Oleh : Aridha Nur Salim, S.E.I (Anggota Revowriter, Pembina Komunitas Remaja)
OPINI — Momentum peringatan Hari Keluarga Nasional dilaksanakan setiap tanggal 29 Juni. Inisiator digagasnya tanggal tersebut adalah Prof. Dr. Haryono Suyono pada masa pemerintahan Soeharto. Adapun tiga pokok pikiran yang melatarbelakanginya yakni; Pertama, mewarisi semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa. Kedua, tetap menghargai dan perlunya keluarga bagi kesejahteraan bangsa. Ketiga, membangun keluarga menjadi keluarga yang bekerja keras dan mampu berbenah diri menuju keluarga sejahtera (keluargaindonesia.id/17/06/2018).
“Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, merupakan tema yang diangkat tahun ini. Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), Sahbirin Noor, sebagai tuan rumah penyelenggaraan Harganas ingin menjadikan momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2019 untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membangun keluarga sejahtera lahir dan batin (www.beritasatu.com/4/02/2019).
Keluarga merupakan institusi terkecil dari sebuah masyarakat. Peran keluarga sangat penting dalam membangun sebuah masyarakat bahkan peradaban. Dalam keluarga, seseorang mendapatkan pengalaman pertama dalam kehidupannya. Pendidikan dan pengasuhan dalam keluarga memiliki andil besar bagi perkembangan tingkah laku dan pola pikir.
Jika keluarga diibaratkan sebuah sekolah. Maka, ayah adalah kepala sekolahnya. Ibu adalah gurunya. Anak-anak adalah muridnya. Ayah sebagai kepala rumah tangga menjalankan fungsinya untuk membuat kurikulum, pedoman pengajaran. Ayahlah yang akan memastikan kemana arah bahtera keluarga dijalankan. Sosok ayah menjadi panutan bagi keluarga. Dia sekaligus menjadi partner ibu dalam mendidik generasi. Agar kelak anak-anak menjadi generasi terbaik.
Sementara ibu dengan curahan kasih sayangnya membantu ayah untuk memastikan kurikulum yang sudah diprogramkan berjalan sebagaimana mestinya. Ibu pengajar pertama dalam kehidupan. Sejak dalam kandungan hingga dilahirkan ibu yang memiliki andil besar dalam penanaman segala informasi. Adapun anak-anak menjalankan peran untuk berbakti kepada orang tua. Mereka juga berhak mendapatkan kasih sayang, penanaman moral, pembelajaran berbagai aspek kehidupan dari kedua orangtuanya.
Ironisnya, saat ini fungsi keluarga sudah terkikis. Arus kapitalisme sekuler yang semakin liberal telah mencabut fungsi institusi keluarga hingga ke akar-akarnya. Keluarga semakin rapuh. Harmonisasi semakin terkikis. Perceraian di mana-mana. Anak- anak terlantar tanpa kasih sayang. Harapan menjadi generasi pengisi peradaban masa depan semakin pudar.
Kapitalisme sekuler adalah paham pemisahan agama dari kehidupan. Tujuan hidup utama adalah memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Standar perbuatan adalah asas manfaat. Kesuksesan dimaknai ketika materi bisa diraih sebanyak-banyaknya serta kedudukan sosial setinggi-tingginya.
Sosok ibu tidak lagi bangga menjadi ibu sepenuh waktu mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak-anaknya. Kebanggaan tertinggi jika memiliki kemandirian keuangan, serta kedudukan di tengah masyarakat. Sukses berkarya dengan pekerjaan yang menghasilkan pundi materi yang banyak. Akibatnya urusan pengasuhan cukup didelegasikan kepada anggota keluarga lain, ataupun adanya asisten rumah tangga. Faktor lain yang menyebabkan para ibu akhirnya terjun mencari uang adalah tuntutan kebutuhan hidup yang semakin banyak. Ekonomi keluarga yang mengalami defisit sementara kebutuhan hidup semakin mahal.
Tidak jauh berbeda dengan sosok ayah. Sepanjang hari siang malam banting tulang demi mendapat financial sebanyak-banyaknya. Karena adanya tuntutan kebutuhan yang wajib untuk dipenuhi. Di sisi lain para ayah tidak peduli lagi kewajibannya. Tugas sebagai kepala sekolah atau nahkoda kapal sudah terabaikan. Interaksi dengan keluarga adalah interaksi yang kaku karena kelelahan yang melanda. Maka wajar jika akhir pekan menjadi hari keluarga akibat semakin kurangnya waktu bercengkrama dengan keluarga.
Bahkan fakta mencengangkan saat ini angka gugat cerai dikalangan istri semakin meningkat akibat para wanita merasa lebih berdaya tanpa suami. Perselingkuhan kurvanya pun sejalan dengan tingginya angka perceraian. Baik dari pihak istri maupun suami.
Dengan kondisi orang tua seperti di atas, otomatis anak-anak pun menjadi korban. Kehilangan kasih sayang, pendidikan utama dalam keluarga terabaikan. Orangtua mencukupkan pendidikan pada lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Anak-anak terpaksa mencari sendiri definisi keteladanan dalam kehidupan. Imbasnya pergaulan bebas remaja, narkoba, tawuran dan sebagainya tidak bisa terhindarkan. Potret generasi pengisi peradaban semakin suram.
Diperparah dengan arus komunikasi tanpa batas. Akses informasi semakin cepat. Segala kebutuhan manusia bisa diakses dengan mudah melalui handphone. Sosial media menjadi dunia baru bagi seluruh anggota keluarga. Namun tanpa filter yang kuat, justru menjadi persoalan baru yang siap menghancurkan keluarga.
Potret di atas seharusnya menjadi keprihatinan yang luar biasa. Keluarga sejahtera tidak akan terwujud jika komponen-komponennya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Harus ada perubahan haluan yang dilakukan untuk mengembalikan keutuhan keluarga dan fungsinya yang sebenarnya.
Pandangan mendasar tentang hidup harus kembali direnungkan. Materi bukan segalanya. Tidak akan ada nilainya jika nyawa telah terpisah dengan jasad. Sementara tanggung jawab, hak dan kewajiban dalam rumah tangga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Dengan pemahaman inilah harusnya keluarga bertumpu.
Tidak ada kata terlambat untuk membenahi kondisi keluarga saat ini. Sebaliknya jika terus dibiarkan maka hancurnya institusi keluarga akan berdampak pada kehancuran tatanan masyarakat dan negara.
Wallahu a’lam. (*)