OPINI-Angka pernikahan di kalangan Generasi Z makin menurun. Fenomena ini seolah menyiratkan, pernikahan bukan lagi satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.
Data dari Badan Pusat Statistik merilis jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 1.577.255 atau menurun 128.093 dibandingan tahun 2022, yakni sebanyak 1.705.348. Angka pernikahan di Indonesia dalam satu dekade terakhir turun sebanyak 28,63 persen. (https://kumparan.com/ananda-nabilah-c/penurunan-angka-pernikahan-akibat-pandangan-gen-z-pada-platform-x-dan-tiktok-23lFIxJQri2)
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: mengapa generasi yang begitu terhubung secara digital ini justru enggan untuk menikah?
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974 mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.(Indonesia,1974).
Generasi Z, terutama mereka yang telah memasuki usia dua puluh tahun, banyak mengikuti tren “Marriage is Scary” sebagai cara untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang pernikahan. Mereka memandang pernikahan sebagai hal yang sangat penting, dan mereka mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan untuk menikah.
Marriage is scary secara harfiah berarti pernikahan itu menakutkan. Istilah ini digunakan oleh seseorang yang merasa bahwa pernikahan, sebagai sebuah institusi atau komitmen seumur hidup adalah sesuatu yang penuh tantangan, tekanan, dan ketidakpastian.
Media sosial juga menampilkan gambaran ideal tentang pernikahan yang sempurna, namun sering kali tidak realistis. Perbandingan antara kehidupan nyata dengan kehidupan yang dipamerkan di media sosial dapat membuat seseorang merasa tidak cukup baik atau takut tidak bisa mencapai standar yang sama.
Media sosial telah membentuk persepsi generasi muda tentang pernikahan. Di satu sisi, media sosial menampilkan gambaran pernikahan yang ideal dan romantis, namun di sisi sisi lain, juga menyajikan kisah-kisah perceraian dan konflik rumah tangga yang menakutkan. Hal ini menciptakan ekspektasi yang tinggi sekaligus ketakutan akan kegagalan dalam pernikahan.
Banyak dari mereka yang memprioritaskan karier mereka daripada kehidupan pernikahan mereka. Generasi Z juga mempertimbangkan alasan ekonomi untuk menunda pernikahan. Selain itu, perempuan kini memiliki lebih banyak kesempatan dan lebih banyak kebebasan untuk memilih dan menekuni karir mereka sendiri. Hal ini membuat banyak perempuan nyaman dengan pekerjaan mereka dan tidak terburu-buru untuk menikah. Sebaliknya, situasi ekonomi yang sulit membuat pria harus bekerja lebih banyak, yang membuat mereka lebih cenderung menunda pernikahan . Selain itu, trauma yang disebabkan oleh hubungan orang tua yang tidak harmonis juga sering disebut sebagai alasan, karena trauma seperti itu dapat memicu rasa takut tertentu terhadap pernikahan.(Mafaz et al. 2024)
Gen Z memiliki pandangan yang lebih realistis dan kritis terhadap pernikahan. Mereka mencari hubungan yang setara, saling mendukung, dan didasarkan pada cinta dan rasa hormat. Namun, mereka juga khawatir tentang potensi konflik dan kegagalan dalam pernikahan, terutama setelah menyaksikan banyak contoh perceraian di sekitar mereka.
Di masyarakat persepsi tentang pernikahan telah berubah, dimana dahulu, pernikahan dianggap sebagai tujuan hidup yang mutlak, namun sekarang banyak orang yang memilih untuk tidak menikah atau menunda pernikahan.
Generasi Z, dengan nilai-nilai individualisme dan kebebasan yang kuat, memiliki harapan yang tinggi terhadap kehidupan pernikahan. Mereka menginginkan hubungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan menghindari ikatan rumah tangga toxic yang berpotensi menyakiti diri sendiri dan merugikan kesehatan mental.(Fikri, Amelia, and Indonesia 2024)
Gen Z memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap pernikahan. Mereka menginginkan hubungan yang dibangun di atas cinta, saling pengertian, dan rasa hormat. Pernikahan bagi mereka adalah sebuah komitmen yang serius, namun juga harus memberikan kebahagiaan dan kepuasan bagi kedua belah pihak.
Konseling pra-nikah dapat menjadi solusi untuk mengatasi kekhawatiran generasi muda tentang pernikahan. Konseling ini dapat membantu pasangan memahami dinamika hubungan, mengelola ekspektasi, dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan pernikahan. Mereka dapat mendiskusikan ketakutan-ketakutan mereka dalam menghadapi pernikahan bersama pasangan, agar bisa saling percaya dan meyakinkan satu sama lain.
Stabilitas finansial juga menjadi fondasi penting dalam pernikahan bagi Gen Z. Mereka cenderung menunda pernikahan hingga merasa siap secara finansial dan memiliki karir yang mapan. Dengan kata lain, Gen Z menginginkan pernikahan yang tidak hanya didasarkan pada cinta, tetapi juga pada kematangan emosional dan kesiapan untuk membangun kehidupan bersama yang berkelanjutan.
Pernikahan merupakan sebuah kerjasama antar pasangan agar bisa mencapai tujuaannya yaitu sakinah, mawaddah dan warohmah. Diperlukan sebuah penyatuan kepala antara dua orang agar bisa saling melengkapi perbedaan masing-masing dan menyelesaikan konflik yang timbul dalam pernikahan.
Penurunan angka pernikahan di kalangan Gen Z merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk media sosial, prioritas karier, dan ekspektasi yang tinggi terhadap pernikahan. Meskipun demikian, pernikahan tetap menjadi institusi yang penting bagi banyak orang. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pandangan Gen Z terhadap pernikahan, kita dapat mengembangkan program dan kebijakan yang mendukung generasi muda dalam membuat keputusan yang tepat tentang masa depan mereka.
Pernikahan bukan lagi kewajiban, tetapi pilihan. Mereka tidak merasa tertekan untuk menikah pada usia tertentu atau karena tekanan sosial. Gen Z lebih terbuka terhadap berbagai bentuk hubungan, termasuk pernikahan yang tidak konvensional. Mereka lebih menghargai fleksibilitas dan kebebasan dalam hubungan. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.