Pengantar
Almaghfuurallah Anregurutta’ K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebuah fenomena. Almaghfuurallah fenomenal pada zamannya, dan untuk satu masa yang cukup panjang. Almaghfuurallah membangun sebuah gerakan pendidikan dan dakwah, sebagai jawaban atas persoalan-persoalan (kelangkaan pendidikan dan dakwah dengan pesan keagamaan tertentu, yang berangkat dari pandangan keagamaan tertentu, yang lazim disebut ahlussunnah wal jama’ah) pada masanya. Gerakan itu yang kemudian diberi payung yang dikenal dengan nama Darud Da’wah wal Irsyad (selanjutnya di singkat DDI). Almaghfuurallah seperti memberikan jawaban atas diskriminasi, atau paling tidak, kelangkaan pendidikan yang terjadi akibat penjajahan; dan tetap menjadi alternatif pada awal kemerdekaan sampai pada akhir tahun 1990an. Gerakan yang dibangun itu juga seperti jawaban atas gerakan keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan, tidak menghargai tradisi keagamaan yang tumbuh yang berbaur dengan tradisi–tradisi lokal dalam batas-batas tertentu. Almaghfuurallah juga bisa dikatakan mengambil bagian dari apa yang diamanatkan oleh UUD 45, berupaya mewujudkan salah satu cita-cita ketika dan menjadi misi Negara Republik Indonesia berdiri, yakni mencerdaskan anak bangsa.
Gerakan itu dimulai dalam sebuah bentuk pendidikan yang disebut Madrasah Arabiyah Islamiyah, disingkat MAI, di Mangkoso (Kabupaten Barru, sekarang). MAI adalah bentuk pendidikan yang terstruktur dan sistematis, dengan lingkungan belajar yang khas, yang dikenal pada masa itu. Pada masa itu MAI sudah ada di beberapa tempat, di Sulawesi Selatan, tetapi berdiri sendiri-sendiri, tidak punya hubungan satu sama lain secara struktural. MAI Mangkoso-lah yang memulai mendorong munculnya MAI atau bentuk-bentuk pendidikan yang menyerupai MAI di berbagai daerah dan terhubung satu sama lain, dengan gerak yang kurang lebih sama. Bentuk-bentuk pendidikan tersebut disebut gerakan, karena muncul pada waktu yang kurang lebih sama, dengan gerak yang kurang lebih sama, terhubung satu sama lain dalam urusan-urusan tertentu, seperti (pengadaan) guru dan kurikulum, tetapi masing-masing otonom; dalam arti diurus oleh masyarakat setempat. Mangkoso sendiri bisa dianggap inspirator atau fasiltator. Mangkoso memproduksi dan menyediakan sistem, guru, tenaga, pengajar dan kurikulum, bagi sekolah-sekolah itu, yang memungkinkan bentuk-bentuk pendidikan yang muncul itu memiliki gerak kurang lebih sama. Sekolah-sekolah, dengan di fasilitasi oleh Mangkoso, kemudian menyelenggarakan pertemuan rutin, tahunan, untuk menjaga saling hubungan dan keterkaitan satu sama lain.
Gerakan itulah yang menjadi cikal bakal DDI, dan Tokoh Utama dibalik semua itu, adalah Anregutta’ K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle (1900-1996), atau yang biasa dipanggil Anregurutta’ atau Gurutta’ Ambo Dalle. Dalam tradisi dan bahasa Bugis, Gurutta’ atau Anregurutta’ berarti Maha Guru kita. Gurutta’, yang berarti guru kita, adalah panggilan khas kepada seorang ulama yang dinilai memiliki kedalaman ilmu tak terukur, di hormati karena karakternya yang kokoh berpijak pada nilai-nilai agama, serta telah mengajari kita pengetahuan dan makna-makna dari nilai-nilai dan ajaran agama secara mendalam, secara tulus.
Anregurutta’ K.H. Abd. RahmanAmbo Dalle lahir sekitar tahun 1900, di Desa Ujungnge, Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebeleah utara Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Anak tunggal dari pasangan Andi Ngati Daeng Patobo dan Andi Chandaradewi. Nama kecilnya adalah Ambo Dalle; yang dalam bahasa Bugis, Ambo, artinya anak, dan; dalle artinya rezki; Ambo Dalle maksudnya anak yang murah rezeki. Nama Abd. Rahman diberikan oleh salah seorang gurunya, yakni K.H. Muhammad Ishak. Kiai Ishaklah yang pertama mengajari Ambo Dalle nahwu, sharaf dan Tajwid. Selanjutnya Ambo Dalle, belajar kepada Gurutta’ K.H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid al Bugisy, biasa dipanggil Gurutta Saade, di Sengkang. Tidak lama berguru disana, karena kemampuannya dianggap mumpuni, sudah memenuhi segala syarat yang dibutuhkan, Gurutta’ Ambo Dalle diangkat menjadi asisten oleh Gurutta’ Saade. Sekitar tahun 1937, pada saat menjadi asisten Gurutta’ Saade, Gurutta’ Ambo Dalle ke Mekkah untuk memperdalam ilmunya.
Cikal Bakal
Gurutta’ Ambo Dalle memulai gerakannya di Mangkoso, tahun 1938, ketika diminta oleh Raja Soppeng Riaja (Petta Soppeng) H. Andi Muhammad Yusuf Andi Dagong untuk memimpin lembaga pendidikan yang didirikannya. Pada awalnya dalam bentuk halaqah, menggaji tudang (bahasa bugis) atau wetonan, lalu berkembang dalam bentuk Madrasah Arabiyah Islamiyah (selanjutnya disingkat MAI). Pada awalnya Petta Soppeng sekitar tahun 1935, berinsiatif mendirikan mesjid di tiga tempat utama di daerah kekuasaannya itu, yakni Lapasu, Takkalasi dan Mangkoso (ibu Kota Soppeng Riaja; sekarang bagian dari Kabupaten Barru), untuk merespon gerakan keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan. Tetapi tidak begitu memberikan efek. Mesjid itu sepi pengunjung. Tentu itu merisaukan sang Raja. Maka kemudian dia mengundang tokoh-tokoh agama dari kaum tradisional untuk mencari jalan keluar. Muncul gagasan untuk membangun sebuah pendidikan, yang dalam bahasa bugis disebut angngajian (bahasa Bugis, artinya tempat mengaji; pada dasarnya sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada kajian kitab-kitab klasik, yang dipimpin oleh seorang ulama, untuk pendalaman ilmu-ilmu agama).
Setelah gagasan itu mendapat kesepakatan, pertanyaan kemudian, siapa yang akan memimpin institusi itu. Karena itu tidak akanbisa jalan jika tidak ditangani oleh orang yang tepat, yakni seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu. Sedangkan di daerah itu, di Mangkoso,belum ada yang dianggap memenuhi kualifikasi dan memiliki kapasitas memadai untuk kepentingan itu. Akhirnya mereka bersepakat untuk meminta guru kepada Gurutta’ Saade yang ketika itu memimpin lembaga pendidikan yang dianggap paling bergengsi pada masa itu di Sulawesi. (Gurutta’ KH Mohammad As’ad, 1907-1952, biasa dipanggil Anregurutta’ Puang Aji Saade, atau Gurutta’ Saade, ulama asal Bugis kelahiran Makkah. Gurutta’ Saade ke tanah bugis sekitar tahun 1928, dalam usia sekitar 21 tahun, dan menetap di Sengkang menyelenggarakan pendidikan anngajiang—kemudian, atas anjuran Raja Sengkang, dikembangkan menjadi MAI dan berlokasi di Mesjid Raya Sengkang sekarang—yang melahirkan banyak ulama; bisa disebut ini menjadi lembaga pengkaderan ulama paling bergengsi pada masanya).
Bahkan Petta’ Soppeng, sesungguhnya sudah mengincar Gurutta’ Abd. Rahman Ambo Dalle, yang ketika itu sudah menjadi orang kedua dari Gurutta’ Saade di Sengkang (Gurutta’ Ambo Dalle adalah murid Gurutta’ Saade yang paling menonjol, maka kemudian diangkat sebagai asisten oleh Gurutta’ Saade). Gurutta Ambo Dalle adalah orang yang sangat diandalkan oleh Gurutta’ Saade. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kemajuan pendidikan yang dirintis dan diselenggarakan Gurutta’ Saade, terutama setelah berubah bentuk menjadi MAI, karena kecemerlangan Gurutta’ Ambo Dalle. Namanya memang sudah mencuat, mulai dikenal sebagai seorang ulama. Sebenarnya bisa diduga bahwa Gurutta’ Saade akan menolakpermintaan Raja Soppeng tersebut. Selain tidak mau melepaskan orang kepercayannya, Gurutta’ Saade juga memang tidak membolehkan adanya cabang di daerah lain, untuk menjaga kwalitas pendidikan MAI Sengkang. Misi Raja Soppeng Riaja, memang tidak berhasil. Bahkan Gurutta’ Saade mengatakan kepada mereka bahwa kalau orang-orang Soppeng mau belajar dan mendalami agama, lebih baik datang ke Sengkang.
Tetapi Petta’ Soppeng tidak menyerah. Dia bertekad untuk memboyong Gurutta’ Ambo Dalle ke Mangkoso, karena sudah tahu betul kwalitasnya. Maka kemudian Dia mengubah taktik. Sebelum ke Sengkang, dia mengutus orang untuk menemui Gurutta’ Ambo Dalle. Gurutta’ Ambo Dalle, meskipun merespon dengan baik tawaran itu, mengatakan tidak bisa ke Mangkoso jika tidak mendapat persetujuan dari Gurutta’ Saade. Sikap Gurutta’ Ambo Dalle seperti itu sudah cukup bagi Petta’ Soppeng. Maka dia kembali mengutus orang-orang yang sama menemui Gurutta’ Saade. Mereka berdiplomasi, berargumentasi, yang membuat Gurutta’ Saade akhirnya sampai kepada posisi menyerahkan keputusan itu kepada Gurutta’ Ambodalle. Ternyata Gurutta’ Ambo Dalle menerima permintaan (utusan) Petta Soppeng tersebut. Maka dengan berat hati Gurutta’ Saade terpaksa melepaskan Gurutta’ Ambo Dalle. Sesuai kesepekatan, pertengahan Desember 1938, Gurutta’ Ambo Dalle memboyong keluarganya ke Mangkoso. Beberapa santri senior, yang menjadi murid-muridnya seperti K.H. Amin Nashir, K.H. Harunarrasyid, dan lain-lain juga ikut pindah bersama Gurutta’ Ambo Dalle.
Pendekatan Baru dalam Pendidikan (Gerakan Pendidikan)
Gurutta’ Ambo Dalle sudah mulai mengajar, dalam bentuk halaqah (mangngaji tudang), pada hari pertama kedatangannya, di Masjid Mangkoso. Baru beberapa hari kemudian, setelah melakukan seleksi untuk menentukan tingkatan, membuka klas dalam bentuk MAI (yang mengikuti sistem pendidikan klasikal MAI Sengkang, mengembangkan tiga tingkatan kelas yakni Tahdiriyah, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, dengan tema-tema yang berpusat pada al Qur’an, Tafsir, Hadist, Tauhid, Fikhi, Ushul Fikih, Tarekh, dan tema-tema dasar yakni: Bahasa Arab dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu-saraf. Pelajaran akhlak dikembangkan dalam bentuk praktek yang dipandu oleh aturan-aturan sekolah dan klas. Juga ada pelajaran dakwah, yang kemas dalam bentuk praktek pada hari-hari tertentu. Ada klas pendalaman untuk tema-tema pokok diatas—tafsir, Hadist, Tauhid, Fikhi, Ushul Fikih dan Bahasa Arab; biasanya selepas sholat Maghrib, Isya, dan Subuh. Gurutta’ juga, secara khusus, membina Jamiatul Huffadz, yang mempunyai sistem sendiri).
Mula-mula hanya sekitar 40-60 orang santri. Tetapi, dari waktu ke waktu, terus berkembang sampai mencapai sekitar 400-500 oarng. MAI Mangkoso, dibawah kepemimpinan Gurutta’ Ambo Dalle, dibantu murid-muridnya (yang ikut bersamanya dari Sengkang; diantaranya K.H. Amin Nashir, K.H Harunarrasyid, dan lain-lain) yang menyertainya dari Sengkang, dalam waktu relatif singkat berkembang pesat, menjadi populer, melampaui MAI Sengkang. Murid-murid berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan ada yang berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat (waktu itu masih bagian dari Sulawesi Salatan), Kalimantan dan Sumatera (Riau dan Jambi). Dalam hal pengelolaan pendidikan terjadi pembagian tugas antara Gurutta’ dan Raja Soppeng; Gurutta’ sepenuhnya bertanggung jawab dalam urusan pendidikan, sedangkan urusan logistik sepenuhnya adalah tanggung jawab Petta’ Soppeng.
Pada perkembangan berikutnya muncul sesuatu yang baru pada masanya. Bermula adanya permintaan dari berbagai daerah agar dikirimi muballigh dan penghafal Al Qur’an untuk menjadi imam, terutama imam taraweh selama bulan Ramadhan.Tampaknya itu memberikan inspirai kepada masyarakat setempat. Mereka menginginkan adanya sekolah-sekolah sejenis MAI Mangkoso di daerahnya. Setelah MAI Mangkoso menghasilkan lulusan yang mumpuni, setelah berjalan kurang lebih dua tiga tahun, mulailah muncul permintaan dari berbagai daerah agar dibantu membangun pendidikan sejenis MAI di daerahnya. Permintaan itu mendapat respon dari Gurutta Ambo Dalle, dengan catatan bahwa masyarakat setempat membuat (fisik) sekolahnya danMangkoso menyediakan guru-guru dan kurikulum. Dengan kata lain masyarakat setempatlah yang membangun dan membiayai sekolah-sekolah tersebut. Dengan kesepakatan seperti itu mulailah Gurutta’ mengirim guru-guru ke daerah-daerah, secara bergantian, sampai sekolah ditempat itu berdiri. Bahkan ketika permintan semakin banyak, Gurutta’ juga mengirim santri yang masih duduk di kelas setingkat Tsanawiyah.Untuk mengatur pengiriman dan pertukaran (atau lebih tepatnya barangkali, perputaran) guru-guru yang mengajar di luar dan di Mangkoso, diadakan pertemuan rutin, setiap akhir tahun belajar. Dalam pertemuan rutin itu juga ada hari khusus untuk penyerahan ijazah bagi santri yang telah menyelesaikan pendidikannya pada tingkat Tsaniwiyah. Pada perkembangan berikutnya, sekitar tahun 1942, dibuka klas Aliyah.Pada saat itu dibuka klas khusus untuk perempuan, dan untuk kepentingan itu didatangkan Hj. Hafsah dari Rappang.
Muncullah kemudian sekolah-sekolah MAI, atau semacam MAI, yang juga dikenal dengan nama sekolah Arab, di pelbagai daerah, yang menjadi bagian dari MAI Mangkoso. Ini adalah sesuatu yang baru, yang belum dikenal sebelumnya. Pendidikan pun tumbuh dan menyebar di pelbagai daerah, secara serempak; tidak seperti sebelumnya, terbatas di beberapa tempat saja, terutama dipusat-pusat kerajaan. Pada hal itu adalah masa-masa yang sangat sulit, karena Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda,yang diselengi penjajahan Jepang (1942-1945).Sebenarnya Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, setelah Jepang kalah dan menyerah pada tentara sekutu. Tetapi Belanda kembali masuk ke Indonesia membonceng sekutu, setelah Jepang, bermaksud menguasai kembali Indonesia. Dalam proses itu, sepanjang tahun 1948-1949, Belanda sepenuhnya menggunakan pendekatan milter yang tidak kenal ampun, yang banyak memakan korban rakyat jelata di Sulawesi Selatan (dikenal dengan istilah korban empat puluh ribu jiwa). Belanda dan Jepang, sebagaimana penjajah lainnya, tampaknya tidak mau melihat anak-anak negeri jajahannya menjadi pintar, apalagi kritis. Maka mereka mengawasi penyelenggaraan pendidikan itu dengan sangat ketat, tidak hanya di daerah tetapi juga di pusat-pusat pendidikan, seperti Mangkoso.
Menjadi DDI
Munculnya sekolah-sekolah sejenis MAI di daerah-daerah itu tampaknya memunculkan inspirasi Ulama di Sulawesi Selatan, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, tentang sebuah gerakan pendidikan yang lebih efektif dan menyebar. Gerakan yang dibutuhkan untuk merespon persoalan-persoalan kelangkaan pendidikan, akibat penjajahan disatu sisi, dan, di lain sisi meningkatnya aktifitas gerakan kelompok keagamaan yang tidak memiliki toleransi kepada perbedaan, yang berpotensi menimbulkan konflik diantara masyarakat. Potensi konflik semakin terasa mengancam karena masa itu adalah masa ketika penjajah Belanda, dengan membonceng Sekutu, berusaha masuk kembali untuk mengcengkram kukunya di Indonesia, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945. Belanda, yang membonceng Sekutu sebagai pemenang perang, memberlakukan keadaan darurat perang, dan melakukan pengrusakan besar-besaran, yang memuncak sepanjang (akhir tahun) 1946-(pertengahan tahun) 1947. Pemberlakuan keadaan darurat militer oleh Belanda, memberikan keleluasaan kepada Westerling mengganas di Sulawesi Selatan, melakukan pembantaian besar-besaran terhadap rakyat. Rakyat yang baru saja lepas dari cengkeraman penjajahan Jepang, menghadapi situasi yang lebih mencekam lagi. Mereka dipaksa saling menyodorkan nama, agar bebas dari cap ekstremis, untuk dibantai oleh Westerling. (Remond Pierre Paul Westerling, biasa dipanggil si Turki, meimpin tentara Belanda yang disebut Depot Speciale atau Depot Pasukan Khusus, untuk melakukan pembantian di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan. Selama operasi militer yang disebut counter insurgency atau penumpasan pemberontakan itu, yang berlangsung sepanjang Desember 1946-Maret 1947, menghilangan nyawa puluhan ribu rakyat di Sulawesi Selatan.Korban Westerling di duga mencapai 40.000 jiwa orang.Itu adalah masa paling kelam dan mencekam dalam sejarah Sulawesi Selatan).
Dalam keadaan seperti itu para ulama bergeliat mencoba mencari jalan untuk membicarakan cara mengemban misi agama, untuk masa depan yang lebih baik. Mereka kemudian sepakat untuk saling bertemu dan bermusyawarah. Pertemuan diinisiasi oleh K.H.M. Daud Ismail (Soppeng), K.H. Abdurrahman Ambo Dalle (Mangkoso), Syekh Abdurrahman Firdaus (Parepare), K.H.M. Abduh Pabbaja (Allekkuang). Para Ulama sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang di bungkus dengan atau membonceng perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, untuk mengelabui penguasa militer Belanda. Untuk kepentingan itu mereka membentuk panitia— yang terdiri dari K.H.M. Daud Ismail (Penasehat), H.M. Latif Amin (Ketua), H.M. Karim Ali (Sekretaris), H.M. Amin Zein (Bendahara) dan K.H Abd. Rahman Ambo Dalle (Anggota)—dan disebut Panitia Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Pertemuan itu diselenggarakan di Wattang Soppeng, yang dipilih karena daerah itu sudah didatangi, sudah lepas dari pembantaian Westerling. Acara itu terselenggara pada hari Jumat, 17 Februari 1947 (16 Rabi’ul Awwal 1366 H).
Pada saat selesai Acara Maulid, mereka menggelar musyawarah. Banyak hal yang dibicarakan, tetapi terfokus pada pendidikan dan da’wah. Para ulama itu melihat bahwa pendekatan Gurutta’ Ambo Dalle, yang mengirim santri dan mendirikan sekolah dipelbagai tempat, efektif untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Singkat cerita mereka sepakat untuk sebuah gerakan pendidikan dan dakwah, yang didukung oleh usaha-usaha sosial. Mereka juga sepakat bahwa untuk efektifnya gerakan itu perlu disupport oleh sebuah organisasi. Maka dibentuklah sebuah organisasi untuk memayungi gerakan tersebut, dan mereka menyerahkan kepemimpinannya kepada Gurutta’ Ambo Dalle. Karena memang organisasi ini terinspirasi dengan apa yang telah dilakukan oleh Gurutta’ Ambo Dalle.
Beberapa nama diusulkan untuk organisasi itu: diantaranya yang diunggulkan adalah Nashrul Haq diusulkan oleh K.H. Mohammad Abduh Pabbaja, al Urwatul Wustqa diusulkan oleh K.H.M. Tahir Usman dan Darud Da’wah wal Irsyad, diusulkan oleh Syekh Abdurrahman Firdaus; ulama asal Makkah, yang tinggal menetap di Parepare; sebelumnya tinggal di Jampue, Pinrang.
Tetapi yang kemudian disepakati adalah ‘Darud Da’wah wal Irsyad’, disingkat DDI. Nama yang diusulkan oleh Syekh K.H. Abdurrahman Firdaus, dan didukung oleh Gurutta’ Ambo Dalle. Menurut Syekh Abdurrahman Firdaus, nama itu merupakan tafaul dari dalam rangka penyebaran misi pendidikan dan dakwah. Darun artinya rumah atau tempat atau pusat (penyiaran dakwah); dakwah sendiri artinya adalah ajakan atau panggilan (memasuki rumah itu); Irsyad artinya petunjuk (yang diperoleh melalui proses dakwah dan kemudian proses pendidikan). Dengan demikian Darud Da’wah wal Irsyad adalah suatu gerakan yang dikembangkan untuk mengajak manusia ke jalan yang benar, kearah kebaikan dan keselamatan (dunia dan akhirat) menurut ajaran Islam.
Kepemimpinan organisasi itu kemudian diserahkan kepada Gurutta’ Ambo Dalle. MAI Mangkoso dan beberapa MAI lainnya yang didirikan selama kememimpin MAI Mangkoso, di integrasikan ke dalam DDI. Dengan kata lain, MAI-MAI itulah yang pertama-tama menjadi basis dari gerakan yang bernaung dibawah DDI. Untuk mengukuhkan keberadaan organisasi dirumuskan sebuah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, yang ditangani oleh K.H. Muhammad Abduh Pabbaja. Dibuat dalam Bahasa Arab. Untuk memudahkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh K.H.M. Ali Yafie bersama K.H. Amin Nashir. Sejak lahirnya AD/ART tersebut, singkatan DDI juga resmi digunakan. Musyawarah Ulama di Watang Soppeng itu, juga membantu merumuskan struktur organisasi dan menetapkan pengurus. Untuk membantu Gurutta’ Ambo Dalle, ditetapkan Gurutta’ Pabbaja sebagai Sekretaris (waktu itu istiah yang digunakan adalah Penulis), dan K.H.M. Madani, sebagai Bendahara.
Susunan lengkap Pengurus DDI yang pertama adalah, Ketua; K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle; Ketua Muda, K.H.M. Daud Ismail; Penulis Satu, K.H.M. Abduh Pabbaja; Penulis Dua, K.H. M. Ali Yafie, dan; Bendahara, K.H.M. Madani. Pembantu-Pembantu terdiri dari : K.H. Abdul Mu’in (Qadli Sidenreng), K.H.M. Yunus Maratan, K.H.M. Abdul Kadir (Qadli Maros), K.H.M. Tahir (Qadli Balanipa Sinjai), S. Ali Mathar, K.H. Abdul Hafid (Qadli Sawitto), K.H. Baharudin Syatha (Qadli Suppa), K.H. Kittab (Qadli Soppeng Riaja, K.H. Muchadi (Pangkajene), TNB (ParePare). Penasehat, K.H.M. As’ad (Anregurutta’ Saade—Sengkang), Syekh K.H. Abdurrahman Firdaus, H. Zainudin (Jaksa Parepare), dan M. Aqib Macasai.
(Bersambung)
Penulis:
Hilmy Ali Yafie