JAKARTA, PIJARNEWS.COM— Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menilai, kebijakan impor beras sebanyak dua juta ton pada 2023 oleh pemerintah sebagai bentuk salah arahnya visi politik pangan.
Hal ini diungkapkannya merespons rencana pemerintah yang akan segera merealisasikan impor beras sebanyak 500.000 ton dari rencana 2 juta ton melalui Perum Bulog. Meskipun, pemerintah menyatakan tetap akan melindungi petani dengan menjamin harga gabah kering panen tidak anjlok di bawah harga pembelian pemerintah atau HPP, yakni Rp5.000 per kilogram.
Mengutip keterangan dari Kompas, Ahad (26-3-2023), Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, NFA telah meminta Bulog segera merealisasikan impor beras sebanyak 500.000 ton. Beras impor itu akan digunakan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan beras (SPHP) dan bantuan beras kepada 21,35 juta keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan dan bantuan pangan nontunai.
”Kami juga akan menjaga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani tidak di bawah HPP. Tidak perlu khawatir akan kelebihan beras di pasar karena beras impor benar-benar untuk kegiatan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu,” kata Arief.
Emilda mengaku prihatin dengan rencana tersebut. Menurutnya, walaupun pemerintah menyatakan tetap akan melindungi petani dan impor akan dilakukan setelah lewat masa panen, tetapi pernyataan ini tidak cukup menjamin dan menenangkan petani.
“Kalau kita belajar dari kondisi sebelumnya, pernyataan seperti ini sudah memberikan pengaruh besar pada harga di tingkat petani. Wacana impor kerap dimainkan oleh para spekulan (mafia) untuk menekan harga gabah, sedangkan banyak petani yang buta harga pasar. Apalagi, kendali harga dan pasar selama ini memang berada di tangan pedagang besar atau korporasi, bukan pemerintah. Selain itu, importasi pun tidak menjamin stabilitas harga pangan sebagaimana yang kita rasakan saat ini,” jelasnya seperti dikutip dari Muslimahnews.com.
Salah Arah Visi Politik Pangan
Jelas sekali, ujar Emilda, ini bukti kegagalan negara mengurusi pangan rakyat karena salah arah atau lemahnya visi politik pangan akibat menggunakan konsep kapitalisme neoliberal yang lahir dari asas batil sekulerisme.
“Kegagalan ini dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, ketergantungan pada impor menunjukkan kegagalan negara mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Padahal, ketergantungan pada impor akan mengantarkan pada banyak kerugian,” ucapnya.
Ia menerangkan, makin hari, petani dan aktivitas pertanian akan makin menyusut. “Siapa yang mau bertani ketika negara lebih mudah impor daripada menghargai produksi petaninya sendiri?” tanyanya lugas.
Terlebih, sambungnya, ketergantungan ini akan menjadikan negara berada dalam kendali dan kuasa negara importir sehingga bisa berakibat pada lemahnya kedaulatan negara secara politik.
“Termasuk adanya kerugian berikutnya, yakni menghabiskan anggaran. Padahal, jika anggaran tersebut digunakan untuk menyediakan sarana prasarana pertanian yang dibutuhkan petani, maka akan memberi manfaat kepada banyak pihak di dalam negeri,” urainya.
Kedua, sebut Emilda, menjadikan impor sebagai penyelesai masalah instabilitas harga pangan menjauhkan negara dari upaya sahih mewujudkan pemenuhan pangan rakyat.
“Ini karena solusi impor hanya berhenti pada tercapainya stabilitas harga di pasar, walaupun ini jarang terwujud. Sedangkan, persoalan mendasar dari pemenuhan pangan rakyat adalah ketidakmerataan akses akibat buruknya tatanan distribusi,” tukasnya.
Emilda mengatakan, ketika harga stabil, bukan berarti semua rakyat bisa menikmati pangan secara merata, berkualitas, dan harga terjangkau.
“Penyebabnya, untuk bisa mendapatkan bahan pangan tersebut harus dengan membeli dan inilah satu-satunya mekanisme distribusi yang berlaku dalam sistem kapitalisme, yaitu mekanisme harga. Sementara itu, kondisi mayoritas rakyat kita hidup dalam kemiskinan dan tidak mampu membeli pangan,” bebernya.
Emilda kembali menekankan, kegagalan ini bersifat sistemis karena berpangkal dari sistem politik dan ekonomi kapitalisme neoliberal.
“Secara politik, sistem ini menghilangkan peran politik negara yang sahih sebagai penanggung jawab untuk pemenuhan pangan rakyat, tetapi negara hanya sebatas sebagai regulator sehingga pengurusan pangan rakyat dikuasai oleh korporasi. Secara ekonomi, sistem ini memberikan kebebasan tanpa batas kepada individu/swasta, akibatnya tumbuhlah korporasi yang bisa menguasai seluruh rantai pengadaan pangan. Bahkan, kekuasaaan korporasi jauh melampaui kekuasaan negara dan akibatnya nasib ratusan juta rakyat menjadi objek pasar korporat ini,” ulasnya.
Tatanan yang Sahih
Sebaliknya, Emilda menyatakan, hanya Islam yang memiliki tatanan sahih untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pemenuhan pangannya.
“Politik pangan yang dijalankan oleh negara yang berlandaskan Islam memiliki arah yang sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Islam menetapkan bahwa politik pengaturan pangan harus ditujukan untuk melayani rakyat sepenuhnya, yaitu menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individunya, tanpa terkecuali,” paparnya.
Oleh karena itu, Emilda mengutarakan, kehadiran negara secara utuh dalam mengurusi pangan mulai dari hulu sampai kehilir adalah hal yang mutlak untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut. “Tanggung jawab ini dapat dikatakan terwujud ketika seluruh individu rakyat sudah dipastikan terpenuhi kebutuhan pokoknya termasuk pangan,” jelasnya.
Ia menyampaikan, dalam hal inilah Islam mengadopsi dua mekanisme, yaitu mekanisme harga dan nonharga.
“Mekanisme harga berlaku bagi anggota masyarakat yang memiliki penghasilan dan mampu membeli pangan, sedangkan mekanisme nonharga berlaku bagi masyarakat yang memiliki ketidakmampuan karena sakit, cacat, dan sebagainya sehingga pemenuhan pangannya wajib disediakan secara langsung oleh negara,” ucapnya.
Yang tidak kalah pentingnya, ia mengingatkan, penerapan sistem ekonomi Islam mengatur status kepemilikan harta, mekanisme pendistribusian kekayaan, larangan riba, penerapan sistem mata uang emas dan perak sehingga meminimalisasi inflasi, dan sebagainya.
“Penerapan sistem ekonomi ini akan meratakan ekonomi sehingga kesejahteraan pun lebih merata,” tegasnya.
Di sisi lain, Emilda menyampaikan, Islam juga melarang kepala negara/khalifah untuk bergantung kepada pihak/negara lain yang bisa mengendalikan kedaulatan negara. “Sebaliknya, negara Islam harus menjadi negara yang independen dan menutup semua pintu yang bisa menjadi jalan bagi pihak lain untuk menguasai kaum muslim,” tukasnya.
Oleh karena itu, ia menuturkan, dalam pandangan Islam, kebergantungan pada impor pangan tidak boleh terjadi, walaupun melakukan impor tetap diperbolehkan. “Khilafah Islam akan mengoptimalkan penyediaan pasokan pangan dari dalam negeri dengan melaksanakan konsep pertanian Islam,” pungkasnya. (*)
Sumber: Muslimah News.Com