MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Akhir-akhir ini, isu radikalisme sering menjadi pembahasan publik di Indonesia. Banyaknya kejadian dengan mengatasnamakan jalan jihad, seperti tindakan pengeboman, bom bunuh diri, dan teror lainnya, diduga terjadi karena adanya paham-paham radikal atau radikalisme.
Banyaknya ormas Islam yang dianggap melakukan kaderisasi untuk melakoni jalan “jihad”, banyaknya masjid yang dianggap sudah terpapar oleh paham radikalisme, dan penceramah yang disinyalir menyebarkan paham-paham radikal melalui mimbar masjid.
Terakhir, adanya hasil riset yang di rilis oleh Badan Intelejen Negara (BIN), mengungkapkan data, bahwa ada 39% mahasiswa di 15 Provinsi yang sudah terpapar radikalisme, nilai presentasi yang sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan fenomena tersebut, pengurus Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) Kota Makassar melakukan kegiatan diskusi untuk mengenali paham-paham radikal, dan bagaimana mencari solusinya.
Kegiatan diskusi dengan Ketua Panitia Sahman AT, dilaksanakan di Ruangan Ortopedi RS Unhas, menghadirkan Nara Sumber Guru Besar Kedokteran Unhas sekaligus mantan Rektor Unhas dua periode, Prof. Dr. dr. A. Idrus Paturusi, Sp. BO., FICS. , dan Ketua MD KAHMI Kota Makassar sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. A. Pangerang Moentha, SH. MH. DFM. dengan Moderator Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma Palembang dan Pengurus KAHMI Sulsel Dr. Bastian Jabir Pattara, S. Kom., M. Si.
Dalam diskusi tesebut, A. Pangerang, menjelaskan bahwa radikalisme lahir dari respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, tidak sejalan dengan harapan.
“Radikalisme sebenarnya istilah baru, zaman orba kita lebih kenal dengan istilah fundamentalis, sama-sama lahir dari respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang tidak sejalan dengan harapan”, tutur Pangerang.
Sedangkan Idrus Paturusi menjelaskan bahwa radikalisme lahir karena adanya kebuntuan atau hambatan dalam menyampaikan respon terhadap peristiwa yang terjadi.
Idrus menjelaskan, “Orang radikal biasanya karena terhambat, makanya mereka mencari cara untuk mengatasi jalan buntu”.
Lanjut Idrus, “untuk mengantisipasi radikalisme di kalangan mahasiswa, perlu mengawal Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018, tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di lingkungan kampus”.
Dengan diterbitkannya Permenristekdikti tersebut, organisasi ekstra kampus seperti organisasi cipayung plus, sudah resmi diakui keberadaanya di kampus.
Organisasi ekstra seperti HMI, PMII, GMNI, IMM, KAMMI, GMKI, dan yang lainnya sudah diperbolehkan masuk kampus, dan menjadi organisasi intra kampus.
“Permenristekdikti ini adalah solusi untuk membina ideologi mahasiswa, agar terhindar dari radikalisme”, tutup Idrus. (rls/alf)