OPINI — Guruku malang, guruku sayang. Itulah ungkapan yang menggambarkan nasib guru pada kondisi di kekinian. Pertanyaannya adalah, mengapa hal ini terjadi? Jawabannya tentu karena akhir akhir ini timbul peristiwa yang sangat menyayat hati ‘Kaum Umar Bakrie’ ini.
Belum lepas dari ingatan kita, ada guru di Makassar yang berdarah-darah karena dianiaya oleh orang tua murid, masih di Sulawesi Selatan, tepatnya di kota kelahiran BJ Habibie, Parepare, ada seorang guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 3 yang bernama Darma, yang dilapor oleh LSM dalam kasus dugaan pemukulan terhadap siswinya, lantaran sang siswi menolak ajakan guru Darma untuk shalat, dan akhirnya Pengadilan memvonis 3 bulan penjara dan 7 bulan percobaan.
Nasib malang lainnya dan yang paling tragis dialami oleh Guru, adalah Ahmad Budi Cahyono, seorang guru honorer mata pelajaran Seni Rupa SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, yang meregang nyawa di rumah sakit dr Soetomo Surabaya, karena diduga dianiaya oleh muridnya.
Kasus pemukulan oleh siswa berinisial HI ini terjadi, saat guru Budi menyampaikan pelajaran kesenian. Saat itu, HI tertidur di dalam kelas, dan Budi langsung menghampiri yang bersangkutan, mencoret wajahnya dengan tinta. Namun, HI tidak terima dan langsung memukul guru Budi mengenai bagian pelipis wajahnya. Budi tidak melawan. Ia mengalah atas perlakuan siswanya HI.
Namun aksi HI tidak sampai di situ. Seusai pulang sekolah, siswa itu menunggu guru Budi di Jalan Raya Jrengik dan kembali menganiaya sang guru. Sesampainya di rumahnya, Budi tiba-tiba pingsan dan langsung dirujuk ke RS Dr Soetomo Surabaya samapi akhirnya ia menghembuskan nafaz terkhirnya. Hasil diagnosa dokter menyebutkan yang bersangkutan mengalami mati batang otak dan semua organ dalam sudah tidak berfungsi.
Tindakan hukuman disiplin yang dilakukan oleh guru, yang pada waktu dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar HAM. Akibatnya, guru seperti menghadapi dilema, di satu sisi dia harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, sementara disisi lain, khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.
Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut dibiarkan saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka semakin seenaknya melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.
Guru akhirnya cari aman, tidak mau pusing dengan urusan sikap, perilaku, etika, dan sopan santun siswa (walau hatinya mungkin memberontak). Datang ke sekolah hanya mengajar, sampaikan materi sampai habis jam pelajaran, dan pulang. Intinya, asal gugur kewajiban.
Proses pendidikan yang seharusnya meliputi tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, lebih dominan pada ranah pengetahuan. Akibatnya, banyak anak pintar tapi sikap dan perilakunya kurang baik, jumlah kenakalan remaja semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan, bahkan sudah masuk ke kategori tindakan kriminalitas, seperti yang dilakukan oleh HI yang tega menganiaya gurunya hingga meninggal dunia.
Problematika kerusakan moral pelajar saat ini tidak bisa dianggap sepele, pasalnya pelajar menjadi tolak ukur kemajuan negara di masa mendatang. Untuk itu, tanggungjawab tidak lagi dialamatkan pada sekolah dan orang tua semata, tetapi negara juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi generasi mudanya dari tingkat kebobrokan yang lebih parah.
Maka tak berlebihan mungkin jika pameo ini kembali penulis sampaikan, “jika ingin merusak satu bangsa, maka hancurkan budayanya”. Tentu berbicara tentang budaya, maka kita berbicara tentang sendi kehidupan manusia. Diaman budaya kita? Inilah saatnya kita sadar ternyata budaya adalah jiwa Pendidikan. Pendidikan adalah jiwa bagsa atau negara ini.
Kita lupa pada saat Jepang diserang bom atom tahun 1945, pemimpin negaranya saat itu bertanaya “Berapa jumlah guru yang selamat?” Mengapa demikian, karena masyarakat Jepang sadar, bahwa guru diperlukan untuk membagkitkan Pendidikan di negerinya. Mereka sadar bahwa Pendidikan adalah jiwa suatu negara. Manakala pendidikan bagus, tak pelak lagi kebangkitan bagsa ini akan terjamin keberlanjutannya. Sebaliknya, jika pendidikan terpuruk, saat itu juga kehancuran akan terjadi di negeri ini.
Lantas pertanyannya kemudian, sampai sejauh manakah kita para murid, orang tua murid, masyarakat, LSM, dan negara memberikan peghargaan terhadap guru?.