OPINI, PIJARNEWS.COM — Kehadiran media massa tentu selama ini kita rasakan memiliki banyak peran dan fungsi, dan yang paling kita rasakan adalah, bagaimana masyarakat mengetahui apa yang terjadi di pelosok negeri hingga di kota-kota besar dari pemberitaan media massa.
Dalam beberapa hari terakhir ini, publik terfokus pada pemberitaan media massa terkait peristiwa gempa bumi di Lombok yang menelan korban harta dan ratusan nyawa. Lantas apa yang bisa kita petik dari pemberitaan media massa itu.
Sering kali kita lihat reporter yang mewawancarai korban serta keluarga korban saat meliput bencana di negeri ini, yang mengawali dengan pertanyaan soal firasat, atau soal perasaan yang dialami keluarga korban. Itulah biasanya langkah mujarab sang reporter yang dapat membuat narasumber berlinang air mata atau malah terbakar emosinya.
Lalu kesedihan mereka dijadikan headline berita yang sanggup meraup banyak penonton. Sorotan kamera ke wajah-wajah keluarga korban yang menangis histeris seakan jadi santapan empuk. Sebab tangisan itu dianggap ‘drama’ favorit bagi penonton. Media massa seakan mengejar nilai bombastis seperti gambar korban yang bedarah-darah serta kesedihan yang mendalam dibanding mengajaknya bagaimana ia bisa bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
Dengan mengekspos kesedihan mereka. Bagi orang lain bisa saja mengundang simpati, tapi bagi korban itu sendiri apakah itu namanya bukan bencana kedua?
Mungkin kita bisa belajar dari media-media di Jepang, saat ‘negeri sakura’ ini dilanda gempa dan tsunami hebat, Jumat siang, 11 Maret 2010 lalu, sekitar pukul 14.46 waktu setempat. Jika kita mengamatinya dengan teliti tentu sangat jarang kita lihat media-media di Jepang mengeksploitasi korban serta keluarga korban. Justru yang mereka tampilkan sebagai suguhan utama adalah bagaimana mereka bisa bangkit dari keterpurukan dan memberi solusi untuk pemulihan, sehingga tidak menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Semoga seluruh awak media, termasuk saya, kami, dan anda, berefleksi ketika memutuskan meliput bencana. Mana yang lebih penting dan yang esensial untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau mendulang untung dari trauma korban?
Dalam konteks bencana yang paling penting justru edukasi publik dan bagaimana kita belajar agar lebih siap dalam setiap bencana. (*)