PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Forum Masyarakat Soreang Peduli Kota Santri (FMSPKS) kembali mendatangi Kantor DPRD Parepare, Sulawesi Selatan, untuk menyampaikan aspirasinya menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel (SKG) pada Rabu (18/10/2023) lalu.
Usai bertemu DPRD, FMSPKS menyampaikan ada 7 tuntutan yang dibawa. Pertama mendesak dinas terkait untuk mencabut izin Sekolah Kristen Gamaliel sebagaimana hasil rapat pimpinan DPRD dan rapat dengar pendapat di Gedung DPRD.
Kedua, menuntut kepada pimpinan dan anggota DPRD Parepare untuk mewakili kepentingan rakyat, tidak mewakili kelompok/golongan tertentu serta tidak mengkhianati amanah rakyat dengan menyalahi hasil RDP.
Ketiga, menuntut kepada pihak Yayasan Gamaliel untuk tidak melakukan pembangunan apapun di wilayah Soreang, karena bisa mengakibatkan konflik horizontal dan merusak kerukunan antar umat beragama.
Keempat, menuntut kepada pemangku jabatan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat luas dibandingkan kepentingan kelompok dan golongan tertentu, dan mengingatkan bahwa jabatan hanya sementara yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat.
Kelima, mengajak seluruh masyarakat muslim untuk bersatu dan memperkuat keimanan serta saling tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kemungkaran.
Keenam, mengimbau kepada seluruh masyarakat muslim untuk tidak memilih perwakilan rakyat dan pemimpin yang tidak amanah dan tidak berpihak kepada kepentingan umat Islam.
Ketujuh, memperingatkan kepada seluruh elemen masyarakat bahwa dampak dari pendirian Sekolah Kristen Gamaliel ini, bukan dirasakan oleh pejabat dengan periode 5 tahun, tapi akan dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar secara terus menerus.
Sekretaris Forum Masyarakat Soreang Peduli Kota Santri, Suratman mengatakan warga soreang menolak pembangunan Sekolah Gamaliel dilakukan untuk kepentingan kedua bela pihak.
“Pada prinsipnya masyarakat Soreang pada umumnya itu sangat toleransi, dalam artian bahwa apa yang menjadi pemikiran itu bukan untuk kepentingan masyarakat Soreang saja, tapi untuk kepentingan Yayasan Gamaliel sendiri,” kata Suratman.
“Karena yang ditakutkan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jadi penolakan ini untuk kepentingan kedua pihak yakni masyarakat Soreang dan pihak Gamaliel,” katanya.
Di tempat yang sama, Tokoh Agama di Soreang, Ardian Kamal mengatakan bahwa jika pembangunan sekolah Gamaliel tetap berlanjut, maka akan sangat disayangkan.
Jika pihak Gamaliel terus melakukan pembangunan, lanjutnya tentu akan sangat di sayangkan, karena bangunan bisa menjadi monumen yang tak berfungsi. Sebab masyarakat tidak akan menyetujui bangunan tersebut dan hal itu akan mempersulit atau tidak bisa mengeluarkan izin operasional sekolah.
“Jadi gedung berdiri tapi hanya jadi monumen yang tidak bisa difungsikan. Maka sebelum terjadi kerugian materil, maka sebaiknya tidak dilanjutkan pembangunan di sana,” tambahnya.
Lebih lanjut Ardian Kamal mengatakan, penolakan pembangunan Sekolah Gamalie disebabkan karena warga di wilayah tersebut mayoritas muslim.
Hal serupa juga diungkapkan Aktivis Front Persaudaraan Islam (FPI) Fahri. Menurutnya penolakan karena di Watang Soreang, hampir seratus persen umat Islam, justru dia menilai, Sekolah Kristen Gamaliel lah yang tidak toleran karena membangun sekolah Kristen di tengah pemukiman umat islam tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang akan terjadi di sana.
“Makanya, kami dari Forum Masyarakat Soreang Peduli Kota Santri termasuk di antara poin kami selain menuntut pemerintah mencabut izin. Kami juga menginginkan supaya sekolah kristen tersebut dipindahkan atau direlokasi ke tempat lain. Jangan di Wattang Soreang,” tutupnya.
Sementara, Kuasa Hukum Sekolah Gamaliel, Rachmat S.Lulung, ditemui Pijarnewscom, Ahad (22/10/2023) menjelaskan bahwa Sekolah yang akan dibangun adalah sekolah umum yang kurikulumnya semua mengikuti dan tunduk pada kurikulum pemerintah dalam hal ini Kemdikbud RI yang berlaku saat ini.
“Sekolah ini adalah sekolah umum yang kebetulan pengelolanya adalah Yayasan Pendidikan Gamaliel, Sekolah yang akan dibangun bukan sekolah Kristen seperti yang banyak diisukan.” ungkap nya
Berangkat dari program pendidikan berkelanjutan inilah kemudian maka yayasan memikirkan untuk bagaimana lulusannya nanti bisa tertampung mendapatkan bangunan yang representatif dan operasional sehingga dibangunlah bangunan yang ada di watang soreang.
“Sekarang ini ada dua tempat yang berbeda dengan status bangunan sewa, sekolah yayasan pendidikan gamaliel ini memiliki taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang sekarang ini sudah sampai pada kelas tiga, TK dan SD berbeda tempat dengan status sebagai bangunan sewa,” ungkapnya
SD, SMP, SMA tersebut, kata Rachmat karena dia mencakup sekolah umum maka kurikulum nya seluruhnya sama diatur oleh pemerintah, kecuali muatan lokal kearifan lokal yang diberikan alokasi 70 menit per minggu dalam masa belajar.
“Jadi tidak ada rumah ibadah tidak ada pendidikan yang mengarah ke kristenisasi dan sebagainya, disana adalah sekolah umum, dengan status nya sekolah umum hanya menjawab kebutuhan taman kanak-kanak dan sekolah dasar, yang saat ini sudah kelas tiga,” ungkapnya.
Rachmat juga memperlihatkan dokumen dan foto hingga surat pemerintah republik Indonesia perizinan berusaha berbasis risiko.
“Yayasan Pendidikan telah melengkapi seluruh ijin dan tahapan rencana pembangunan sebagaimana yang disyaratkan. seperti melakukan sosialisasi ke warga setempat, juga telah memiliki ijin dengan KBLI dan NIB untuk satuan Pendidikan TK, sampai SLTA dari pemerintah,” ungkap nya
“Kami senantiasa patuh kepada peraturan perundang-undangan, artinya kalau pemerintah menyatakan lengkapi ini, kami akan lengkapi, karena sudah ada sebagian izin yang diterbitkan oleh pemerintah,” jelasnya.
Reporter : Abd. Rahmat Paudzi (Mahasiswa PPL KPI STAIN Majene)