Oleh: Luthfiyah Mahrusah
(Mahasiswi IAIN Parepare)
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 7 UU HPP memicu perdebatan di masyarakat. Kebijakan yang akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025 ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara dan mendorong formalitas usaha.
Namun, langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap perekonomian. Kelompok berpenghasilan rendah dan pelaku usaha kecil dinilai akan merasakan beban tambahan yang signifikan akibat kenaikan ini, yang dapat mengurangi daya beli masyarakat serta menekan keberlanjutan usaha kecil. Meski demikian, pemerintah menganggap kebijakan ini penting untuk memperkuat struktur fiskal negara. Tantangan yang muncul adalah bagaimana memastikan kebijakan tersebut berjalan secara adil dan tidak memperburuk kesenjangan ekonomi, sekaligus menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Pada tujuan awalnya memang untuk meningkatkan penerimaan negara yang diperlukan untuk mendanai berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur dan layanan publik. Tapi tidak ada yang tahu bagaimana nasib negara ini pada tahun yang akan datang. Lebih lanjut, dengan kebijakan yang diangkat akan meningkatnya kebutuhan anggaran negara, sehingga pemerintah memandang sebagai langkah strategis untuk mengurangi defisit fiskal. Namun, langkah ini menuai kritik, terutama terkait waktu penerapan yang dianggap kurang ideal, mengingat pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang masih berlangsung.
Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga yang tarif pajak rendah tapi tetap maju secara ekonomi seperti Singapura dan Malaysia menjadi contoh utama negara ASEAN yang memberlakukan tarif pajak yang relatif rendah sambil mempertahankan posisi ekonomi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa tarif pajak perusahaan yang lebih rendah dapat menarik investor asing.
Kenaikan pajak, seperti kenaikan PPN, berdampak buruk bagi perekonomian dengan menaikkan beban pajak, yang menyebabkan harga barang dan jasa yang lebih tinggi. Eskalasi ini dapat mengurangi permintaan konsumen, bukan cuman itu tetapi memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan berdampak negatif pada usaha kecil dan menengah. Selain itu, ini dapat mengakibatkan PDB dan tingkat investasi yang lebih rendah, karena bisnis menghadapi kondisi keuangan yang lebih ketat. Pada akhirnya, tekanan pajak yang meningkat dapat menghambat aktivitas kewirausahaan dan memperburuk inflasi, serta dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang menantang.
Kritik utama terhadap kenaikan PPN menjadi 12% adalah dampaknya pada individu berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk kebutuhan dasar seperti energi dan transportasi. Kebijakan ini berisiko menurunkan kesejahteraan mereka secara signifikan. Selain itu, rumah tangga berpenghasilan rendah menghadapi beban pajak eksplisit dan implisit, yang semakin memperburuk tekanan finansial akibat kebijakan tersebut, menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang memerlukan perhatian serius.
Perlu digaris bawahi keseimbangan antara kenaikan pajak dan program subsidi atau bantuan sosial yang memadai sangat penting untuk mempromosikan kesejahteraan sosial dan mengurangi ketidaksetaraan. Kebijakan fiskal yang efektif harus memastikan bahwa beban pajak tidak memengaruhi orang miskin secara tidak proporsional sambil memberikan dukungan yang diperlukan melalui subsidi yang ditargetkan.
Negara-negara seperti Jerman dan Swedia menjadi salah satu panutan yang menerapkan sistem pajak progresif yang efektif, di mana tarif pajak yang lebih tinggi diimbangi dengan layanan publik yang berkualitas, sehingga masyarakat merasa adil dalam kontribusi mereka.
Maka dari itu, pemerintah perlu menjamin transparansi, tata kelola yang baik, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan sektor publik. Langkah ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal, memastikan alokasi sumber daya berjalan secara tepat sasaran, dan memudahkan akses masyarakat terhadap informasi keuangan negara. Dengan pengelolaan yang efisien dan transparan, penggunaan dana pajak dapat dioptimalkan untuk mendukung pembangunan yang berkeadilan, sekaligus meredam kritik terkait dampak kebijakan pajak terhadap kelompok masyarakat rentan.
Pajak progresif merupakan strategi penting untuk mengatasi ketidaksetaraan pendapatan dan mendorong keadilan ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Sistem ini menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi bagi kelompok berpenghasilan besar, sehingga memungkinkan redistribusi kekayaan yang lebih merata. Dengan penerapan pajak progresif, pemerintah dapat mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi sekaligus menciptakan stabilitas dalam perekonomian.
Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan kenaikan pajak, pemerintah dapat memberikan insentif pajak kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Insentif ini dapat membantu keberlanjutan operasional UKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional, dengan meringankan beban pajak mereka. Langkah ini juga dapat mendorong perkembangan sektor usaha informal menuju formalitas, memperluas basis pajak negara secara berkelanjutan. Melalui kombinasi pajak progresif dan dukungan bagi UKM, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Penting bagi pemerintah untuk memastikan masyarakat memahami tujuan dan manfaat dari kenaikan pajak melalui sosialisasi dan transparansi. Edukasi yang jelas mengenai alasan kenaikan pajak, seperti untuk mendukung pembangunan nasional dan meningkatkan layanan publik, dapat membantu mengurangi resistensi dari masyarakat. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dan penggunaan dana pajak sangat diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik. Dengan langkah ini, masyarakat akan merasa lebih dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga kebijakan kenaikan pajak dapat diterima dengan lebih baik dan memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan dan pembangunan nasional.
Kenaikan pajak menjadi 12% merupakan langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan nasional. Namun, kebijakan ini menghadirkan tantangan besar bagi daya beli masyarakat, kelangsungan UKM, dan daya saing investasi. Kritik utama muncul dari kekhawatiran terhadap ketidakadilan beban pajak, terutama bagi golongan berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan prinsip keadilan, efisiensi anggaran, dan transparansi untuk memastikan kebijakan ini berjalan secara proporsional dan adil, sehingga dapat mendukung pembangunan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.