MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Dekan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Dr Muhammad Jufri, menyatakan munculnya rasa takut bagi korban bencana, terutama pasca kejadian menimbulkan persepsi tentang informasi bencana. Hal tersebut menyebabkan munculnya persepsi korban dan terbentuk rasa takut yang traumatis.
Dengan terbentuknya persepsi korban yang cenderung negatif atas kejadian bencana menimbulkan emosi dan rasa tidak senang terhadap istilah bencana. Akibat persepsi inilah, berikutnya memengaruhi kondisi emosi seseorang.
“Emosi inilah yang memberikan efek kondisi perilaku seseorang tidak senang atau takut dengan bencana,” kata Prof Jufri di depan peserta Road Show RRI Generasi Keren Tanggap Bencana yang dibuka Kepala SMA 20 Mirdan Midding.
Talkshow yang digelar Kamis, 15 Agustus 2019 ini menampilkan pembicara Adi Maulana, (Kapuslitbang Studi Kebencanaan Unhas), Bachtiar Adnan Kusuma, (Tokoh Penggerak Literasi Sulsel), Muh. Al Amin( Ketua Walhi Sulsel) di SMA Negeri 20 Makassar.
Pertanyaannya, apakah kondisi trauma bisa dihilangkan? Menurut Guru Besar Psikologi pertama di UNM ini, sebenarnya kondisi trauma tidak bisa hilang, hanya saja bisa ditimpali dengan kondisi lain yang berbeda atau kondisi lain yang bisa menyenangkan seseorang.
Misalnya, kata Prof Jufri, kita membayangkan warna merah kita ibaratkan sebagai trauma, warna merah takkan hilang kendatipun ditimpali dengan warna hitam. Selain, diperlukan tindakan preventif dengan memberikan pendidikan tentang bencana, Jufri juga menekankan perlunya sumber-sumber bacaan tentang penanganan bencana disebarluaskan dan ditulis dalam bentuk buku. Karena itu, Prof Jufri menegaskan kalau generasi keren bukan hanya cerdas dalam lingkungan akademik, tapi ia juga harus cerdas dalam mengelola lingkungan.
Oleh karena itu, kata tokoh penggerak literasi Sulsel yang juga hadir didaulat menjadi pembicara oleh moderator Andi Fitri, penyiar senior RRI, menyampaikan dua hal penting yang perlu bagi generasi keren tanggap bencana. Pertama, kata BAK, perlunya edukasi terus menerus bagi masyarakat terutama kaum ibu-ibu tentang bagaimana taktik dan strategi menghadapi bencana tsunami atau bencana lainnya.
“Kita butuh pendidikan mitigasi yang sifatnya memassal dan harus tumbuh dari sebuah keluarga, ” tandas Bachtiar.
Kaum ibu-ibu harus diberikan edukasi literasi secara luas terutama ibu-ibu lorong di seluruh kota Makassar. Hanya dengan edukasi literasi, bisa memberikan pemahaman mendalam betapa pentingnya masyarakat mempersiapkan diri dan keluarga menghadapi bencana alam dan sejenisnya.
Kedua, lanjut Ketua Forum Peduli Pendidikan Sulsel ini, perlunya kurikulum pendidikan tentang tanggap bencana yang diajarkan di seluruh sekolah yang ada di Sulsel.
”Anak-anak muda butuh literasi tentang mitigasi, karenanya pihak sekolah harus menyediakan buku-buku tentang penanganan bencana yang bukan hanya dipajang di setiap sekolah, tapi harus dibaca dan dipraktikkan.
“ Dukungan referensi buku-buku tentang mitigasi perlu sebagai bahan bagi warga masyarakat untuk lebih memahami tentang bencana dan cara penangannya,” kata Ketua Paguyuban Orang Tua Mahasiswa Psikologi UNM.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Studi Kebencanaan Unhas, Adi Maulana, setuju perlunya dukungan literasi tentang mitigasi bagi anak-anak muda. Adi menguraikan kalau pihaknya bersama Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel saat ini tengah menyiapkan regulasi pengajaran tanggap bencana di seluruh SMA di Sulsel berupa Peraturan Gubernur Sulsel.
“Naskah akademiknya telah rampung dan segera diterbitkan Pergub tentang pendidikan tanggap bencana, ” kata Adi. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna