OPINI,- Untuk mengurangi rasa cemas, sembari berjalan menuju kelas, Auggie mengingat pesan ibunya–kalau kau tak suka di mana kau berada, bayangkan saja di mana kau ingin berada. Itu adalah hari pertama Auggie bersekolah.
Auggie memiliki wajah tidak senormal orang pada umumnya. Ia menderita kelainan genetik yang mempengaruhi tulang pipi, rahang, dagu dan telinganya. Dalam dunia medis, kelainan itu disebut sindrom Treacher Collins. Agar dapat bernapas, melihat, dan mendengar dengan baik, ia menjalani operasi hingga 27 kali.
Di sekolah, ketidaknormalan rupa Auggie itu seolah menjadi undangan terbuka bagi mata anak-anak lain. Auggie dilirik. Auggie diejek–kalau wajahku begitu, aku akan pakai penutup kepala sepanjang hari;
menyentuh-nya (Auggie), sama halnya menceburkan diri ke dalam wabah; kalau wajahku begitu, aku akan bunuh diri. Auggie juga mendapatkan tindakan segregasi dari teman sekolahnya. Meskipun demikian, laku teman-temannya itu tak sekali pun pernah ia balas.
Suatu waktu saat sedang menyantap makan siang, Jack Will, anak pertama di sekolah itu yang sudi berteman dengan Auggie melontarkan pertanyaan, “Kau pernah kepikiran melakukan operasi plastik?”
“Aku tak pernah memikirkannya. Kenapa?” jawab Auggie. Jack menundukkan pandangannya. Wajahnya terlihat gusar. “Hei,” Auggie meneruskan, “wajah ini sudah dioperasi plastik. Butuh kerja keras terlihat setampan ini.”
Sikap dan jawaban Auggie tersebut menunjukkan kepada kita sebuah respons pengelolaan emosi yang menakjubkan. Anak-anak yang mengalami pengucilan dan cemoohan entah karena kelainan fisik, miskin, dan dicap bodoh cenderung minder, menutup diri, dan depresi. Namun, bagaimana Auggie mampu mengatasi perlakuan teman-temannya itu?
“Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi,” kata Daniel Goleman, seorang penulis, jurnalis sains, dan pengajar di Harvard. “Dalam lingkungan yang akrab ini kita belajar bagaimana merasakan perasaan kita sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaan kita; bagaimana berpikir tentang perasaan dan pilihan-pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.”
Ada tiga gaya mendidik orang tua yang secara emosional pada umumnya tidak efisien menurut Goleman:
Pertama, sama sekali mengabaikan perasaan. Orang tua semacam ini memperlakukan masalah emosional anaknya sebagai hal kecil atau gangguan. Akhirnya, mereka gagal untuk menolong anak memperoleh pelajaran-pelajaran dalam keterampilan emosional.
Selanjutnya adalah terlalu membebaskan. Orang tua seperti ini peka akan perasaan anak, tetapi berpendapat bahwa apa pun yang dilakukan anak untuk menangani badai emosinya sendiri itu baik adanya. Umumnya mereka menenangkan emosi anak yang kecewa atau bersedih dengan menggunakan tawar-menawar atau suap. Mereka jarang berusaha memperlihatkan kepada anaknya respons-respons emosional alternatif.
Terakhir, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak. Orang tua semacam ini lazimnya suka mencela, mengecam, dan menghukum keras anak mereka. Mereka mencegah setiap ungkapan kemarahan anak dan menjadi kejam bila melihat tanda kemarahan paling kecil sekali pun.
Barangkali keluarga Auggie adalah contoh yang dapat kita andalkan melihat pembelajaran emosi kepada anak. Ibu, bapak dan kakak perempuan Auggie tanggap setiap kali Auggie mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Mereka segera memberi perhatian, memberi pemahaman yang empatik, memahamkan bagaimana realitas bekerja, dan membimbing Auggie belajar menangani kekecewaannya sendiri. Hal itu mereka lakukan dengan cara berdialog, menyatakan perasaan secara terbuka, dan tidak terkesan menggurui Auggie saat mereka sedang membicarakan suatu masalah.
Dan, satu hal yang saya rasa perlu digarisbawahi dalam setiap dialog itu adalah bagaimana setiap anggota keluarga tidak memandang Auggie sebagai pribadi yang berbeda secara mental, melainkan sebagai manusia yang memiliki kemandirian menentukan apa yang Auggie inginkan atau rasakan.
Peneliti dan klinisi psikologi, John Gottman dan timmya, dalam sebuah riset tentang bagaimana pasangan suami-istri mendidik anak-anaknya menemukan bahwa pasangan yang secara emosional lebih terampil dalam pernikahannya juga pasangan yang paling berhasil membantu anak-anaknya menghadapi perubahan emosi.
Saya pikir, anak-anak yang tumbuh dengan pendidikan pengelolaan emosi, akan lebih mudah bersikap berdamai ketimbang memulai (terlibat) dalam pertengkaran.
Auggie mengungkapkan bahwa kalau kita tahu apa yang orang lain pikirkan, kita akan mendapati bahwa tak ada manusia yang biasa saja. Kata-kata yang barangkali setiap orang mengamini kebenarannya, namun hanya sedikit orang yang benar-benar mampu merasakannya.
Kisah keluarga Auggie itu saya saksikan dalam sebuah film drama keluarga berjudul Wonder yang disutradarai oleh Stephen Chbosky. Film yang dibintangi oleh Julia Roberts sebagai ibu Auggie (Isabel), Owen Wilson sebagai suami Isabel, dan Auggie yang diperankan oleh Jacob Tremblay. Film itu diadaptasi dari novel karya R. J. Palacio dengan judul yang sama. Respon orang-orang terhadap novel dan film tersebut positif. Berdasarkan Cinema Score, film Wonder mendapatkan nilai “A+” dari penonton film untuk skala A+ sampai F.
Penulis:
Ilham Mustamin. Aktif di komunitas Parepare Menulis dan Bumi Manusia. Bekerja sebagai editor di penerbit Sampan. Berdomisili di Parepare.