ESAI — Seorang ibu sedang merangsang kemampuan berbicara anaknya yang berusia 21 bulan.
“Om Iceng,” kata si ibu.
“Ng. Ng,” balas sang anak.
“Om Ballo.”
“Lo. Lo.”
Percakapan itu adalah hasil rekaman video yang dikirimkan kepada saya beberapa minggu lalu. Seorang anak, Anda tahu, mulai membeo beberapa kata sejak usianya 6-12 bulan. Usia 12-18 bulan, baiknya ia sudah mampu mengucapkan 10 kata, usia 18-24 bulan mengucapkan 50 kata, dan usia 25-36 bulan mampu mengucapkan setidaknya 500 kata.
Bagaimana anak mempelajari kata-kata tersebut?
“Ada dua cara terpenting: mendengar dan mengalami,” kata Edgar Dale, seorang guru dan penemu teori Cone of Experience (Kerucut Pengalaman). Benda yang anak makan, minum, cium, rasa, dan raba akan coba si kecil kenal lalu mengutarakannya. Dalam urusan mendengar, anak menyerap kata-kata dari orang tua, orang dewasa sekitarnya, teman sepermainan, tivi, radio, dan gawai.
Cara orang tua berkomunikasi dengan anak-anak mereka memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan bahasa sang anak. Pada umumnya kemampuan berbicara anak berkembang sesuai dengan usianya. Namun, cepat atau lambat seorang anak dapat mengucapkan kata secara lugas berkaitan erat dengan pola asuh. Anak yang lebih sering bermain sendiri dan jarang dirangsang berbicara cenderung mengalami keterlambatan.
Anak sesungguhnya penyimak yang baik. Semakin banyak dan sering ia mendengar kata-kata, semakin berpotensi ia memiliki kekayaan kosakata. Memiliki perbendaharaan kata yang melimpah, konon, memudahkan seseorang mengekspresikan perasaaan dan menyatakan pikirannya secara menarik dan akurat. Kata-kata yang dilontarkannya asik disimak dan gagasannya pun mudah dimengerti. Kemampuan demikian saya kira penting. Apatah lagi bila anak kita punya cita-cita menjadi presiden atau anggota legislatif.
Lantas, bagaimana membekali perbendaharaan kata anak-anak kita? Sejumlah hasil penelitian memberikan petunjuk, yakni membacakan cerita atau mendongeng—hal baik yang tidak banyak lagi dipratikkan oleh sejumlah besar orang tua.
Mendongeng, Anda tahu, adalah cara kuno. Namun, saya pikir, ia tetap menjadi salah satu sarana efektif untuk menyampaikan gagasan, pengetahuan dan nilai-nilai moral ketimbang melalui ceramah atau pidato bertabur slogan. Budayawan Sulawesi Selatan, Andi Oddang to Sessungriu mengaku bahwa dahulu, dalam praktik pendidikan di tanah Bugis, pengetahuan disampaikan lewat cerita.
Dongeng juga dapat melatih kemampuan imajinasi anak. Imajinasi membuat anak dapat berpikir kreatif dan terbuka. Mungkin karena alasan itu, Ilmuwan Albert Einstein menyempatkan membacakan dongeng kepada anak-anaknya. “Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan,” katanya. Akan lain halnya dengan penulis kesohor M. Aan Mansur dan Gabriel Garcia Marquez. Mereka adalah dua contoh kongkret bagaimana dongeng mempengaruhi kehidupan dan karya-karya mereka.
Mendengarkan dongeng atau cerita membuat anak memusatkan perhatiannya. Si kecil memersepsikan apa yang mereka dengar, membayangkan bagaimana situasi, suasana, dan karakter tokoh-tokoh cerita. Interpretasi yang anak hasilkan juga akan merangsang tanggapan emosionalnya. Milton Erickson, seorang dokter dan hipnoterapi berkata, “Orang bisa menolak saran atau nasihat, tetapi ia tdak bisa menolak cerita. Orang hanya bisa menerima cerita yang disampaikan kepadanya, dan pada saat yang sama ia menerima pesan tersirat yang menyentuh bawah sadarnya.” Barangkali sebab itu, ingatan kita tentang cerita tak pernah benar-benar hilang.
Pada saya, setidaknya ada dua tokoh dari kisah dongeng yang kembali gentayangan dalam ingatan akhir-akhir ini: Kancil dan Nenek Pakande. Anda?
Si Kancil dan Nenek Pakande, pikir saya, punya kemiripan dengan anggota legislatif yang korup. Dalam dongeng, si Kancil dilukiskan sebagai tokoh yang cerdik. Anda mungkin masih ingat bagaimana Kancil memanfaatkan tubuh Buaya agar ia dapat menyeberangi sungai demi memenuhi hasratnya mendapatkan mentimun. Sementara tokoh Nenek Pakande digambarkan sebagai makhluk buas, pemangsa anak kecil di waktu magrib tiba. Lalu, apa kesamaan mereka dengan legislator korup tersebut? Ingat-ingatlah kasus e-KTP, proyek jalan, penyalahgunaan konsesi, dan lain sebagainya.
W. S Rendra dalam satu bait puisinya berjudul “Politisi Itu Adalah” mengungkapkan, “… Ada orang suka nasi. Ada orang suka roti. Tapi politisi akan makan apa saja asal sambil makan ia duduk di singgasana …”
Pemilihan umum tinggal menghitung hari. Kita akan memilih presiden dan anggota legislatif “baru”. Data KPK sepanjang 2004-September 2018 memperlihatkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi paling banyak berdasarkan profesi adalah DPR dan DPRD. Dengan kata lain, sebagian besar anggota legislatif kita terbukti meneladan Kancil dan Nenek Pakande. Sialnya, sebagai pemilih, kita belum memiliki alat detektor untuk mengetahui calon legislator (caleg) mana yang memiliki potensi serupa Kancil dan Nenek Pakande. Yang banyak mereka miripi adalah anak kecil berusia bulanan. Gagasan dan program yang para caleg tawarkan ketika kampanye masih berkutat dengan kalimat, slogan, dan diksi itu-itu saja. Kata: gratis, salah satunya.
Hakikatnya, kita butuh anggota legislatif yang cakap mendeskripsikan gagasannya dengan kalimat memikat dan menarik. Kita butuh anggota legislatif yang mampu memberi bayangan kolektif akan kerjanya kelak. Itu, bagi saya, satu-satunya alasan memilih. Namun, adakah?
Penulis:
Ilham Mustamin atau @ilo.id, menulis esai dan cerpen. Berdomisili di Parepare. Aktif di komunitas Parepare Menulis, Teater Kokoh, dan Bumi Manusia._