Oleh: Adekamwa (Mahasiswa Program Magister Prodi Ilmu Komunikasi Unhas Angkatan 2023)
Belakangan ini, sebuah cerita singkat berjudul Terlalu Asyik Memutar Waktu yang dimuat di Pijarnews.com edisi 18 Maret 2025, menimbulkan kegelisahan yang cukup mendalam. Karya fiksi tersebut menampilkan karakter-karakter dengan nama yang sangat mirip dengan nama dosen-dosen yang memiliki peran penting dalam hidup saya.
Nama-nama seperti Sonni, Akbar, Muliadi, dan Iqbal, yang menjadi tokoh dalam cerita tersebut, bukan hanya sekadar nama fiksi bagi saya, tetapi juga memiliki makna yang sangat personal.
Sebagai mahasiswa yang pernah merasakan bimbingan mereka, keberadaan nama-nama tersebut dalam konteks yang terkesan santai dan bahkan dipadukan dengan suasana permainan domino, secara tidak langsung menimbulkan perasaan yang sulit untuk dijelaskan.
Meskipun penulis mungkin tidak memiliki niat untuk merujuk langsung kepada orang-orang yang saya kenal, saya merasa bahwa pemilihan nama-nama yang begitu mirip bisa menimbulkan kesan yang kurang tepat. Nama-nama dosen saya tersebut memiliki sejarah dan pengaruh yang besar dalam perjalanan akademik saya. Setiap nama itu adalah bagian dari proses belajar saya yang penuh tantangan dan perjuangan.
Dari sini, kita perlu mempertanyakan, di mana letak batasan antara inspirasi dan penggunaan identitas pribadi dalam karya fiksi?
Tentunya, ini bukan semata-mata tentang perasaan pribadi saya. Sebagai pembaca, saya berharap setiap karya fiksi dapat mempertimbangkan sensitivitas terhadap pengalaman hidup orang lain. Nama adalah simbol yang sangat kuat, apalagi jika menyangkut orang-orang yang telah berperan penting dalam kehidupan kita. Seiring dengan perkembangan dunia sastra, kita juga dituntut untuk semakin bijaksana dalam memilih kata-kata yang bisa merangkul pembaca dari berbagai latar belakang.
Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk memahami bahwa penggunaan nama seseorang, bahkan dalam konteks fiksi, dapat memiliki implikasi emosional yang mendalam bagi pembaca tertentu.
Selain masalah nama, ada juga aspek lain yang patut dicermati dalam cerita ini, yaitu penggunaan kalimat yang kurang pas dalam dialog. Penyebutan nama “Bals” dalam berbagai bagian cerita, seperti dalam kalimat “Cepat, Bals! Giliranmu!” atau “Eh, Bals, kau bagaimana? Sudah sampai mana tugas akhirmu?” tidak hanya membuat saya merasa terhubung dengan sosok dosen saya, tetapi juga menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan emosional.
Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan kata dan dialog dalam fiksi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama ketika menggunakan nama yang memiliki konotasi personal.
Sebagai pembaca yang menghargai karya sastra, saya menyampaikan keluhan ini dengan harapan bahwa penulis bisa lebih sensitif dalam mengolah elemen-elemen cerita. Dalam dunia sastra, kita tidak hanya menciptakan karya yang menghibur, tetapi juga menghormati perasaan dan pengalaman yang mendalam dari orang-orang di sekitar kita.
Saya percaya dengan perubahan kecil, seperti mengganti nama-nama karakter dan memperhalus beberapa ungkapan, cerita ini akan semakin kuat dan menggugah, tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pembaca yang memiliki pengalaman pribadi yang terkait dengan nama-nama tersebut.
Dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang di mana fiksi dan realitas dapat berdampingan tanpa saling melukai.
Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu menyentuh hati pembacanya tanpa menyakiti. Ini adalah panggilan untuk kita semua, baik penulis maupun pembaca, untuk lebih bijak dan penuh empati dalam berkreasi dan mengapresiasi.
Pada akhirnya, tujuan dari sebuah karya adalah untuk menginspirasi dan menyatukan, bukan untuk menciptakan perpecahan atau ketidaknyamanan. (*)