PIJARNEWS.COM — Idul Fitri merupakan momen berharga bagi seorang muslim. Hari raya yang kedatangannya sangat ditunggu. Setelah satu bulan penuh berpuasa, kedatangan Idul Fitri seperti ulat yang keluar dari kepompong untuk menemukan suasana dan menghadirkan semangat baru. Sang Nabi menyebut selepas puasa Ramadan itu seseorang menjadi suci. Idul Fitri artinya kembali ke kesucian.
Disebut suci karena Ramadan telah membakar dosa dan kekhilafan. Lewat kuali Ramadan, kesalahan itu dihanguskan dan manusia dikembalikan ke titik nol. Titik baru keberangkatan. Tasming Hamid menitip pesan dan hikmah Idul Fitri, yang ia rangkum dalam dua kata, ‘Semangat Baru’
“….Menginjak satu Syawal dengan keinsafan dan semangat baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada jangkar kekuatan spiritual. ‘Kebaruan’ itu penting sebab suasana seperti ini biasanya yang dapat menyuntikkan harapan gemilang dalam meretas sejarah masa depan.
Kebaruan sebagai pandu untuk memutus sejarah kelam masa silam. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, di jendela esok kita mengharapkan sistem baru yang bisa membangkitkan respons positif dari masyarakat.
Sistem dan mentalitas lama biasanya diidentikkan dengan segala bentuk cela, cacat, kebohongan dan kecurangan. Maka ke depan kewajiban kita adalah merawat kesucian. Manusia harus mampu menghidupkan spirit Ramadan terus-menerus untuk mengawal dirinya agar tidak jatuh dan tersekap dalam tindakan yang dapat mengotori makna kesucian. Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang ketika kembali ke pangkuan Zat Yang Maha Suci.
Di hari raya ini pula dengan lapang kita tebarkan maaf kepada sanak saudara dan handai tolan. Maka Idul Fitri sering juga disebut Lebaran; saling meleburkan, saling memaafkan. Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan. Permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan itu.
Manusia bukan malaikat yang tidak pernah keliru, juga bukan setan yang selamanya tersesat. Manusia berada dalam dua pendulum, antara tarikan kebenaran dan godaan kesalahan. Antara mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan setan-kebinatangan. Antara dunia terang dan terseret gelombang arus kegelapan.
“Faalhamaha fujuraha wa taqwaha”. Dalam diri manusia mengalir potensi fujur (negatif) dan potensi takwa (positif). Mana di antara keduanya yang lebih dominan? Di titik ini sesungguhnya hakikat ‘jihad’ itu harus diletakkan.
Jihad yang paling besar, kata Nabi, bukan militansi mengacungkan pentungan dengan pekik Allahu Akbar sambil menganggap kafir mereka yang tak sama haluan pemahaman dan kepercayaannya, melainkan pertempuran dalam jiwa di antara kedua potensi itu.
Ketika fujur yang menjadi kiblat, manusia bisa lebih setan ketimbang setan, bisa lebih nestapa daripada satwa. Sebaliknya, saat takwa yang menjadi landasan, manusia harkatnya dapat melampaui malaikat, naik ke takhta spiritual yang paling puncak.
Di hari idul fitri dengan air muka cerah penuh bahagia, kita ulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan permaafan lewat ungkapan; minal aidin wal faizin, taqabbalallahu minna waminkum.
Harus diakui bahwa selama Ramadan biasanya indeks kesalehan seseorang meningkat. Tidak saja puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap kebaikan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hari di Ramadan.
Namun, harus juga lekas dicatat, ritual yang dilakukan sering kali berhenti sebatas upacara. Selesai ritual ditunaikan, selesai pula urusannya. Di persimpangan inilah fenomena paradoksal itu mencuat. Kita tentu tidak ingin satu Syawal justeru menjadi katup orang kembali ke habitat aslinya yang negatif. Kita tak mau meninggalkan Ramadan yang tak berdampak baik secara personal, kultural, terlebih sosial. Kita harus mengisi idul fitri dan hari-hari selanjutnya dengan suasana, peningkatan kebaikan hidup dan semangat baru.
Selamat Idul Fitri 1438 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin…”
Tasming Hamid, SE., MH.