MAKASSAR, PIJARNEWS. COM — Sebagian orang merasakan manfaat dengan hadirnya aplikasi facebook belasan tahun terakhir. Tetapi sebagian tidak. Tulisan Imam Dzulkifli, Jurnalis Harian Fajar yang juga penulis buku itu menulis di dinding Facebooknya. Ia mendeskripsikan secara apik “golongan” mereka yang memperoleh keberuntungan Facebook, karya Mark Zuckerberg itu.
Bagian I
Tidak semua orang akan jadi PNS. Jangkar Bawono memilih jualan sepatu. Kecil-kecilan.
Dia percaya, toko tak mesti di ruko. Bisa juga di ponsel. Maka sepatu-sepatu itu dipajangnya di Facebook. Belakangan juga di Instagram.
Magnet sepatu Jangkar ada pada fotografi. Penampakan yang artistik mampu mengundang orang untuk menatap. Dan tatapan adalah cara cepat untuk menimbulkan cinta. Keluar uang akhirnya tak lagi terpikir.
Studio foto Jangkar ada pada loteng rumahnya di Surabaya. Jauh dari standar Darwis Triadi. Tetapi segerombolan orang dari San Francisco rela memanjat di situ, Juli tahun lalu.
Para staf Instagram itu penasaran mengapa seseorang yang baru berusia 27 tahun bisa beromzet minimal 600 juta per bulan.
Jangkar tak perlu menjelaskan banyak. Karena sesungguhnya tidak ada lagi rahasia. Keberhasilannya mengumpul banyak uang karena dia menggunakan Facebook dan Instagram bukan untuk memaki.
Di dunia yang on karena menara BTS itu, Jangkar hanya mengunggah gambar; gambar sepatu dan proses pembuatan sepatu. Bukan gambar tetangga atau pejabat yang tidak disukainya.
Bagian II
Cukup ajaib Michael Lythcott masih bisa bernafas hingga sekarang. Satu atau dua pekan lalu, tubuhnya ada di selokan daerah Ubud. Upayanya menghindari truk mengirim dia, skuter, dan satu teman yang diboncengnya ke kubangan.
Kacamata Lythcoot terbang entah ke mana. Dia juga pingsan.
Begitu siuman, dengan tenaga yang tersisa sedikit, tangannya merogoh. iPhone masih ada di saku ternyata. Namun tak ada sinyal. Lythcott teringat bahwa mode roaming bisa membuat ponselnya online.
“Help. In danger. Call police.” Status singkat yang langsung menyebar. Tak cuma di Bali. Sampai Amerika malah.
Ponsel lelaki itu lalu penuh pesan dan panggilan. Sayang, baterai tak cukup. Dan seseorang yang sedang berlumuran darah tentu tidak bakal sanggup mencari power bank.
Teman-temannya sangat khawatir. Salah satu dari mereka mengontak Kedutaan AS.
Lythcott memang sudah tak bisa dihubungi namun GPS bisa menuntun tim pencari ke lokasi tempatnya mengerang.
Lythcoot dan rekannya akhirnya ditemukan. Mereka dibawa dengan gegas ke rumah sakit. Berbagai macam selang menempel di tubuh. Nyawa terselamatkan, biaya terbayarkan.
Ada yang menggalang dana secara daring. USD31.000 terkumpul dalam sekejap.
Bagian III
Dian Muhtadiah Hamna tinggal di Antang. Di satu-satunya rumah yang bermodel gadang di Kota Makassar.
Setiap hari, rute Dian adalah Antang-Alauddin. Kadang-kadang ke Panakkukang. Idealnya, jodohnya ada di sekitaran rute itu. Atau bergeser sedikit ke Bukit Baruga. Mungkin juga Batua Raya. Paling jauh Toddopuli. Tetapi ternyata tidak.
Suatu hari dia terbang ke Kuala Lumpur. Rossi dan Lorenzo sedang bersaing ketat di klasemen MotoGP dan Dian ingin secara dekat melihat mereka beradu cepat di Sepang.
Namun setelah pesawatnya mendarat, dia tak langsung memesan taksi. Ada seseorang yang berjanji menemuinya di terminal.
Beberapa jam berlalu, Dian mulai gelisah. Dia teringat kisah orang-orang yang tertipu wajah tampan di Facebook.
Tetapi prediksinya salah. Benar-benar ada yang menantinya. Mohammed Awais namanya. Seorang Pakistan yang belum paham bahasa Melayu.
Dian dan Awais ternyata menunggu di terminal berbeda. Maka ketika akhirnya bertemu, tak ada marah. Sebab keduanya sudah lebih dahulu saling memperlihatkan cinta dalam penantian di antara sibuknya bandara internasional.
“Tidak akan ada marah yang muncul ketika lelaki di depanmu tinggi, mancung, dan rupawan.” Dian menceritakan itu kepada beberapa orang. Termasuk kepada seorang penjabat gubernur.
Berselang bulan, Dian dan Awais menikah. Usai melewati proses cukup rumit, khususnya mengenai budaya dan administrasi.
Buah hati mereka mungkin akan lahir akhir tahun ini. Anak yang kelak akan tahu bahwa orang tuanya berjodoh karena sebuah aplikasi.
Bagian IV
Jangkar, Lythcott, dan Dian mereguk keuntungan dan keberuntungan dari Facebook.
Tetapi tidak semua mau begitu. Sebagian dari kita tetap memilih menghabiskan kuota, tenaga, dan usia untuk mengunggah hal-hal tak berguna di dunia yang penuh radiasi itu.
Maka yang tumbuh bukan rezeki, keselamatan, dan jodoh. Tetapi utang, benci, dan dendam.
Ketika Jangkar, Lythcott, dan Dian menikmati kopi dan kentang goreng di kafe, boleh jadi kita malah sedang diinfus. Minumnya ringer laktat, makannya bubur, tanpa garam pula.
Dan hanya segelintir yang menjenguk. Sebab di luar sana, musuh sudah lebih banyak.
Subhanallah, semoga saya dan Anda tidak termasuk. (*)
Editor: Alfiansyah Anwar