JAKARTA, PIJARNEWS.COM — Duka mendalam menghampiri warga Parepare, Rabu (25/01/17). Kabar duka di pagi hari begitu menghentak. Ada yang kaget, sedih hingga tak mampu menahan tangis dan air matanya. Mereka merasa kehilangan. Ditinggal oleh sosok pemimpin yang dikaguminya.
Dari ruang perkantoran, kawasan pertokoan, sudut-sudut jalan, warung pinggiran, hingga pemukiman di Kota Bandar Madani itu, seketika perbincangannya berubah menjadi satu tema. Peredarannya begitu cepat dari mulut ke mulut. Tentang berpulangnya ke Sang Khalik mantan Wali Kota Parepare dua periode HM Zain Katoe di usia 71 tahun.
Sebagian diantara mereka, seolah tidak percaya dengan kabar tersebut. Ada yang mulutnya seakan tak mampu berkata-kata mendengar kabar itu. Tidak sedikit meninggalkan aktivitasnya demi melayat dan melepas jenazah, sekaligus mengantarkan ke liang lahat pemimpin yang dikenal tak menjaga jarak dengan rakyatnya.
Bukan hanya di Parepare saja, tapi kepergian almarhum juga meninggalkan duka mendalam oleh warga di daerah lain, terutama di tanah kelahiran Zain Katoe di Kabupaten Sidrap. Antusiasme warga yang memberi penghormatan terakhir, ditambah headline dan running pemberitaan di media online, radio, tv, dan media cetak lokal, menjadi penegas kalau Sulsel kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya.
Status dan testimony di jejaring sosial tentang kepergian almarhum juga sempat menjadi trending di Sulsel. Mereka ikut larut dan tak ingin ketinggalan mendoakan almarhum yang semasa hidupnya begitu peduli, dan sukses “menyulap” Parepare sebagai kota yang pelayanan publiknya sangat cepat.
Duka mendalam yang dirasakan warga memang sangat beralasan.
Terlepas dari kasus yang pernah menjeratnya, Zain Katoe sudah terlanjur tersimpan di hati rakyatnya. Ia adalah pemimpin yang tulus melayani. Pemimpin yang tidak gengsi berbaur dengan rakyatnya. Pemimpin yang sederhana. Pemimpin bersahaja. Dan pemimpin yang tak akan pernah dilupakan.
Penilaian dan kehilangan itu, setidaknya penulis juga rasakan. Merasakan, karena hampir satu tahun pernah bertugas sebagai jurnalis salah satu harian nasional kala almarhum masih menjabat wali kota di periode pertamanya, sekira Agustus 2007 hingga Mei 2008.
Selama bertugas di kota kelahiran BJ Habibie ini, penulis setiap saat berinteraksi dengan almarhum.
Kapasitasnya sebagai wali kota, membuat penulis harus setiap waktu meminta tanggapan, konfirmasi, sekaligus mewawancarainya tentang berbagai kebijakan pemerintah kota, maupun masalah atau isu lain yang lagi menghangat.
Karena tuntutan pekerjaan, intensitas bertatap muka langsung dengan almarhum tergolong tinggi.
Hampir setiap hari saya meluangkan waktu “mencium” jejaknya, baik di kantor wali kota, maupun saat menghadiri berbagai kegiatan. Sesekali, penulis juga mewawancarainya via telepon, terutama jika ada kasus-kasus hukum yang diduga terjadi di pemerintahan.
Karena tuntutan pekerjaan pula, ditambah masih “panas-panasnya” menjadi jurnalis, penulis berusaha tidak menutup mata mengangkat isu-isu korupsi yang diduga terjadi di Parepare, termasuk yang mengaitkan nama almarhum. Tidak jarang, berita tentang kasus korupsi menjadi headline dan menghiasi halaman di koran tempat penulis bekerja, meski juga banyak pemberitaan keberhasilan Parepare termuat.
Selama penulis menjalankan tugas di Parepare selama hampir satu tahun, termasuk ikut memprakarai terbentuknya Perhimpunan Jurnalis Ajattapareng (Pijar) tahun 2008, sekaligus didaulat oleh teman-teman jurnalis dari media lain sebagai ketua, saya merasakan ada pembeda dan sesuatu yang langka dimiliki almarhum.
Langka, karena semenjak saya bertugas di Parepare hingga ditugaskan di desk politik di Makassar, tidak sekali pun almarhum menghindar dari “kejaran” saya untuk mewawancarainya.
Langka, karena tidak sekali pun menunjukkan kemarahannya ke penulis jika ada pemberitaan kasus hukum yang mengaitkan namanya, atau pemerintahan yang dipimpinnya.
Langka, karena tidak pernah sekali pun berusaha meminta penulis, termasuk mengarahkan bawahannya untuk mengintervensi atau mencoba menekan penulis untuk tidak melanjutkan menulis dan menghentikan berbagai kasus maupun kebijakan yang sedang diinvestigasi.
Langka, karena di tengah kesibukannya, ia masih menyempatkan waktu melayani untuk di wawancarai via telepon, maupun membalas pertanyaan via SMS yang kadang penulis ajukan kala di malam hari jelang deadline.
Bukan tentang itu saja. Almarhum adalah salah satu tokoh yang layak dijadikan panutan sekaligus contoh oleh pemimpin lainnya. Panutan, karena ia selalu hadir di tengah rakyatnya, suka maupun duka.
Panutan, karena di masa kepemimpinannya, ia mampu mendorong pelayanan birokrasi yang tidak berbelit-belit. Panutan, karena ia mengayomi semua golongan. Panutan, karena ia tak pernah menunjukkan kebencian dan dendamnya terhadap seseorang. Panutan, karena ia tak pernah lelah mengabdi untuk rakyat dan kota Parepare, sekalipun tidak menjabat lagi.
Panutan, karena ia memanusiakan warganya. Senyum dan selalu bertutur kata sopan.
Karena kepribadian dan cara kepemimpinannya itulah membuat dia akan selalu terkenang dan dirindukan. Fisiknya boleh meninggalkan kita. Tapi semangat dan jasa-jasanya akan abadi sepanjang masa. Selamat jalan, ayahanda. Doa kami menyertaimu.
Jakarta, 27 Januari 2017
(Arif Saleh)