OPINI – Pasangan calon (paslon) peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) dan para pengurus partai politik (parpol) sudah menabuh ‘genderang perang’ pasca mereka mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kelihatannya mereka berseteru, dan bisa jadi mereka tersenyum manis atau bahkan tertawa terbahak-bahak melihat para pendukungnya saling puji dan saling bully seperti yang terlihat di media sosial akhir-akhir ini.
Paslon dan orang-orang parpol tentu sangat paham jika politik itu kepentingan, pastilah mereka selalu berhitung untung-rugi. Apapun partainya, kepentinganlah yang utama.
Partai-partai yang selama ini kelihatannya bersebrangan, misalnya yang mengusung ideologi nasionalis, partai yang berbasis Islam, partai sekuler, dan lain sebagainya. Mereka memilih berkompromi untuk memilih calon Gubernur, Wali Kota, dan Bupati. Lihat saja PKS yang berkoalisi dengan PDIP mengusung calon yang sama pada pemilihan Gubernur di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Di Kota Parepare misalnya, partai besutan Prabowo (Gerindra) dan partai besutan Megawati (PDIP) memilih bersatu mengusung paslon yang sama, padahal pada momentum Pilpres mereka selalu bermusuhan.
Politik itu tetaplah ajang meraih kekuasaan dengan segala cara. Di dalamnya terdapat immortal interest (bunga abadi) yang menjadi ruh abadinya baik untuk kepentingan kelompok (partai) maupun individu (pribadi). Para politisi dari partai politik siap melakukan kompromi politik apa saja, dengan siapapun, dan melalui langkah apapun, tak peduli apapun hingga akhirnya harus mengorbankan nilai-nilai agama, etika dan idiologi partai sekalipun.
Jadi jangan heran seorang politikus, hari ini mengatakan A, namun dalam hitungan jam mengatakan B. Hal itu dianggap wajar dalam dunia politik.
Sebagai anak bangsa, tidak salah mungkin jika penulis mengajak untuk kita saling ingat mengingatkan santai atau rileks sajalah melihat politik di negeri ini. Ukurlah parpol, calon Gubernur, Wali Kota atau Bupati. Mari kita nilai mereka dari karakter dan kinerjanya selama ini, apakah mereka berpihak ke rakyat atau hanya mengatas namakan rakyat. Jangan ragu mengkritik mereka bila salah dalam kebijakan publiknya. Dengan begitu kita tidak terjebak dalam glorifikasi parpol dan personal.
Janji politik yang bersahut-sahutan di tahun politik bukanlah sebuah jaminan melainkan hanya sebuah sarana hipnotis agar memilih bukan karena hati nurani, melainkan karena mulut manisnya. Nah jangan gampang percaya pada janji manis yang didengung-dengungkan. Diantara seribu janji bahkan kadang tiada satu janji yang akan ditunaikan. Ini bukan bualan melainkan sudah menjadi budaya dan umumnya pejabat kita punya satu penyakit lupa atas apa yang dia ucapkan. Penyakit itu akan datang seusai apa yang diinginkan telah didapatkan. Tak sedikit pula para calon bermodal dirinya dalam posisi teraniaya, dan jika terpilih nanti, bukan jaminan jika dia juga akan menganiaya.
Jadikan diri kita anti janji-janji politik ‘seandainya saya terpilih nanti saya akan ini dan itu’, ‘jika saya terpilih nanti semuanya akan gratis’, dan mulailah memilih dengan hati nurani kita. Memilih bukan karena terpengaruh perkataan, karena uang, karena hal lain melainkan kita menimbang, mengenali dan memilih siapa yang kita pilih dengan hati. Jadilah pemilih yang cerdas mencerahkan. (*)