Di masa pandemi Covid-19, risiko anemia pada remaja putri meningkat karena kegiatan belajar mengajar masih dilakukan dari rumah. Akibatnya, distribusi TTD pada remaja terhambat serta support system untuk mengonsumsi TTD selama pandemi berkurang.
Hal tersebut dituturkan Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, Prof dr Veni Hadju, M.Sc, Ph.D dalam webinar yang sama. Veni mengutip ungkapan Kepala Seksi Gizi UNICEF Jee Hyun Rah, yang mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menyebabkan terganggunya layanan nutrisi esensial bagi remaja di Indonesia, yang berdampak besar pada status gizinya.
Dia memaparkan bahwa sangat penting mencegah anemia di masa remaja karena hal itu berpengaruh dengan kesehatannya di kemudian hari. Remaja adalah calon ibu yang membutuhkan kesehatan prima saat mengandung. Sayangnya, banyak perempuan hamil sudah terlanjur anemia. Masa kandungan yang selama sembilan bulan ternyata sangat singkat untuk menurunkan anemia.
“Jika remajanya sudah anemia maka butuh waktu lama lagi untuk mengoreksi anemia tersebut. Inilah yang menjadi berat saat proses mengandung dan melahirkan,” kata Veni dalam materinya berjudul Dampak Anemia Remaja Putri pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Bahkan, dalam rilis Riskesdas 2018, diperoleh persentase proporsi anemia ibu hamil menurut kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 84,6 persen, 25-34 tahun sebanyak 33,7 persen, 35-44 tahun sebanyak 33,6 persen dan usia 45-54 tahun sebanyak 24 persen.
Anemia pada masa kehamilan merupakan faktor risiko melahirkan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). “Selain itu menyebabkan kelahiran premature, kematian janin dan kematian bayi pada wanita yang anemia selama kehamilan serta masalah kesehatan ibu,” tambah Veni Hadju.
Staf Gizi UNICEF perwakilan NTB-NTT, Blandina Rosalina Bait menyebutkan ada delapan isu kesehatan remaja yakni gizi, kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, zat adiktif, kekerasan dan cedera, kesehatan jiwa, sanitasi dan kebersihan individu, penyakit tidak menular.
Pemberian TTD pada rematri merupakan isu kesehatan terkait gizi. UNICEF sendiri telah menetapkan modelling distribusi TTD di Indonesia pada dua kabupaten yakni Klaten dan Lombok Barat selama tahun 2018-2020.
Guna mendukung distribusi TTD, maka diluncurkan program “Aksi Bergizi” yang berisi komponen pendidikan gizi, komunikasi untuk perubahan perilaku, dan distribusi tablet tambah darah.
“Strategi program yakni advokasi, behavioral change communication, koordinasi, pengawasan dan evaluasi serta penguatan kapasitas,” paparnya.
Adapun pemberian TTD sebelum dan selama Covid-19 terdiri atas dua skema. “Sebelum Covid, TTD dibagikan di sekolah, satu kali seminggu, sekolah meluangkan 45 menit. Adapun protokol kegiatan berupa sarapan (putra dan putri), konsumsi TTD (putri), sesi Aksi Bergizi (putra dan putri) lalu membuat pelaporan dengan cara sekolah merekap dan hasil rekapan dikirim ke puskesmas,” jelas Blandina.
Sementara selama Covid-19TTD dibagikan ke rumah untuk penggunaan 7-10 minggu oleh gugus tugas/kader Posyandu, atau guru dan kader remaja. Lalu, diminum pada hari yang ditentukan. Pelaporan dilakukan dengen mengirimkan foto ke guru melalui WhatsApp atau mengantarkan bungkus kosong ke sekolah.
Bagaimana pendidikan gizi dan kesehatan sebelum Covid-19?
Sebelum Covid-19, pendidikan gizi dan kesehatan mencakup delapan isu sesuai Rencana Aksi Nasional (RAN) Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja (2017-2019) dilakukan dengan pembelajaran di kelas dengan sistem interaktif yang menyenangkan yaitubermain dan berdiskusi. Sebanyak 36 sesi ydiberikan kepada siswa selama satu tahun akademik, menggunakan pendekatan Life Skill Approach dengan tujuan meningkatkan pengetahuan siswa mengenai gizi dan kesehatan.
SebelumCovid-19 komunikasi untuk erubahan erilaku dilakukan melalui workshop bersama Remaja Aksi Bergizi dan kegiatan mobilisasi sekolah seperti lomba memasak makanan sehat, lomba foto sarapan, gerakan perbaikan kantin, olahraga bersama orang tua, seminar tentang anemia dan kegiatan makan sayur dan buah.
Sementara, komunikasi untuk perubahan perilaku selama Covid-19 memanfaatkan media sosial seperti instagram untuk mengkampanyekan tata cara minum TTD, serta memanfaatkan aplikasi Tiktok untuk aksi bergizi di rumah dan membuat Covid-19 diaries.
“Dilakukan juga pelatihan berjenjang fasilitator kabupaten dari TP-UKS dan nakes puskesmas, ke guru dan dari guru ke siswa-siswa,” tutupnya. (*)
Penulis: Dian Muhtadiah Hamna