PAREPARE, PIJARNEWS.COM – Kabar baik dan manis kembali berkunjung di awal tahun 2018 yang gerimis. Setelah tahun sebelumnya lahir puluhan buku terbitan dari masyarakat di Kota Parepare dengan swadaya masing-masing penulis. Minimnya perhatian dari pihak yang berwenang bukanlah alasan untuk tidak menulis.
Menulis adalah karunia, itu kira-kira yang menjadi alasan tertentu bagi setiap penulis. Tak terkecuali bagi seorang remaja yang masih menginjak umur 14 tahun, Muhammad Afiq Naufal yang membuat awal tahun ini manis setidaknya bagi pecinta tulisan. Naufal mempersembahkan sebuah karya yang berjudul Hikayat Angin, sekumpulan puisi, 5/1/2017.
Tak tanggung-tanggung, Naufal mendapatkan apresiasi cinta dari Sastrawan Indonesia diantaranya Tri Astoto, Sahran Himamaru dan juga Sunardi Purwanda. Pada laman social medianya, Tri Astoto secara khusus menyebarkan informasi terkait terbitnya buku Hikayat Angin dengan menyebutkan Naufal sebagai ‘Generasi Emas’ sastra Kota Parepare.
Begitu juga dengan Sahran Himamaru yang mengungkapkan kebahagiaannya atas terbitnya buku Hikayat Angin.
“Ini tentang Hikayat Angin; Imajinasi yang dipeluki intuisi tajam adalah sekumpulan sajak dihamburi bait-bait anak muda yang bertutur melampaui usianya yang dalam hitungan umur belumlah beliau”, tulis Sahran di akun facebooknya.
Tak ketinggalan Sunardi Purwanda memberikan apresiasi dengan menuliskan narasi untuk Naufal Hikayat Angin:
Saya bertemu dengan seorang anak usia 14 tahun. Ia petualang, jauh dari orang tua, membaca, dan menulis. Di usianya yang belum diperbolehkan memiliki SIM, Ia telah mengenal Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan M. Aan Mansyur, tiga penyair yang karyanya banyak dibicarakan. Ia mengoleksi buku-buku mereka sembari mempelajari cara ketiganya merangkai kata.
Baru saja, Ia selesai meluncurkan bukunya, Hikayat Angin. Sebuah kumpulan puisi yang Ia tulis sejak tahun 2016.
Saya berpikir, semakin banyak anak-anak muda yang suka membaca/menulis (barang tentu analitis dan sudah pasti kritis), maka semakin sedikit kita memproduksi orang-orang tua yang kelak suka angkat bicara (kadang asal bunyi saja dan kadang pula suka mengecam).
Sungguh indah membayangkan, masa itu tiba.
Begitulah narasi yang dituliskan Sunardi. Selamat dan terima kasih untuk Naufal, dengan Hikayat Angin semoga tidak menjadi pengendali angin dan berubah jadi avatar. Tetaplah sederhana dan bersahaja. Bincang-bincang Hikayat Angin berlangsung damai di Pales Teduh dan yang belum sempat hadir, keresahan itu bisa terobati beberapa hari kedepan pada bincang-bincang lanjutan di Gud Mud Educafe. (ibl)