OPINI-Sebagai individu yang berpengetahuan, mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam proses keberlangsungan pembangunan negara. Mereka memiliki kemampuan menyumbangkan pemikiran dan ide dalam menghadapi gejolak sosial dan membantu beban rakyat dalam mensejahterahkan hidup. Dengan demikian, kampus sudah sewajarnya melahirkan para sarjana yang berdedikasi, agar kelak kehadiran para sarjana tersebut berdampak positif dalam membangun masyarakat yang makmur dan adil. Untuk itu mahasiswa semestinya diberikan ruang yang bebas untuk mengembangkan akal sehatnya.
Kampus merupakan tempat berdialektika dalam banyak hal, mulai dari ide hingga pertarungan gagasan para mahasiswa. Di beberapa sudut kampus terlihat mahasiswa yang berkumpul dengan kopi memunculkan ide-ide baru serta gagasan tersendiri.
Kampus yang harus membuka diri untuk memperdebatkan apa saja yang dianggap tabu oleh masyarakat, setidaknya mahasiswa dapat mendiskusikan dan mencari kebenaran pada sebuah persoalan. Kampus merupakan tempat menikmati semua kemungkinan, harapan dan tantangan, harus diperlihatkan sebagai milik dan tanggung jawab bersama. Masyarakat kampus harus mampu mengelola informasi dan ide dengan menggunakan disiplin ilmu yang dimilikinya. Karena kesempatan itu merupakan bagian dari upaya mahasiswa untuk berinvestasi dalam menemukan infrastruktur politik akal sehatnya.
Menjadi mahasiswa kritis di Indonesia ibarat melangkah di atas tali yang tipis, terentang di antara dua jurang. Di satu sisi, ada jurang cibiran, sementara di sisi lainnya, terdapat jurang kesalahpahaman. Melangkah sedikit saja ke arah yang salah, bisa-bisa kita terjerumus ke dalam salah satu jurang tersebut. Mengapa situasi ini bisa terjadi? Di negeri ini, sikap kritis sering kali disalahpahami sebagai ajang pamer kepintaran atau bahkan cari muka di depan dosen. Sebuah stigma yang menyedihkan, mengingat kampus seharusnya menjadi tempat bagi pemikiran bebas dan diskusi yang mendalam.
Namun, tentu saja tidak semua mahasiswa terlibat dalam perdiskusian ngopi. Bahkan, di ruang-ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran terkait pendalaman materi keprodian justru menjadi ruang yang dipersempit oleh pragmatisme sebagian mahasiswa. Apa yang terjadi? Alih-alih menyambut pertanyaan tersebut dengan antusiasme, banyak mahasiswa sekelas justru yang mengeluh, “Ah, sok pintar!” atau “Ini pasti mau cari perhatian dosen.”
Lebih parah, ketika sesi tanya jawab itu jatuh pada jam kritis menjelang akhir kelas, si kritis ini tiba-tiba dicap sebagai penghambat pulang. Padahal, niatnya murni hanya ingin memperdalam pemahaman, bukan mengulur waktu.
Stigma semacam ini menjadi penghalang utama bagi terciptanya lingkungan akademis yang sehat. Mahasiswa yang sebenarnya memiliki potensi untuk berpikir kritis dan analitis justru memilih diam dan mengikuti arus demi menghindari cibiran atau cap negatif. Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya gagasan-gagasan baru, malah menjadi ajang pengulangan ide-ide lama tanpa inovasi.
Namun, mari kita telaah lebih jauh. Apakah benar bahwa menjadi kritis itu semata-mata soal pamer kepintaran? Ataukah sebenarnya ada masalah lain yang lebih mendasar? Salah satu akar masalahnya adalah budaya yang tidak mengapresiasi perbedaan pendapat. Di antara beberapa banyak kampus, diskusi sering kali hanya menjadi formalitas belaka, tanpa ada ruang untuk debat yang sesungguhnya. Mahasiswa diajarkan untuk mencari jawaban yang benar, bukan untuk mempertanyakan mengapa jawaban tersebut benar.
Lebih dari itu, ada pula tekanan sosial yang membuat mahasiswa enggan untuk berbeda. Di usia yang masih mencari jati diri, mahasiswa sering kali lebih memilih untuk diterima oleh lingkungan sosialnya dari pada berani berbeda. Mereka khawatir bahwa menjadi kritis akan membuat mereka terasing dari kelompok.
Lalu, apa solusi dari permasalah ini? Pertama, penting bagi insitusi pendidikan untuk mengubah pendekatan dalam pembelajaran. Memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis tanpa takut dihakimi adalah langkah awal yang harus diambil. Dosen harus berperan sebagai fasilitator yang mendorong diskusi dan debat sehat, bukan sekadar pemberi materi yang harus diterima mentah-mentah.
Kedua, mahasiswa itu sendiri harus berani untuk menjadi agen perubahan. Memahami bahwa kritik bukanlah serangan, melainkan upaya untuk menemukan solusi yang lebih baik. Berani berbicara dan menyampaikan pendapat adalah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar.
Fenomena ini mencerminkan betapa rendahnya budaya diskusi di kalangan mahasiswa saat ini. Alih-alih merayakan perbedaan pendapat sebagai sumber pembelajaran, kampus kita malah penuh dengan ketakutan untuk bersuara. Diskriminasi terhadap mahasiswa yang berani bersikap kritis bukan sekadar isu sepele; ini adalah penyakit yang menggerogoti esensi pendidikan itu sendiri.
Budaya homogenitas yang stagnan ini tidak hanya membahayakan perkembangan intelektual mahasiswa tetapi juga merugikan bangsa secara keseluruhan. Bagaimana kita bisa berharap menghasilkan generasi pemikir dan inovator jika suara-suara kritis justru dianggap sebagai gangguan.
Solusinya adalah menciptakan lingkungan akademik yang menghargai perbedaan pendapat dan menjadikannya sebagai dasar pembelajaran. Kita harus mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan kreatif tanpa takut dikucilkan. Kampus harus kembali menjadi tempat di mana setiap ide, seberapa pun kontroversialnya. Mendapatkan ruang untuk diperdebatkan.
Diskriminasi terhadap mahasiswa kritis dalam akademik bukanlah masalah sepele. Bayangkan jika kampus, yang seharusnya menjadi ladang subur bagi pemikiran dan ide-ide segar, malah menjadi arena di mana suara-suara berani di hukum dengan stigma negatif. Jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka kita sedang menciptakan generasi yang lebih suka memilih diam ketimbang menghadapi risiko menjadi “si sok pintar.” Kampus akan berubah berubah menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk belajar cara menghindari konflik dari pada mempertanyakan status quo.
Apa yang terjadi jika kita mengabaikan masalah ini? Kita akan memiliki masyarakat yang pasif sekelompok individu yang lebih memilih untuk menjadi pengikut yang patuh ketimbang pemikir yang aktif. Bayangkan, jika kebijakan yang diterapkan oleh para pengambil keputusan tidak pernah diuji dengan pemikiran kritis, maka kita akan terus berada dalam siklus kebodohan yang tidak berujung.
Kita akan menjadi generasi yang hanya menurut tanpa berpikir panjang, seolah-olah otak kita hanya berfungsi untuk menghafal materi kuliah dan bukan untuk membangun argumen yang berlandaskan logika dan fakta. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.