OPINI — Izinkan saya kembali memulai tulisan ini dengan sebuah ungkapan kata indah dari seorang sufi Jalaluddin Rumi yang hidup di pertengahan abad XIII.
“Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melakukan apa pun. Siapa yang hidup? Dia yang dilahirkan oleh cinta!”.
Begitupun dengan menulis, ketika huruf bisa tersusun menjadi kata, ketika kata dapat tertautkan menjadi kalimat, dan ketika kalimat berhasil terangkai menjadi tulisan yang inspiratif, ketika itulah akan ada rasa yang luar biasa, bukankah cinta berawal dari rasa dan bukankah dengan cinta akan menghasilkan karya yang luar biasa?.
Menurutku setiap mahluk yang namanya manusia sebenarnya mampu menulis. Seseorang yang buta huruf pun, sebenarnya mampu menulis, hanya saja ia tidak berlatih atau dilatih untuk menulis. Setiap manusia yang bisa menulis seharusnya bersyukur akan kemampuannya tersebut. Allah SWT membekali setiap manusia dengan tiga potensi dasar yakni : ruh, akal, dan fisik. Terutama akal, sebab manusia dibekali akal untuk berpikir.
Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa peryataan tersebut masih sangatlah dangkal, dan penulis tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan secara terperinci, karena saya pribadi adalah penulis pemula.
Lantas dengan mengetahui kelemahan tersebut maka tentu saya sebagai pemula tak sepantasnya menyerah untuk berkarya melalui tulisan yang harusnya selalu didasari oleh pendekatan “cinta dan spritual”.
Tulisan dengan pendekatan cinta dan spiritual lahir dari fenomena yang diresapi. Penulis sangat sadar bahwa, kalau mau menulis tulisan seperti ini, jiwa kita sendiri yang harus diasah. Misalnya dengan ibadah, membaca, dan lain sebagainya. Kosongkan dulu hati dari iri dengki, baru diisi oleh kebaikan-kebaikan. Kalau tak dikosongkan dulu, nanti campur aduk. Tulisan seperti ini bicara dari hati ke hati. Religiusitas itu ada di setiap orang, bahkan kaum tak beragama atau ateis sekalipun.
Tulisan ini sebetulnya terilhami dari kondisi kita yang tengah menjalani proses perhelatan pesta demokrasi lima tahunan, yaitu pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Dalam proses pilkada ini, seakan-akan kita tengah menyaksikan tontonan yang menarik sekaligus penuh intrik yang sedang dipertunjukkan oleh elit politik kita dalam memasuki masa kontestasi pilkada 2018 ini, terkesan bahwa kita terbelah menjadi dua bagian, bahkan sampai tidak saling tegur antar sesama teman yang beda pandangan politiknya.
Akibat dari politik adu domba yang sengaja diciptakan oleh para ahli strategi perang politik. Dengan cepatnya menyebarkan virus perpecahan yang melanda segenap penjuru kota.
Saling menuduh, menghujat, mencaci maki dan segala sumpah serapah memenuhi lini masa di media sosial kita. Media massa serta pembaca atau pemirsanya pun kemudian ikut jadi sasaran penghakiman, kendati itu hanya ulah orang perorang atau person to person.
Saya selaku penulis yang berlatar belakang sebagai pekerja media, sangat sadar bahwa ini adalah cubitan atau bahkan tamparan bagi kami.
Kalangan media mesti mereduksi atau kalimat sederhananya mengurangi isu-isu diskriminatif dan lebih menyuarakan aspirasi dari kelompok masyarakat yang tidak berdaya. Seharusnya kita lebih memilih menonjolkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat terhadap calon pemimpinnya, bukan malah larut dan tergerus. Seharusnya tulisan atau suguhan pemberitaan kita arahkan menuju proses demokrasi yang damai dan bemartabat.
Sungguh sangat disayangkan, jika upaya penyelenggara pesta demokrasi ini telah mengajak kita semua termasuk media, untuk menuju pilkada yang damai dan bermartabat, bahkan ajakan ini dikemas dalam sebuh kegiatan kampanye yang menelan biaya tidak sedikit, namun kita hanya menyikapinya dengan simbolik semata.
Perlu kita pahami bersama bahwa, pengaruh media massa atas pengambilan kebijakan dan persepsi amat tinggi. Jika media terus menerus menyuarakan pentingnya makna perdamaian, dukungan pun akan semakin luas. Ini menunjukkan media massa amat berpengaruh. Untuk itu, media massa tidak hanya berkontribusi pada perdamaian, namun juga mendukung pembangunan berkelanjutan, dan mengarahkan pada proses demokrasi yang sehat.
Sudah sepantasnyalah kita kembali ke kittah jurnalisme damai, jurnalisme damai bertujuan menempatkan konflik sebagai sesuatu yang melibatkan banyak pihak, dan mengejar banyak tujuan, ketimbang sekadar dikotomi sederhana antara dua pihak yang berseteru.
Tujuan eksplisit jurnalisme damai adalah untuk mempromosikan prakarsa perdamaian dari kubu manapun, dan untuk memungkinkan pembaca membedakan antara posisi-posisi yang dinyatakan oleh para pihak tersebut dan tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya.(*)