengan aktivitas mengajar, Fahmi bersama guru-guru lainnya juga rutin melakukan pembimbingan mengaji bagi siswa-siswi yang sama sekali tidak bisa mengaji.
“Kami bekerja sukarela, digaji berdasarkan jam mengajar, tanpa tunjangan yang harusnya diperoleh oleh para pendidik di daerah-daerah 3T seperti kami,” ucapnya. .
Selain itu, kata dia, salah satu tantangan lainnya adalah memberikan pemahaman kepada orang tua siswa mengenai pentingnya pendidikan bagi anaknya.
“Harus juga lebih memahami keadaan anak-anak ketika mereka harus jalan berkilo-kilo meter untuk bisa ke sekolah. Melewati hutan, gunung, sungai dan berangkat jam 5 subuh untuk bisa sampai ke sekolah tepat waktu,” ungkapnya.
Reporter : Wahyuddin