OPINI, PIJARNEWS.COM– “Di hadapan kekuasaan, hal yang tersulit dilakukan adalah merawat perbuatan.”
Penyalahgunaan kekuasaan adalah perilaku pemegang kekuasaan yang menggunakan wewenangnya diluar dari yang seharusnya. Penyalahgunaan ini dapat dilakukan untuk kesenangan dan kepentingan pribadi. Contohnya dengan pemerasan, penggelapan dana atau kasus hingga kekerasan. Hal ini dilatar belakangi oleh dekadansi moral dan arogansi pengusaha yang merasa sudah bebas dari hukum dan merasa dirinya yang paling berwenang.
Penyalahgunaan kekuasaan yang berujung kekerasan fisik pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah kasus Ivan Sugiamto, seorang pengusaha yang pada hari Senin tanggal 10 Oktober 2024 melabrak seorang siswa SMAK Gloria 2 berinisial EN. Yang menjadi sorotan adalah kekerasan yang dilakukan Ivan, pada video yang beredar ia dengan keras memerintahkan EN untuk sujud dan menggonggong layaknya seekor anjing. Pengguna sosial media juga dibuat geram dengan kenyataan bahwa pelaku tidak hanya menindas EN, tapi juga orangtuanya, tidak hanya itu, tertangkap suara salah satu guru EN yang alih-alih melerai, malah menyuruh EN untuk menuruti perkataan Ivan Sugiamto.
Latar belakang pelabrakan ini adalah Ivan Sugiamto yang tidak terima anaknya diejek seperti anjing pudel oleh EN. Setelah beredarnya video penindasan yang dilakukan Ivan Sugiamto, warganet mulai menuntut penghukuman terhadapnya. Tertekan akan tuntutan ini, pihak berwajib kemudian melakukan penyelidikan terhadap Ivan dan melakukan penangkapan pada Kamis 14 November 2024 di Bandara Juanda.
“Pasal yang disangkakan adalah pasal 80 ayat 1 UU perlindungan anak dan atau pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara,” terang Dirmanto, salah satu polisi yang menangani kasus ini. Dihari yang sama setelah penangkapannya, Ivan Sugiamto membuat video klarifikasi berisi permohonan maafnya kepada pihak yang terlibat. Diakhir video ia juga menyatakan akan menyerahkan diri kepada Polrestabes Surabaya.
Pelabrakan dan penindasan yang dilakukan Ivan Sugiamto tidak dapat dibenarkan. Bukan hanya karena kekerasan fisik yang ia lakukan, tetapi juga karena penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dari kenyataan bahwa guru dan stakeholder sekolah EN tidak mengintervensi kekerasan karena terintimidasi dengan Ivan. Padahal para guru dan stakeholder sekolah lah yang seharusnya melerai dan menghentikan penindasan yang terjadi.
Kekerasan fisik berbeda dengan kekerasan atas bela diri. Kekerasan fisik disebabkan oleh ketikmampuan sesorang untuk menahan emosi. Apa yang dilakukan oleh Ivan Sugiamto adalah hal yang salah, berlebihan, dan tidak manusiawi. Dampak kekerasan fisik ini bukan hanya membekaskan rasa traumatis pada korban, tapi juga merusak nama baik dengan mempermalukan EN dan orangtuanya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu hal yang mendorong penindasan ini adalah kesadaran akan kekuasaan Ivan, sehingga membuatnya berani main hakim sendiri.
Guru dalam kasus ini memiliki posisi yang vital. Sebagai seseorang yang berpendidikan dan berwenang di sekolah, guru seharusnya melerai dan berani mengambil aksi. Salah satunya dengan mengajak kedua pihak untuk berbicara secara baik-baik, bukan malah menyuruh korban untuk menuruti hal yang tidak perlu. Jika saja guru berani mengambil langkah ini, maka penindasan yang terjadi bisa diantisipasi. Bukan hanya sebagai pengajar, guru juga memiliki peran untuk melindungi dan menyediakan suasana yang nyaman bagi peserta didik.
Masyarakat khususnya warganet berperan besar dalam menuntut keadilan. Terbukti berkat menyebarnya video penindasan yang dilakukan Ivan Sugiamto kepada EN, pemerintah mulai melirik kasus ini. Pemerintah bekerja sebagai pengabdian kepada rakyat, dan dalam kasus penindasan yang terjadi masyarakat menuntut keadilan. Atas dorongan besar ini pemerintah dalam hal ini kepolisian menyelidiki saksi dan melakukan penangkapan. Tersebarnya kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi orang-orang berkuasa untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya.
Sayangnya, tidak semua kasus-kasus kekerasan dapat diselesaikan begitu saja. Dalam banyak skenario, kasus kekerasan yang terjadi haruslah viral dulu baru akan diusut oleh pemerintah atau kepolisian. Fenomena ini disebut dengan istilah “No Viral No Justice,” yang artinya sesuatu yang tidak viral tidak akan menemui keadilan. Salah satu contoh fenomena ini adalah kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo, anak dari eselon III di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan kepada Cristalino David Ozora yang baru ditangani oleh kepolisian setelah penganiyaan ini menjadi Trending Topic diTwitter. Viralnya suatu kasus tidak selalu berujung pada keadilan, beberapa kasus kekerasan malah berujung pada perdamaian yang ambigu. Kenapa? Karena ditakutkan perdamaian yang terjadi hanyalah jalan pintas agar kepolisian tidak perlu repot-repot menangani kasus yang ada dan menghentikan tuntutat masyarakat.
Hal ini menunjukkan kondisi keadilan di Indonesia. Keadilan yang seharusnya menjadi hak manusia, sistem hukum yang lancip ke atas dan tumpul ke bawah, serta lemahnya moralitas pemegang wewenang menunjukkan kecatatan. Hal ini menyebabkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, malah menjadi musuh terbesarnya.
Pada dasarnya semua kembali kepada hukum, dan segala bentuk kekerasan fisik adalah pelanggaran terhadapnya. Undang-undang yang mengatur kekerasan fisik di Indonesia adalah:
- UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Pasal 1 UU ini mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga,
- UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 15 A UU ini mendefinisikan kekerasan sebagai setiap perbuatan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, atau penelantaran. UU ini juga mengatur bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak akan dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta, dan
- Pasal 351 KUHP mengatur tentang penganiayaan, yaitu tindakan sengaja menyebabkan rasa sakit, penderitaan, atau luka.
Efektif atau tidaknya hukum yang berlaku kembali kepada yang berwenang, seperti kepolisian, pengadilan, dan komponen lainnya. Maka untuk melindungi hukum yang berlaku, dibutuhkan ketegasan dan keberanian dari pemegang wewenang dalam menegakkannya.
Remaja adalah generasi penerus bangsa. Dalam mewujudkan bangsa yang berkeadilan, maka dibutuhkan pemimpn yang bermoral. Jika tidak ada lagi cara mengembalikan moralitas penguasa saat ini, maka kita hanya perlu fokus dalam membentuk penguasa-penguasa baru yang lebih baik. Disinilah dibutuhkan integrasi guru, pemerintah, dan masyarakat secara umum dalam menanamkan nilai luhur: Pancasila. Marilah kita dengan peran kita masing-masing mewujudkan sebuah bangsa yang sejahtera dan adil. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.