“Pak pesawat Lion Air jatuh di perairan Karawang. Diperkirakan seluruh penumpang dan krunya tewas,” ujar si bungsu Ero pada Senin pagi, 29 Oktober 2018 waktu Roma, Italia atau siang waktu Jakarta. Persisnya seminggu lalu.
Ketika Ero menyampaikan info itu kami baru bangun tidur di hotel Mercure dekat Bandara Internasional Leonardo da Vinci atau bahasa Italianya Aeroporto Leonardo da Vinci di Fiumicino. Jam waktu itu menunjukkan pukul 05.00 pagi atau pukul 11.00 waktu Jakarta. Waktu di Jakarta 6 jam lebih awal dibandingkan Roma.
Saat mengetahui kecelakaan pesawat itu, saya langsung membayangkan kebiasaan setiap Senin pagi selama belasan tahun. Bangun sekitar pukul 02.00 dinihari, pukul 03.00 naik taksi atau Damri dari Bogor ke Bandara Soetta. Paling cepat pukul 05.00 terbang ke salah satu kota di Indonesia.
Pesawat yg saya naiki beragam, sesuai kebutuhan dan ketersediaannya. Mulai dari Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, Citilink, Batik Air, hingga Lion Air. Alhamdulillah selama belasan tahun aman2 saja dan selamat sampai di tujuan.
Biasanya setiap Senin pagi suasana di semua terminal Bandara Soetta kayak pasar. Sebagian penumpangnya adalah yg menuju kota tempat kerja masing2. Umumnya mereka tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Wajah2nya meski terlihat masih ngantuk karena harus bangun pagi sekali, namun kelihatan semangat. Penyebabnya barusan ketemu istri atau suami dan anak2nya.
Saat pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta -Pangkalpinang yg mengangkut 189 orang termasuk para kru jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat itu – sekitar 13 menit setelah lepas landas dari Bandara Soetta – saya langsung membayangkan wajah duka banyak orang. Mereka kehilangan suami, istri, anak, orangtua, dan saudara. Kesedihan mereka duka kita semua.
Guncangan Agak Keras, Saling Memandang dengan Wajah Pucat
Sekitar 2 jam setelah mendapat info tentang pesawat Lion Air yg jatuh, kami sudah di pesawat Vueling Airlines. Bersiap2 berangkat dari Bandara Internasional Leonardo da Vinci menuju Bandara Orly yg bahasa Perancisnya Aéroport de Paris-Orly, Perancis. Penerbangannya sekitar 2 jam.
Sebelum pesawat lepas landas, kami berdoa dulu. Awalnya terasa nyaman. Apalagi cuaca di luar pesawat – terlihat dari jendela – lumayan cerah. Sementara suhu di luar lumayan dingin, di bawah 10 derajat celcius.
Sekitar sejam kemudian tiba2 terjadi guncangan agak keras. Kami yg semula tertidur langsung bangun. Saling memandang dengan wajah pucat. Teringat kejadian pesawat Lion Air beberapa jam sebelumnya. Dalam hati berpikir, “Akankah kami mengalami kejadian seperti penumpang Lion Air?”
Begitu mendarat di Bandara Orly, sekitar 14 km di selatan pusat Kota Paris, kami sangat bersyukur dan merasa lega. “Tadi Ero sempat was2 Pak. Langsung teringat musibah pesawat Lion Air,” ungkap Ero dengan wajah gembira.
Kegembiraan kami bertambah saat keluar terminal Bandara Orly langsung ketemu Parlagutan Siahaan dari KBRI Paris yg menjemput kami. Lagut, panggilan akrab laki2 asal Pematang Siantar, Sumut itu sehari2 jadi sopir Duta Besar (Dubes) RI untuk Perancis Letjen TNI Hotmangaradja Pandjaitan.
Wakil Dubes RI untuk Perancis Agung Kurniadi yg menugaskan Lagut menjemput kami. Ketika kami di Paris, Hotmangaradja Pandjaitan sedang tugas ke Indonesia.
Semoga semua amal ibadah korban pesawat Lion Air diterima TUHAN dan seluruh keluarganya tabah menerima cobaan ini. Juga agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Aamiin ya robbal aalamiin…(*)