MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Consul General Australia Makassar Richard Mathews dan Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo menghadiri workshop etik dan profesionalisme jurnalis yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Makassar.
Acara yang diselenggarakan di Hotel Remcy Makassar turut pula dihadiri berbagai kalangan jurnalis, hingga beberapa mahasiswa. Worskhop ini merupakan bagian dari Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang dilaksanakan AJI Indonesia bekerjasama Australian Embassy Jakarta pada 22 dan 23 Juli 2017.
Ketua AJI Indonesia Suwarjono yang sambutannya dibacakan oleh Ketua AJI Makassar Qodriansyah Agam Sofyan mengatakan, workshop dan UKJ ini merupakan bentuk pemenuhan standar kompetensi jurnalis yang ada dibawah naungan AJI.
Workshop yang mengangkat tema profesionalisme jurnalis menghadapi hoax ini memberi tantangan jurnalis yang kian berat. Richard Mathews mengatakan, Australia juga berperang dengan hoax atau fake news tersebut. Namun di negaranya telah berdiri satu badan yang memeriksa soal fake news tersebut.
“Namanya fake sentre yang bertugas menelurusi kebenaran satu informasi, harusnya memang demikian agar bisa melawan informasi bohong yang tersebar,” katanya, dalam rilis yang diterima PIJAR.
Ia juga menyambut baik UKJ yang dilaksanakan oleh AJI, karena dengan UKJ kebebasan pers bisa ditegakkan. “Kami selalu mendukung demokrasi di Indonesia, salah satu caranya dengan kebebasan pers,” ujar Richard yang mengakui idealisme jurnalis AJI.
* Media Abal-abal
Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo juga mengajak anggota AJI menegakkan independensi. Salah satunya dengan ikut UKJ. Stanley, sapaan akrabnya terlebih dahulu mengklarifikasi adanya kesalahpahaman yang terjadi ketika Dewan Pers memperkenalkan verifikasi media dan mendorong uji kompetensi.
Menurut dia, tidak ada niatan Dewan Pers untuk kembali menciptakan ketakutan bagi kebebasan bereskpresi. Namun, cara yang demikianlah yang bisa memisahkan hadirnya jurnalis dan media abal-abal dengan media yang benar profesional. Dalam banyak ungkapannya, Stanley memang menaruh perhatian akan maraknya media abal-abal di Indonesia.
Bahkan dia menyebut, saat ini ada 47 ribu media di Indonesia. Jumlah yang sangat banyak, jika dibandingkan dengan Timor Timur. Disatu sisi, hal ini tentu saja baik dan membanggakan, namun tidak secara profesi dan bagaimana media tersebut bekerja.
“Tidak sedikit media yang pekerjaannya hanya menakut-nakuti kepala sekolah atau kepala daerah,” imbuhnya.
Stanley berharap, akan semakin banyak jurnalis AJI yang tersertivikasi, begitu pula dengan pemilik media yang merupakan anggota AJI, agar bisa memberi contoh yang baik dalam mengelola media. “Saya percaya kepada AJI dan menaruh harapan besar akan penegakan independensi media,” katanya sembari membuka workshop tersebut.
Ketua Dewan Pers juga dalam workshop membawa satu tema diskusi tentang etik pers: aturan dan realisasinya di Indonesia. Selain Stanley, ada juga Syifaul Arifin dari AJI Solo sekaligus tim penguji di UKJ yang membawakan materi tentang prinsip penting dalam peliputan dan publikasi berita.
Pembicara terakhir adalah Insani Syahbarwati dari AJI Maluku sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Maluku. Ia membawakan materi Hukum pers: menghindari ranjau pidana dan perdata dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. (rls/ris)