PIJARNEWS.COM — Apa yang menyebabkan puasa, atau shaum menjadi begitu istimewa di mata Allah Ta’ala? Apa sebenarnya tujuan puasa?
Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah agar bertakwa (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183), ini tentu benar. Itu tujuan akhir. Tapi, bagaimana hubungannya, bagaimana penjelasannya, sehingga puasa bisa membuat seseorang menjadi ber-taqwa?
Puasa pada hakikatnya adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Insan, dalam berpuasa, sebenarnya sedang menafikan kehendak syahwat dan hawa nafsunya. Lapar dan haus diabaikan.
Syahwat tak dipedulikan. Ia singkirkan bangga diri, amarah, dan tidak melawan jika harga diri direndahkan—ingat hadits riwayat Bukhari, ‘jika kau dicaci, katakan bahwa engkau sedang berpuasa’.
Jika seorang hamba berusaha menentang dan mengendalikan syahwat dan hawa nafsu, dan berupaya untuk lepas dari keinginan-keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, artinya seorang hamba sedang ‘meniadakan diri’. Ia menafikan segala keinginan yang ada dalam dirinya, selain yang sesuai dengan kehendak Allah.
Ia berupaya agar dalam dirinya tidak ada apapun selain apa-apa yang Allah kehendaki atau Allah ridhoi. Dengan kata lain, ia sedang berupaya untuk ‘mengosongkan dirinya’ dari selain Allah.
Upaya-upaya untuk melepaskan diri dari dominasi syahwat dan hawa nafsu, dan dari keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebenarnya adalah upaya meniadakan diri. Puasa pun sebenarnya adalah salah satu upaya yang sesuai syari’at untuk meniadakan diri dari selain-Nya.
Sekarang, kalau kita mencermati ayat-ayat kauniyah di alam semesta, kita akan melihat natur tertentu. Misalnya, natur keberpasangan. Gelap berpasangan dengan terang. Siang dan malam akan saling mengisi.
Dingin akan menarik panas, dan sebaliknya. Pria berjodoh dengan wanita. Positif dan negatif akan saling mengunci. Semua berpasangan.
Hidup dan mati, lapang dan sempit. Ada dan tiada. Sama.
Nah, Allah itu Maha Wujud. Maha Ada. Sesuai natur keberpasangan tadi, pasangan sifat Wujud justru adalah ‘ketiadaan’. Fana.
Itulah sebabnya, hamba-hamba yang ‘kosong’ dan telah ‘tiada’ tadi, yang telah lenyap dari dirinya sendiri dan hawa nafsunya, jadi sangat berharga di mata-Nya.
Puasa, adalah sebentuk upaya mengosongkan diri, meniadakan diri. Itulah sebabnya Dia akan memperlakukan upaya-upaya pengosongan diri dan peniadaan diri si hamba tersebut jadi hal yang personal bagi-Nya. Yang Maha Wujud tentu akan mencari kekosongan.
Dia memiliki segalanya. Maha Kaya, tidak butuh pada sesuatu pun. Tidak ada lagi yang bernilai dan berharga bagi-Nya, karena Dia memiliki segalanya. Nah, sebagai seorang hamba, apa yang bisa kita persembahkan kepada-Nya, jika Dia telah memiliki segalanya? Apa yang mungkin masih cukup berharga bagi-Nya?
Kita mempersembahkan dari diri kita apa-apa yang mustahil Dia miliki, yaitu ketiadaan, kekosongan, kefakiran, kebutuhan dan kelemahan. Persembahan-persembahan inilah yang bisa kita buat, kita susun, kita bentuk dan kita ukir perlahan-lahan melalui puasa. Puasa adalah salah satu bentuk upaya dalam membangun kekosongan dan ketiadaan diri, agar diisi oleh-Nya.
Maka di sini, barulah terlihat hubungan yang jelas antara puasa dengan pembentukan ke-taqwa-an. Sebab pengertian hamba yang taqwa(Al-Muttaqin), ditataran batin adalah hamba yang sudah sepenuhnya berisi kehendak Allah, sudah sesuai dengan kehendak Allah, dan telah sepenuhnya Allah jaga agar senantiasa ada di atas petunjuk dan tuntunan Allah—tidak melenceng sejengkal pun. Ia sudah terlepas dari kendali hawa nafsu dan syahwat. Dengan kata lain, hamba yang taqwa adalah hamba yang telah ‘kosong’ dari selain Allah.
Sungguh bahagianya orang-orang yang mendapatkan predikat Taqwa setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. (int/fai/alf)