PIJARNEWS.COM — Nasruddin Hoja pernah ditanya temannya, Kapan kiamat terjadi? Dia balik bertanya, kiamat apa yang kau maksudkan? Apakah kiamat itu lebih dari satu? Temannya kembali bertanya. Ya, ada kiamat kecil dan ada kiamat besar. Kiamat kecil adalah ketika isteriku mati. Dan kiamat besar adalah ketika aku yang mati?, jawab Nasruddin.
Tentu saja Nasruddin sedang bercanda. Tapi Nasruddin benar ketika dia mengaitkan kiamat dengan kematian. Hanya saja, kiamat kecil bagi seseorang adalah kematiannya, sebelum kelak ia dibangkitkan kembali ketika kiamat besar terjadi. Ibnul Qayyim al-Jawzi berkata: Maut adalah kebangkitan dan tempat kembali (maad) pertama. Allah menciptakan dua tempat kembali dan dua kebangkitan bagi anak-cucu Adam.
Menurut Lisaanul Arab, kata maut berarti diam, padam, tenang, tak bergerak. Sebagaimana kehidupan bermula ketika ruh ditiupkan ke jasad, maka kematian terjadi ketika ruh terpisah dari badan. Maut juga berarti bergantinya keberadaan, dan berpindahnya (sesuatu) dari satu tempat ke tempat lain.
Sehingga menjadi jelaslah makna ucapan Rasulullah Saaw. Ketika beliau mengatakan: Kalian diciptakan untuk keabadian, bukan untuk mengalami kemusnahan. Kematian sesungguhnya adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah lain yakni dari rumah dunia ke rumah akhirat…”
Di dalam surat al-Sajdah disebutkan: Dan mereka berkata, Apakah ketika kami telah lenyap (musnah) di dalam tanah, kami akan benar-benar menjadi ciptaan yang baru Katakanlah: Malaikat maut ditugasi untuk menerimamu dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.
Berhubungan dengan istilah wafat ini, dikenal juga istilah kematian kecil. Yang ditunjuk oleh istilah ini adalah tidur. Tidur? Bukankah Allah berfirman:
“Dan dialah yang mewafatkan kalian pada malam hari… Allah menggenggam jiwa manusia ketika matinya dan menggenggam jiwa (manusia) yang belum mati di waktu tidurnya? Maka dia tahanlah jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya, dan dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir…”
Memang, Sesungguhnya, kata Sang Rasul, hidup manusia di dunia ini bagaikan mimpi. Ia terjaga ketika mati. Dan pada hari itu, ungkap Allah, penglihatanmu akan menjadi terang-benderang.
Maka perenungan William Shakespeare telah berada di arah yang benar ketika ia bergumam: Kita bagaikan obyek mimpi. Bertumbuh besar, pergi ke sekolah, menikah, mempunyai anak, mencari dan membelanjakan uang, menjadi tua. Dan hidup kita yang singkat ini digenapi dengan tidur.? Hanya kali ini kita mungkin bisa melanjutkan jawabannya yang tidak selesai itu. kematian adalah transisi dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Bahkan dari sebuah mimpi dari sebuah realitas virtual- ke realitas yang sejati. Dan kepada T.S. eliot, kita dapat dengan yakin mengatakan: di ujung jembatan London itu, terhampar dunia baru di mana cahaya bersinar terang-benderang, dan tak pernah padam.
KENAPA KITA HARUS INGAT PADA KEMATIAN?
Imam Al-Qurthubi r.a. berkata, “Para ulama kita mengatakan, ucapan beliau, “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan”, merupakan ucapan ringkas tapi padat, menghimpun makna peringatan dan amat mendalam penyampaian nasihatnya. Sebab, orang yang benar-benar mengingat kematian, pasti akan mengurangi kenikmatan yang dirasakannya saat itu, mencegahnya untuk bercita-cita mendapatkannya di masa yang akan datang serta membuatnya menghindar dari mengangankannya, sekalipun hal itu masih mampu dicapainya.
Namun jiwa yang beku dan hati yang lalai selalu memerlukan nasihat yang lebih lama dari para penyuluh dan untaian kata-kata yang meluluhkan sebab bila tidak, sebenarnya ucapan beliau tersebut dan firman Allah s.w.t. dalam surat Ali ‘Imran ayat 185, (artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati) sudah cukup bagi pendengar dan pemerhati-nya.!!”
Ibnu Umar r.a pernah berkata, “Aku pernah mengadap Rasulullah s.a.w sebagai orang ke sepuluh yang datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?” Beliau menjawab, “(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ath-Thabrani, disahihkan al-Munziri)
Di antara faedah mengingat kematian adalah:
– Mendorong diri untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datangnya.
– Memendekkan angan-angan untuk lama tinggal di dunia yang fana ini, kerana panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya kelalaian.
– Menjauhkan diri dari cinta dunia dan redha dengan yang sedikit.
– Menguatkan keinginan pada akhirat dan mengajak untuk berbuat ta’at.
– Meringankan seorang hamba dalam menghadapi ujian dunia.
– Mencegah kerakusan dan ketamakan terhadap nikmat duniawi.
– Mendorong untuk bertaubat dan muhasabah kesalahan masa lalu.
– Melembutkan hati, membuat mata menangis, memberi semangat untuk mendalami agama dan menghapuskan keinginan hawa nafsu.
– Mengajak bersikap rendah hati (tawadhu’), tidak sombong, dan berlaku zalim.
– Mendorong sikap toleransi, mema’afkan teman dan menerima kesalahan dan kelemahan orang lain.
(penggawa hikmah)