OPINI —Judul tersebut merupakan tema yang diangkat pada acara Talk Show Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Parepare sebagai momentum peringatan tahun baru Islam 1444 Hijriyah, hari Selasa, 2 Agustus 2022 di lantai 5 Gedung Perpustakaan IAIN Parepare.
Saya berangkat dari rumah menuju kampus IAIN tetapi saya singgah dulu di UMPAR untuk checlock pagi kemudian saya melanjutkan perjalanan ke kampus IAIN, tepatnya di gedung perpustakaan.
Saya masuk di kampus IAIN melalui jalur atas, kampus lama yang berada disisi kanan. Tidak sulit mencari lokasi pelaksanaan Talk Show ICMI, di Gedung Perpustakaan karena setelah menelusuri jalan di kampus lama, ada petunjuk arah panah belok kiri, saya menelusuri jalan berkelok dan sedikit terjal, setelah tiba di dataran rendah, saya lihat ada dua gedung yang berhadapan, mana gedung perpustakaan?, Tanya saya kepada Satpam kampus, dengan cepat saya diarahkan masuk ke jalan menuju tempat parkir.
Saya masuk di pintu utama gedung perpustakaan IAIN, berdinding kaca dan di tengahnya ada meja reseption, saya diarahkan oleh satpam perempuan masuk ke lift menuju lantai 5. Begitu tiba, sudah ada Pak Dr. H Mahsyar Idris, Ketua Umum ICMI Orda Parepare, sedang berdiri, saya menghampiri beliau dan berjabat tangan dan kepada Pak Dr. Nasir, sekretaris umum ICMI Orda Parepare serta beberapa pengurus ICMI lainnya, di ujung kursi duduk pak KH. Dr. Halim Kuning, sedang duduk menunggu acara talkshow dimulai.
Gedung berlantai 5 di Parepare dan punya lift, mungkin hanya perpustakaan IAIN, semoga kampus saya UMPAR, suatu waktu bisa juga punya gedung menjulang, bisik saya dalam hati.
Waktu sudah mendekati pukul 10.00, pak Rektor IAIN, Dr Hannani, memasuki ruang talkshow. Saat sambutan pak Dr. Mahsyar, salah satu isi sambutan yang menarik bagi saya adalah ketika beliau menyampaikan bahwa di forum ini hadir Ketua NU Parepare sekaligus Rektor IAIN Parepare, hadir juga Ketua Muhammadiyah Parepare, Prof. Dr. Amaluddin, hadir juga Ketua Fatayat NU dan unsur ketua Aisyah.
Dua ormas ini adalah kekuatan Indonesia, jika diganggu, maka Indonesia akan heboh. Dua ormas ini sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka.
Talkshow ini dilakukan secara hybrid, ada yang ikut secara langsung di Gedung Perpustakaan IAIN lantai 5, ada cukup banyak juga yang ikut melalui zoom. Beberapa pengurus Orwil Sulsel hadir secara online, ada Pak Prof. Arismunandar, Ketua Umum ICMI Orwil Sulsel sekaligus memberi sambutan, beliau tak lupa mengapresiasi ICMI Orda Parepare sebagai Orda yang paling aktif. Terlihat juga Pak Dr. Andi Tamsil (Wakil Ketua), ada juga Prof. Ahmad Sewwang (Wakil Dewan Pakar). Ada juga Sambutan dari Sejen ICMI, Ibu Dr. Andi Yuliani Paris, yang sedang berada di Makassar.
Empat narasumber yang kompeten di bidangnya, sudah hadir semua sebelum acara pembukaan dimulai. Nara sumber itu tertera juga di spanduk yaitu Bapak KH. Dr. Halim Kuning, LC, MA (Ketua MUI Parepare)., Ibu Andi Nurhanjayani (aktivis perempuan, pemerhati budaya bugis), Ibu Dr. Asniar Khumas, S.P.si, M.si (akademisi Fakultas Psikologi UNM)., Ibu Hj. dr.Linda Iriani Raflus, M.Kes (Divisi Kesehatan ICMI, Kepala PKM Mario Na Madising). Talkshow dimoderatori oleh ibu Hj. Nurhamdah, M.Pd, memberi kesempatan pertama kepada pak KH. Dr. Halim Kuning, bagaimana Islam menyikapi fenomena Paraphilia?. Prilaku seks menyimpang diterangkan dalam Al-Qur’an pada sejarah Nabi Luth, umatnya lebih tertarik kepada sesama laki-laki.
Fenomena Paraphilia di Parepare sudah cukup memprihatinkan, penyimpangan hubungan seks ini dari segi kesehatan, sangat berisiko tertular Inpeksi Menular Seksual atau IMS bahkan bisa meningkat menjadi HIV. Bahkan bisa sampai menjadi AIDS. Pelayanan di Puskesmas Mario Na Madising (PKM) itu ada yang dikhususkan bagi LGBT, yang menghubungkan PKM dengan LGBT ini adalah melalui tenaga pendamping atau penjangkau yang direkrut dari masyarakat (volunteer), saya miris melihat perilaku mereka, ada yang sembuh dan berubah menjadi berperilaku normal tetapi setelah beberapa lama, mereka kembali lagi ke perilaku semula. Ini pesan yang saya tangkap dari dr Linda, nama sapaannya.
Gerakan LGBT itu sudah mengglobal, mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan dari negara, mereka berjuang agar bisa diakui keberadaannya sebagai warga negara, layaknya seperti warga negara pada umumnya. Ibu Dr. Asniar, menyampaikan bahwa dia pernah diundang ke Jerman untuk suatu kegiatan atas dukungan salah satu funding internasional, pesertanya banyak dari kelompok LGBT, dari situlah saya tahu bahwa mereka ini adalah sudah melakukan gerakan yang sudah mengglobal, kata Ibu Asniar dalam paparannya.
Pakanjaki ampe-ampena ana’mu, adalah salah satu pesan leluhur dalam budaya Bugis yang mengandung makna yang sangat dalam. Anak perempuan dalam Budaya Bugis, mendapatkan perlindungan di dalam rumah, kamarnya selalu di bagian belakang, sedang anak laki-laki, kamarnya di bagian depan. Ada keluarga saya, dia berjenis kelamin anak laki-laki kata Ibu Anja, sapaan akrab Andi Nurhanjayani, pada waktu masa kecilnya anak itu sering bergaya perempuan, bapaknya dan kakak-kakanya semua laki-laki, mereka memukul anak itu jika berperilaku seperti perempuan, dia dipaksa bersikap tegas, akhirnya anak itu sekarang sudah beristri dan punya anak.
Ada tiga pesan menarik dari KH. Dr. Halim Kuning. Pesan pertama, pelajar puteri di pesantren atau anak mahasiswa yang tinggal di rumah kos, hindari tidur satu tempat tidur untuk menghindari godaan syaitan karena berpotensi terjadi sentuhan yang tidak sengaja tetapi karena setiap hari terjadi tidur berdekatan akhirnya menjadi perilaku menyimpang. Pesan kedua, pelajar puteri jangan terlalu dekat dengan guru laki-lakinya. Pesan ketiga, pelajar puteri jangan dibiasakan mencium tangan gurunya yang laki-laki.
Tiga pesan pak Kyai di atas, bagi saya pesan ketiga itu yang sedikit menghentak hati saya, terlebih ketika pak Kyai menegaskan bahwa mencium tangan guru dianggap ada berkah. Saya menganggap selama ini sudah menjadi kebiasaan murid di pesantren termasuk murid perempuan mencium tangan gurunya apalagi jika guru itu sudah bergelar Kyai. Ternyata anggapaan saya salah besar.
Pada sesi Tanya jawab, saya memberi respon, bahwa di dalam Al Qur’an, hanya ada dua jenis kelamin yang disebutkan Allah yaitu muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, tidak ada jenis kelamin trans gender. Pertanyaan saya ke ibu Dr. Asniar, apakah perilaku waria itu bisa berubah secara massif untuk semua orang, seperti cerita ibu Anja tadi?. Tegasnya bisa berubah, kata Ibu Asniar, Pak Dr. Raya, menimpali, bahwa tidak berubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu yang mengubah dirinya.
Momentum HUT RI sudah dekat, sebelum tanggal 17 Agustus, selalu diramaikan dengan lomba gerak jalan. Pesertanya mulai dari kategori pelajar, perkantoran hingga ada kelompok waria. Peserta yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton justru dari kelompok waria karena kelompok ini lebih heboh dan bisa menampilkan berbagai gaya yang membuat penonton bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat gaya kocaknya para waria tersebut. Mungkinkah kelompok ini tidak diberi ruang untuk menjadi peserta gerak jalan mulai tahun ini?.