OPINI-Saya lahir di keluarga yang selalu melakukan percakapan tertutup akan isu-isu yang terjadi di indonesia. Ibu saya ketika melihat berita di televisi ataupun itu isu yang terjadi secara realistis, kerusuhan dan aksi-aksi mahasiswa yang acapkali mengingatkan saya tuk selalu berhati-hati dalam melakukan tindakan.
Percakapan di atas seolah melibatkan ketakutan yang sangat besar. Sebagai anak yang paham bahwa kata yang keluar dari mulut seorang Ibu itu, bukan hanya sebagai nasehat untuk anaknya, akan tetapi juga melibatkan perasaan yang gelisah mendalam.
Setelah drama yang panjang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mensahkan RKUHP menjadi UU lewat sidang paripurnanya pada tanggal 6 Desember 2022, rapat tersebut bagaikan panggung sandiwara, dimana DPR sebagai lakon terlihat tergesah-gesah mengambil keputusan. Sehingga kebablassan dan mengudang aksi protes dari berbagai kalangan khususnya aktivis kampus.
Seperti kita ketahui hukum merupakan prodak politik dimana hukum hanya bisa dibuat oleh orang yang memiliki kekuasaan. Bahkan parahnya hukum dijadikan sebagai tameng untuk memuluskan keinginannya. Sering kali juga itu dijadikan alat transaksional kekuasaan dengan lobby politik kongkalikong yang dilakukan oleh para aktor politik bersama dengan aktor korporasi. Hal ini tentu akan menjadi cikal bakal kekuasaan diktator yang selalu dirawat sehingga dalam setiap momentum politik, oleh karena itu KUHP ini menjadi nuklir bagi sistem demokrasi.
Tidak dipungkiri setiap narasi yang mendukung pengesahan dibalik KUHP itu merupakan titipan dari beberapa kalangan yang memiliki ideologi tertentu. Jika demikian maka KUHP ini dapat dikatakan tidak mencerminkan falsafah dan nilai luhur dari masyarakat Indonesia secara universal. Sebagaimana dijelasakan oleh Brian Z. Tamanaha dalam teori the mirror thesis bahwa hukum itu harus mencerminkan masyarakat. Sehingga hukum harus diasumsikan sebagai wujud dari nilai- nilai luhur masyarakat. Kaitannya dengan KUHP ini kemudian timbul pertanyaan. Apakah KUHP sudah mencerminkan masyarakat Indonesia?. Nah tentu ini harus menjadi analisis para pembuat hukum khususnya para anggota DPR yang mengesahkan prodak hukum tersebut.
Selain dari proses pengesahan yang cenderung tergesa-gesa serta asumsi gagasan yang masih memerlukan kajian mendalam terhadap nilai dan falsafah masyarakat Indonesia. KUHP ini juga memiliki banyak kejanggalan yang sangat kontroversi, karena mengandung dan melahirkan pasal-pasal yang menimbulkan banyak polemik. Diantaranya; pasal (218) “Penyerangan harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden”. Jika alasan perumusan pasal 218 ini agar masyarakat tidak seenaknya menghina simbol negara tentu hal ini dianggap keliru dan irasional.
Salah satu pasal kontroversial itu, bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang mengatur tentang simbol negara. Didalamnya menyebutkan bahwa yang merupakan simbol negara adalah bendera, bahasa dan lambang negara. Namun tidak disebutkan Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara. Sehingga penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dianggap sebagai penghinaan atas simbol negara. Selain dari pada itu, pasal ini seolah membungkam kita untuk mengkritisi Presiden dan Wakil Presiden, ketika mengkritisi bisa jadi dianggap sebagai ujaran kebencian pada kepala negara.
Sementara itu Adolf Hitler pernah mengatakan bahwa “Alangkah beruntungnya penguasa jika rakyatnya tidak bisa berfikir.” Maksud dari perkataan ini bahwa seorang penguasa itu bisa saja semena-mena ketika rakyatnya tidak lagi mampu berfikir untuk mengkritisi kebijakan dari penguasa. Hal itu juga berkaitan dengan pasal 218 ini. Dimana pasal itu yang berusaha mematikan nalar krtitis di tanah demokrasi. Padahal Presiden dan Wakil Presiden bukan sebagai tubuh rakyat tetapi sebagai alat dalam menjaga sistem berdaulat, berlaku adil tanpa mengenal perbedaan SARA, adil dan setara di mata hukum. Ketika sebuah alat itu tidak mampu menjaga kedaulatan rakyatnya, maka rakyat berhak mengkritisi Presiden dan Wakil Presiden sebagai instrumen negara demokrasi, bukan malah menjaga harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Thraximakos mengatakan bahwa “Pemimpin itu harus seperti seorang gembala” tetapi tidak semua gembala membuatkan kandang yang bagus bagi ternaknya, memberikan makanan enak, mengambilkan rumput yang segar. Karena sebagian besar gembala hanya membutuhkan kulit, susu, daging, maka tidak semua gembala baik. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.