Oleh: Sirajuddin, S. Pd. I., S. IPI., M. Pd (Pustakawan IAIN Parepare)
OPINI — Tanggal 17 Mei ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional bukan tanpa sebab. Pada 17 Mei 1890 silam, pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menjadi salah satu awal bersejarah yang menginisiasi momen tersebut dan upaya untuk terus menstimulus dan memacu kecintaan terhadap buku. Pada tahun 2002, Menteri Pendidikan dari Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar mencanangkan adanya peresmian Hari Buku Nasional.
Mendengar kata buku akan membawa alam pikiran bawah sadar (subconscious) kita ke sebuah gedung atau tempat penyimpanan buku apakah itu gerai buku, toko buku dan tentu pada umumnya kita akan mengingat perpustakaan yang selalu diasosiasikan sebagai agen of culture, agen of change, dan agen of education.
Buku (bahan pustaka) adalah sebuah benda yang padanya juga diasosiasikan sebagai jendela dunia (the window of the world). Melalui buku, kita mengetahui banyak hal. Kita bisa menjelajahi alam dan seisi dunia bahkan kita mampu mengarungi alam pikiran para ilmuwan melalui narasi, diksi, gaya bahasa. Dan buku gaya selingkung (house style book) sebagi karakter yang dibawa oleh setiap buku.
Definisi Unesco: A book is a non-periodical printed publication of at least 49 pages, exclusive of the cover pages, published in the country and made available to the public. (Buku adalah publikasi tercetak tidak berkala dengan ketebalan lebih dari 49 halaman, memiliki kover yang khas, diterbitkan suatu negara dan tersedia untuk publik.
Sumber: Recommendation concerning the International Standardization of Statistics Relating to Book Production and Periodicals, 19 November 1964).
Belakangan Unesco menambahkan satu syarat lagi yaitu dicetak sekurang-kurangnya 50 eksamplar serta disebarkan kepada publik.
Minat Baca dan Solusi
Urgensi hari buku nasional 17 Mei ini adalah bagaimana kita mengevaluasi, merevitalisasi minat baca masyarakat Indonesia yang terpuruk di tengah kembang majunya sarana baca dan perpustakaan dengan sistem pelayanan berbasis pengguna (user services oriented) sebagai sarana yang cespleng dalam membina minat baca masyarakat Indonesia.
Faktor empirik yang mempengaruhi rendahnya minat baca orang Indonesia, antara lain karena ketersediaan buku bacaan yang masih jauh dari ideal. Idealnya satu orang dua buku namun yang terjadi saat ini adalah 15 ribu orang hanya satu buku. Di sisi lain, UNESCO menetapkan standar ideal untuk setiap indivudu membaca/menghabiskan tujuh judul buku dalam setahun, namun di Indonesia satu buku dibaca oleh tiga sampai empat orang.
Sebagai pustakawan pada perguruan tinggi dimana keseharian saya bergelut dengan tugas kepustakawanan, menemukan adanya kelesuan dan kemalasan dalam membaca buku, yang saya kecualikan menerima tugas dari dosen, yang sering dibahasakan rendahnya minat baca pemustaka dan masyarakat sekitar, dan kondisi kemalasan membaca ini menjadi streotype bagi masyarakat Indonesia khususnya pelajar.
Menurut survei kelas dunia, orang-orang Indonesia tak suka baca “buku”. Data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Yang pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015.
Yang kedua, peringkat literasi bertajuk “World’s Most Literate Nations” yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU), keduanya sudah menempatkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan.
Di tengah hegemoni gadget, gawai, smarthphone dan sejenisnya yang selalu menghiasi genggaman sebagai pegiat literasi, saya berharap adaya upaya pemerintah untuk terus mem-buzzer kepedulian membaca dengan melakukan event kreativitas seperti pameran buku, lomba review buku (bibliobattle) sebagai empowerment atau upaya mengaktualisasikan potensi membaca yang dimiliki masyarakat.
Yap (1978) misalnya, melaporkan bahwa kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh faktor kualitas membacanya. Faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan membaca adalah 65 persen ditentukan oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, 25 persen oleh faktor IQ, dan 10 persen oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial, emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya. (*)