PAREPARE, PIJARNEWS.COM – Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kota Parepare tanggal 17 Februari 1960. Hal itu berdasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Andi Mannaungi (AM), Walikota Pertama Parepare.
Parepare kala itu masih sangat sepi, penduduk masih sangat sedikit. Sejak berumur 7 tahun Andi Mannaungi tinggal di Parepare, olehnya sangat mengenal kota Parepare. Sehari-hari Andi Mannaungi dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan terlalu bijaksana. Walikota pertama Parepare itu tipe pemimpin yang tidak punya pembatas-pembatas dalam pergaulan.
Tahun 1947-1950, Andi Mannaungi turut merasakan perjuangan perang. Daerah gerakan gerilya yang dikuasainya adalah kota Parepare, Rappang, Suppa, Barru. AM memilih bertahan di Parepare untuk mempertahankan kota setelah sebelumnya ada kesepakatan sebagian pemuda berangkat ke Jawa dan diantara mereka harus ada juga bertahan di Parepare. Sebagai gerilya kota, AM bersama kawan-kawan pernah mengadakan kekacauan di kota Parepare. Mereka memancing pasukan Belanda agar tidak melancarkan operasi ke pedalaman mengejar para tokoh pergerakan dan kesatuan kelasyakaran yang mulai terdesak. Karena itu jika ada gerakan perlawanan di Parepare, pasukan Belanda akan membagi personilnya untuk menjaga keamanan di Parepare. Granat mereka ledakkan ke tangsi KNIL pasukan Belanda.
Organisasi gerilya dimana Andi Mannaungi terlibat adalah Lasykar Ganggawa, Lasykar yang daerah operasinya sekitar daerah Ajattappareng. AM menjadi konseptor dan staf di gerakan ini, juga andalan Andi Tjammi, Komadan Lasykar Ganggawa yang ditangkap dan ditembak mati oleh Belanda.
Sebagai Walikota, Andi Mannaungi juga dikenal sederhana. AM tidak menyimpan kekayaan setelah melepas jabatan Walikota, inventaris yang dimilikinya adalah rumah jabatan yang kemudian dibeli (sekarang kantor Adira).
Andi Mannaungi teman seperjuangan dan kawan akrab hampir semua tokoh Sulawesi Selatan, seperti Brigjen A.Sose, Jancy Raib mantan Walikota Makassar, Kol. Arifin Nu’mang mantan Bupati Sidrap, Rasyid Pattikeng pejuang tokoh masyarakat Soreang, Oesman Balo pejuang, Brigjen Arsyad B, mantan Bupati Pangkep, Ketua DPRD Sulawesi, Kol. Kasim DM mantan Bupati Maros, Andi Sapada mantan Bupati Sidrap dan seterusnya yang tidak dapat tersebutkan satu persatu.
“Kesan yang menarik seperti yang diceriterakan seorang mantan bawahannya selama bergerilya melawan penjajah Belanda. Pada suatu ketika di suatu persembunyian gerilya di daerah Barru, seorang mata-mata Belanda tertangkap. Mata-mata Belanda pada waktu itu sangat dibenci, karena merekalah yang menjadi informan Belanda yang membuat tokoh pejuang ditangkap dan ditembak mati. Mata-mata itu kemudian oleh pasukan gerilya hendak ditembak mati seketika. Tetapi Andi Mannaungi merasa iba dan mengatakan kepada bawahannya, jangan ditembak mati, biar saya yang selesaikan. Ia kemudian menembak kaki mata-mata itu kemudian dititipkan kepada rakyat setempat. Dengan demikian selamatlah mata-mata dari hukuman mati atau hukuman rimba. Keesokan harinya di Parepare ia mendapat laporan bahwa mata-mata yang kemarin kakinya ditembak meninggal. A.Mannaungi kaget dan berkata, saya kan hanya menembak kakinya? Pelapor itu mengatakan, ya benar, tetapi dalam hutan itu si mata-mata kehabisan nafas dari lukanya dan rakyat tidak bisa memberikan perawatan. Ia sangat sedih dan iba. Tetapi tidak ada yang bisa dilakukan, itulah hukum revolusi,” kenang Andi Makmur Makka salah satu saudara Andi Mannaungi. (ibr)