Oleh: Aditya Putra
(Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Memasuki tahun politik, salah satu isu yang masih sering menjadi topik perdebatan di kalangan masyarakat adalah mengenai boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin, khususnya kepala daerah. Di negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam seperti Indonesia, topik ini masih sering mencuat, disebabkan adanya ayat Alquran dan hadis yang ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai larangan untuk mengangkat perempuan sebagai pemimpin, seperti misalnya Surah An-Nisa ayat 34 maupun hadis dari Nafi’ bin Harits ats-Tsaqafiy atau dikenal juga sebagai Abu Bakrah (Bukhari 2006: 603 dan 978) terkait kepemimpinan perempuan.
Tentu jika kita melihat secara sekilas, pandangan tersebut seolah-olah kontradiktif dengan semangat Islam sebagai agama pembebasan dan keadilan (utamanya sosial). Padahal dalam sejarah, justru saat Islam pertama kali hadir di tanah Arab, mulai terjadi perubahan signifikan dalam perlakuan terhadap wanita. Mereka mulai merasa dilindungi dan mendapatkan hak-hak yang sebelumnya tidak mereka peroleh.
Nabi Muhammad SAW yang kemudian menegaskan bahwa wanita memiliki hak waris, hak-hak mereka sendiri, dan memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidup mereka. Islam dianggap sebagai agama yang membawa kedamaian dan keadilan, terbukti dengan pembebasan wanita dan pengakuan kesetaraan antara pria dan wanita. Bahkan banyak ayat-ayat AL Quran yang kemudian menekankan mengenai pentingnya kesetaraan jender, seperti An-Nisa ayat 1, Al-Isra ayat 70, serta Al-Ahzab ayat 35.
Kalangan ilmuwan Islam kemudian membagi pendapat ulama mengenai kepemimpinan perempuan ke dalam dua kelompok utama, yaitu ulama klasik dan ulama kontemporer. Ulama klasik seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, dan Imam Syafi’i cenderung melarang wanita menjadi pemimpin dengan alasan bahwa kepemimpinan seorang wanita tidak sesuai dengan kodratnya dan bisa menimbulkan ketidakstabilan dalam masyarakat. Sementara ulama kontemporer seperti Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, Yusuf al-Qardhawi, Asghar Ali Engineers, serta M. Quraish Shihab lebih terbuka terhadap kemungkinan wanita memegang jabatan kepemimpinan, selama mereka memiliki kualifikasi yang sesuai.
Dengan demikian, persoalan kepemimpinan perempuan merupakan topik yang bersifat khilafiyah atau persoalan dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama disebabkan karena perbedaan cara pandang (istimbath). Dengan kata lain, tidak terdapat satu pandangan yang pasti, sebab bahkan didalam Al Quran sendiri tidak terdapat ayat yang secara tegas melarang ataupun membolehkan perempuan menjadi pemimpin (pemerintahan).
Adapun perbedaan pandangan antar ulama ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam memahami hadis, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Ulama yang menolak kepemimpinan perempuan umumnya menggunakan penekatan tekstul, dimana aliran ”tekstual” ini mendasarkan pemahaman hadis dari perspektif gramatikal bahasa, sesuai arti teks itu sendiri yaitu ”kata-kata asli yang tertulis”.
Adapun ulama kontemporer yang lebih terbuka terhadap konsep kepemimpinan perempuan cenderung menggunakan pendekatan ”kontekstual” yang berusaha mengaji hadis tidak saja berdasarkan teks, namun juga menggunakan qouly (perkataan), fi’ly (perbuatan), taqrir ( ketetapan) atau segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berdasarkan keadaan saat hadits itu muncul, sesuai dengan arti kata konteks yaitu ”mengacu pada deskripsi atau kalimat yang mendukung atau menambah artinya, atau terkait dengan peristiwa atau keadaan sekitarnya”. Hal ini dilakukan dengan semangat pembaharuan untuk menjawab berbagai tantangan yang timbul di dunia modern saat ini.
Tidak mengherankan apabila ulama kontemporer seperti Asghar Ali Engineer pernah mengkritik penafsiran ulama konservatif terkait istilah ”qawwam” dalam Surah An-Nisa ayat 34 sebagai pemimpin dalam arti luas yang ia pandang sebagai penafsiran yang ”tidak sesuai”. Dia berpendapat bahwa ayat tersebut hanya menggambarkan peran kepemimpinan pria dalam rumah tangga, bukan sebagai larangan bagi wanita untuk memimpin dalam konteks yang lebih luas. Asghar Ali juga menyoroti hadis yang melarang wanita menjadi pemimpin, menyatakan bahwa hadis tersebut lemah dan tidak relevan dengan konteks zaman.
Dalam penafsiran hadis tentang kepemimpinan perempuan dengan pendekatan kontekstual umum, penting untuk mempertimbangkan kondisi sosial pada masa sebelum dan saat Nabi Muhammad SAW hidup. Pada saat itu, di kerajaan Persia belum pernah terjadi pemimpin perempuan, dan perempuan masih tidak mendapatkan penghargaan atau hormat seperti yang seharusnya.
Pada masa pra-Islam, diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan dimana perempuan sering dianggap tidak memiliki nilai. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa sebuah negara yang dipimpin oleh perempuan akan sulit untuk mencapai kesuksesan. Hal ini karena sebuah kepemimpinan memerlukan penghargaan, kehormatan, dan otoritas yang kuat.
Jika perempuan pada masa itu tidak dihargai atau dihormati, maka pemerintahan yang dipimpin oleh mereka kemungkinan besar akan menghadapi kendala dan kesulitan dalam menjalankan tugasnya dengan baik dan efektif. Hal ini tentu berbeda dengan konteks saat perempuan sudah memiliki pengakuan dan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Dia merujuk pada contoh Ratu Balqis dalam Alquran dan Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, yang ikut memimpin pasukan dalam beberapa pertempuran, yang menunjukkan bahwa wanita juga bisa menjadi pemimpin dengan kemampuan dan kualitas yang tepat. Pada era dunia modern pun terdapat perempuan yang menjadi pemimpin negara, seperti PM Pakistan Benazir Bhutto, PM Turki Tansu Ciller, ataupun Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus dilihat dari jender, tetapi dari kemampuan, kualifikasi, dan kompetensi seseorang.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami hadis tentang kepemimpinan perempuan secara kontekstual. Meskipun hadis tersebut memiliki konteks sejarahnya sendiri, namun pemahamannya dapat disesuaikan dengan realitas sosial dan budaya yang ada saat ini. Wanita sekarang telah mencapai posisi dan pengakuan yang lebih tinggi dalam berbagai bidang, sehingga larangan terhadap kepemimpinan wanita harus dipertimbangkan ulang sesuai dengan kondisi zaman. Terlebih lagi di Indonesia, yang memiliki undang-undang yang menjamin kesetaraan jender, termasuk dalam hal menjadi pemimpin daerah. Dengan demikian, kesimpulan dari berbagai argumentasi dan pendapat ulama adalah bahwa kepemimpinan perempuan dalam Islam dapat dipahami secara tekstual maupun kontekstual, namun penting untuk mempertimbangkan konteks zaman dan realitas sosial saat ini dalam menafsirkan ajaran Islam, sehingga wanita dapat memiliki kesempatan yang adil untuk berkiprah dalam kepemimpinan sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi mereka. (*)