Oleh: Muhammad Suryadi R
(Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Tarbiyah IAIN Parepare)
Idul Fitri adalah hari raya terbesar dalam sejarah Islam dan pelaksanaannya terjadi secara serentak di belahan dunia muslim manapun. Umat muslim sedunia merayakan hari ini dengan gegap gempita dan penuh suka cita tentunya. Idul Fitri ini sekaligus adalah hari pertunjukan solidaritas kemanusiaan yang secara simbolik begitu besar. Sebab di dalamnya kegiatan saling bermaaf-maafan memuncak dan terjadi dalam skala besar.
Kendati demikian, alih-alih hari raya Idul Fitri menjadi momentum solidaritas kemanusiaan, tanpa sadar kapitalisme pelan-pelan merasuki hari besar Islam ini dan memanfaatkannya untuk keuntungan maksimal.
Ia (kapitalisme) memainkan skemanya, membentangkan jeratnya ke setiap titik-titik strategis, tak hanya pasar dan tempat-tempat jualan, tapi juga perilaku manusia. Di sini bagian menariknya. Gejalanya bermula dari budaya konsumerisme. Kapitalisme memanfaatkan konsumerisme masyarakat sebagai celah.
Budaya Konsumerisme
Sebagaimana kita pahami bersama, puasa adalah pembuka jalan dalam rangka memetik kemenangan di hari yang fitri. Begitu kira-kira anggapan masyarakat mengenai Idul Fitri pada umumnya. Waktu sebulan penuh merupakan fase menyiapkan diri untuk menuju puncak kemenangan, yakni Idul Fitri. Tapi, Idul Fitri tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tahukah tidak, waktu sebulan saat berpuasa itu adalah masa konsumerisme itu bertumbuh dan berkembang. Hal ini salah satunya kita bisa lihat pada fenomena iklan Sirup Marjan.
Di masyarakat kita, iklan Sirup Marjan dianggap menjadi pertanda akan masuknya bulan suci ramadan. Meski, sirup Marjan dan ramadan sebenarnya tidak memiliki kaitan, namun masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Keduanya tidak memiliki hubungan logis. Satu-satunya yang paling dekat adalah hubungan ekonomis. Sirup Marjan bukan penanda akan datangnya ramadan, melainkan hanya jualan produk yang bernama Sirup Marjan.
Yang membuat sirup Marjan ini eksis adalah peran iklan yang sangat massif yang sengaja dimunculkan secara spesifik di waktu-waktu tertentu (menjelang ramadan). Produk iklan yang lain yang berseliweran selama ramadan tanpa disadari membentuk pola konsumtif masyarakat. Sehingga apapun yang ditawarkan iklan akan menjadi sesuatu yang tidak sah rasanya apabila barang itu tidak dimiliki/konsumsi termasuk tidak afdolnya berbuka puasa tanpa es buah dari larutan sirup Marjan.
Fenomena lainnya adalah belanja maksimal menjelang lebaran. Belanja sandang seperti pakaian (busana), alas kaki, penutup kepala (songkok) seminggu menjelang lebaran menunjukkan bagaimana perilaku konsumtif masyarakat. Menariknya, fenomena ini melanda semua golongan, tak hanya golongan menengah ke atas, tapi juga golongan menengah ke bawah. Atas nama menyambut kemenangan, seseorang tak tanggung-tanggung merogoh kocek dalam-dalam untuk pemenuhan belanja maksimal. Bahkan, sampai harus rela meminjam uang demi melayani nafsu konsumerisme.
Jerat Kapitalisme
Menurut Jean Paul Baudrillard, konsumerisme bermula dari kemunculan fenomena masyarakat kontemporer. Menurut Baudrillard, kebiasaan dan perilaku masyarakat kontemporer sangat konsumtif, yang mana hasrat konsumtif mereka didasarkan pada nilai simbolis dan prestise, bukan pada fungsi dan nilai suatu barang. Sederhananya, konsumerisme adalah konsumsi maksimal suatu barang yang tidak berdasarkan pada urgensi dan kebutuhan utama, melainkan pada keinginan semata. Karenanya, daya konsumtif masyarakat kontemporer cenderung digunakan untuk menunjukkan kebanggaan dan status sosial seseorang.
Seiring berkembangnya zaman, gaya hidup konsumerisme ini pelan-pelan disisipkan melalui siaran tv dan iklan-iklan. Apa yang kita sebut siaran tv dan kanal sosial media sebenarnya adalah alat kapitalisme menyuntikkan pil ekstase candu berupa produk dan layanan yang telah didesain sedemikian rupa agar menarik perhatian masyarakat. Hal ini persis berlaku di bulan ramadhan. Sirup Marjan yang telah disinggung sebelumnya menjadi contoh bagaimana satu jerat kapitalisme bekerja.
Perilaku dan kebiasaan manusia kontemporer yakni konsumerisme menjadi fondasi utama kapitalisme mendesain pola sistem produksinya. Karena itu, melalui konsumerisme, kapitalisme bekerja dengan cara pengkondisian barang dan jasa yang didistribusi ke pasar-pasar.
Ramadhan secara tidak langsung sebenarnya menyediakan pasar spesifik untuk para kapital-kapital besar tak terkecuali perusahaan yang bergerak di bidang pakaian, biasanya pakaian muslim dan muslimah. Selama ramadhan, perusahaan-perusahaan ini paham betul bagaimana perilaku konsumtif masyarakat, karenanya promo besar-besaran menjadi tawaran penjualan.
Hal ini nampak pada perusahaan, toko dan bisnis-bisnis online yang menawarkan diskon besar-besaran khusus ramadhan, tak terkecuali busana muslim dan muslimah. Tak tanggung-tanggung promo yang ditawarkan sangat fantastis. Belum lagi, promo dan diskon menjelang Idul Fitri. Potongan harga dan promo barang selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri adalah skema para pelaku kapitalisme memancing nafsu konsumerisme masyarakat. Karena itu, seminggu menjelang lebaran, swalayan, toko-toko, dan pasar akan sesak oleh pembeli.
Fenomena ini (konsumerisme) tentu sangat kontras dari ajaran Islam. Bahwa Islam mengajarkan pemeluknya agar menjadikan puasa sebagai proses latihan untuk membentuk diri menjadi pribadi yang sederhana. Bahkan, perintah puasa diturunkan sebagai jalan bagi manusia agar memiliki mentalitas sense of respect pada orang-orang yang tidak mampu, sehingga penderitaan dan ketidakmampuan mereka dapat pula kita rasakan.
Dan Islam sesungguhnya tidak melarang cara konsumtif; memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, sama tidak dilarangnya ketika manusia melakukan kerja-kerja kapital; berniaga, berusaha dan berbisnis. Yang dilarang adalah konsumsi berlebihan (konsumerisme) dan kapital berlebihan (kapitalisme). Bukankah Rasulullah Saw. telah meneladankan cara berniaga dengan prinsip jujur, adil, arif dan menenkankan keuntungan secukupnya dan bagaimana beliau mewanti-wanti umatnya agar menjauhi perilaku berlebih-lebihan dalam aspek apapun, sebab hal itu akan menjadikan seseorang semakin dekat dengan kekufuran.
Tak pelak lagi. Begitulah jerat kapitalisme bermain pada hari raya Idul Fitri. Perilaku konsumerisme yang menubuh dalam masyarakat kita melahirkan paradigma kebendaan/materialisme. Karenanya, dalam konteks perayaan hari kemenangan setelah berpuasa sebulan lamanya dimaknai dengan keharusan membeli baju baru, sendal baru, songkok baru dan apa saja yang bisa baru.
Idul Fitri sebagai perayaan atas kemenangan melawan hawa nafsu tak lagi sakral. Kemenangan itu justru mengalami degradasi. Idul Fitri menjadi ajang perayaan atas simbol-simbol kebendaan bukan perayaan hakiki. Lantas, apa yang kita katakan sebagai kemenangan sebenarnya pernyataan atas kekalahan, kekalahan kita dalam membelenggu nafsu kebendaan dan ketidakmampuan kita melawan kemewahan.
Perayaan hari raya Idul Fitri dengan cara kapitalistik ugal-ugalan seperti ini, kita lantas berharap memenangkan apa?
Wallahu a’lam bishawab.