Oleh: Halimah Noer
Beberapa hari lagi Ramadan berakhir. Mendekati Hari Raya Idulfitri, arus mudik dipastikan makin padat. Sekalipun liburan sudah dimajukan dan sebagian memilih untuk mudik lebih awal, tetap saja jutaan orang “tumplek blek” di jalanan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Jalanan macet, itu pasti. Sekalipun tiket mudik berlipat-lipat harganya, perjalanan akan sangat melelahkan, waktu perjalanan yang tidak bisa diprediksi, bahkan yang seharusnya bisa ditempuh dengan hitungan jam ternyata bisa seharian, ditambah ada risiko kecelakaan di jalan, kecopetan, dirampok, dan lainnya, ternyata tidak membuat animo umat Islam untuk mudik jelang Idulfitri berkurang.
Ini karena mudik sudah menjadi bagian dari budaya umat Islam negeri ini. Bertemu orang tua, keluarga, dan kerabat adalah sebuah kegembiraan yang tidak tergantikan dengan apa pun dan tidak bisa dinilai dengan berapa pun jumlah rupiah yang harus dikeluarkan.
Sayangnya, fenomena mudik ini juga diwarnai hal-hal yang tidak baik. Misalnya, sebagian keluarga muslim yang memaksakan diri untuk mudik, ada yang nekat naik motor, padahal jarak tempuh cukup jauh dan mereka harus membawa anak-anak yang masih kecil, akhirnya mereka sakit.
Bahkan, beberapa waktu lalu ada kasus bayi terjatuh dari motor tanpa sepengetahuan ibu yang menggendongnya karena sang ibu tertidur ketika motor masih berjalan, hingga cerita lainnya. Fenomena mudik ini juga tidak jarang disertai dengan pelanggaran syariat, baik saat perjalanan maupun saat sudah di kampung halaman. Bagaimana pandangan Islam tentang semua ini?
Mudik Adalah Bagian dari Ibadah
Mudik untuk mengunjungi orang tua, berbuat baik kepada mereka, adalah bagian dari ibadah karena termasuk aktivitas birrul-wālidain yang Allah perintahkan, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, ….” (QS An-Nisa’: 36).
Sekalipun hal itu bisa dilakukan kapan pun tanpa menunggu hari raya, tetapi terkadang kesempatan itu adanya saat hari raya karena sekolah libur, para pegawai negeri maupun pekerja swasta pun libur.
Selain itu, kita juga bisa menjadikan mudik sebagai momen berbuat baik kepada orang tua yang sudah meninggal dengan cara ziarah ke makam mereka, membersihkan makam, dan mendoakan orang tua di makam bersama sama dengan keluarga di kampung. Tentu ini memiliki nilai tersendiri.
Mudik juga menjadi bagian dari ibadah karena bertemu dengan keluarga dan kerabat. Menjalin hubungan baik dengan mereka merupakan bagian dari silaturahmi yang juga Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Abu Ayyub al-Anshari ra. menuturkan, “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah ﷺ, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’ Orang-orang berkata, ‘Ada apa dengannya, ada apa dengannya?’ Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukankah Tuhan bersamanya?” Kemudian beliau ﷺ melanjutkan, “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menjalin silaturahmi.’” (HR Bukhari).
Hadis di atas adalah perintah untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Menjalin silaturahmi ini juga mencakup memberikan sebagian harta kita kepada mereka. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian fakir, maka hendaklah ia memulai (nafkah) kepada dirinya sendiri, jika ia memiliki kelebihan hendaknya ia memberikannya kepada keluarganya, dan jika ia masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kerabatnya.” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).
Dengan demikian, budaya mudik untuk bertemu orang tua, keluarga, serta kerabat, kemudian berbuat baik kepada mereka, adalah suatu aktivitas kebaikan yang bernilai ibadah. Hanya saja, kebaikan dan keberkahan mudik ini bisa hilang dan berganti menjadi keburukan ketika nilai ibadah itu hilang. Lalu bagaimana caranya agar mudik bisa menjadi berkah?
Agar Mudik Menjadi Berkah
Kita perlu bahas terlebih dahulu makna berkah. Kata “berkah, berkat, atau barakah” berasal dari bahasa Arab “al-barakat/al-barkah” yang berasal dari akar kata “baraka”. Menurut para ahli bahasa Arab, di antaranya Ibnu Mandzur, Al-Fayyumi, dan Al-Fairuz Zabadi, kata “al-barakah” menurut arti bahasa adalah ‘berkembang, bertambah, dan kebahagiaan’. Menurut Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.
Dari makna tersebut, bisa dikatakan mudik berkah adalah ketika mudik membawa kebaikan yang banyak dan bersifat abadi (membawa kebahagiaan dunia maupun akhirat). Alhasil, agar mudik menjadi berkah, landasannya harus iman dan pelaksanaannya harus dengan menjaga takwa, yakni sesuai dengan ketentuan syariat.
Allah Swt. berfirman di dalam QS Al-Araf ayat 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, ….”
Artinya, keberkahan mudik akan bisa kita raih saat kita niatkan mudik sebagai ibadah dan pengamalannya sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Kemaksiatan, sekecil apa pun, akan menghilangkan keberkahan dalam mudik kita. Hingga akhirnya yang akan kita dapatkan hanya kegembiraan sesaat, habisnya harta, dan capek serta lelah yang luar biasa tanpa ada nilai sedikit pun di sisi Allah Taala.
Sungguh sayang, padahal, kita bisa meraih dua hal sekaligus dalam mudik ini, yaitu rida Allah karena kita menjalankan ketaatan kepada-Nya dan sekaligus mendapatkan kegembiraan bertemu dengan orang tua, keluarga, dan kerabat tercinta.
Beberapa Ketentuan Syariat Terkait Mudik
Ada beberapa ketentuan syariat yang penting diperhatikan terkait mudik. Di antaranya adalah bahwa harta yang kita belanjakan untuk semua keperluan mudik harus dijaga agar benar-benar dari sumber yang halal. Makanan atau hadiah yang kita berikan kepada keluarga, jika dari sesuatu yang haram, sama saja kita menyiapkan api neraka untuk mereka. Pengelolaan dana mudik yang baik juga harus kita lakukan karena akan menghindarkan kita dari kezaliman. Jangan sampai uang dihabiskan semua untuk mudik hingga tidak tersisa untuk nafkah keluarga.
Selain itu, harus memilih cara mudik yang tidak menzalimi diri dan keluarga. Pilih alat transportasi yang terjangkau, tetapi juga aman dan nyaman. Aman buat fisik kita, juga aman untuk kantong kita. Jika tidak memungkinkan, akan lebih baik menunda mudik, menunggu arus mudik lebih longgar, menunggu kondisi ekonomi memungkinkan, menunggu kondisi fisik kita fit, dan sebagainya. Memaksakan mudik sering berujung derita, malah menzalimi diri dan keluarga.
Hal yang juga sangat penting adalah mengupayakan perjalanan mudik selalu dalam kondisi taat syariat. Kita bisa singgah di masjid-masjid selama perjalanan untuk menegakkan salat fardu maupun sunah. Bahkan, bisa saja salat malam kita lakukan saat mudik.
Kita juga harus tetap santun menghormati orang yang berpuasa ketika kita—misalnya—memilih untuk membatalkan puasa yang dalam hal ini syariat memang memberikan keringanan bagi para musafir untuk tidak berpuasa.
Saat Hari Raya Idulfitri, pilih kegiatan yang tepat dan tidak berbalut maksiat. Hari Raya adalah saat yang ditunggu untuk bertemu keluarga dan kerabat sehingga sebaiknya digunakan untuk acara bersama. Inilah saat yang tepat untuk saling berbagi, baik berbagi harta, berbagi cerita, hingga berbagi ilmu dan berdiskusi mencari solusi dari berbagai masalah di sekitar kita.
Kita juga bisa saling menasihati untuk melakukan berbagai kebaikan dan mencegah dari keburukan. Tentu ini lebih baik dan bernilai daripada berhari raya dengan berjalan-jalan ke tempat wisata. Terlebih, tidak sedikit tempat wisata yang berbalut maksiat, dipenuhi orang-orang berpakaian minim bahkan hampir telanjang, bercampur baur laki-laki dan perempuan, bahkan mereka melakukan berbagai aktivitas yang tidak pantas dilakukan di tempat umum, seperti berpelukan, bermesraan, dan sebagainya.
Sungguh, derasnya arus sekularisasi dan liberalisasi hari ini telah mengubah gaya hidup, pola pikir, dan pola sikap kebanyakan umat Islam. Akibatnya, baru sehari atau dua hari meninggalkan Ramadan yang penuh suasana takwa, umat sudah kembali kepada suasana sekularistik. Taat kepada Allah dianggap cukup dilakukan saat Ramadan.
Oleh sebab itu, sudah saatnya bagi kita untuk merenung, akankah hal ini kita biarkan terulang setiap tahun? Mari kita jadikan mudik lebih bermakna dengan taat syariat. Meniatkannya untuk birrul-wālidain, menjalin silaturahmi dengan keluarga, dan senantiasa terikat dengan semua syariat Allah, baik dalam perjalanan mudik maupun di berbagai kegiatan dan acara keluarga yang digelar saat Hari Raya.
Mudik Berkah Butuh Khilafah
Hanya saja, mudik dalam kondisi tetap taat syariat tidak mungkin bisa dilakukan secara individu semata, melainkan juga perlu peran masyarakat dan negara yang menjadikan akidah Islam sebagai landasannya dan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan. Inilah yang akan menciptakan suasana takwa di masyarakat yang akan memudahkan kita untuk selalu taat syariat di mana pun kita berada, baik di perjalanan mudik maupun ketika sampai di kampung halaman hingga kembali lagi ke rumah.
Walhasil, penerapan syariat oleh negara (Khilafah) akan memastikan ketaatan itu dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan seluruh kaum muslim. tidak akan ada umat muslim yang bersedih saat Hari Raya karena kekurangan maupun kelaparan, ataupun tidak bisa mudik karena tidak punya biaya. Khilafah akan menyediakan jasa transportasi massal yang memastikan semua terangkut dan aman, dengan biaya murah, bahkan gratis bagi siapa pun yang memerlukan.
Khilafah juga akan menerapkan sistem pergaulan islami sehingga tidak akan ada aurat yang diumbar di tempat-tempat umum, tidak ada campur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tidak ada pula tempat-tempat maksiat yang boleh dibuka saat Ramadan maupun pada bulan lainnya. Tidak boleh pula ada satu media pun yang dibiarkan untuk menyebarkan kemaksiatan.
Selain itu, Khilafah akan menjamin keamanan dan memberi perlindungan hingga siapa pun bisa meninggalkan rumah dengan tenang. Mudik pun bisa tenang tanpa takut akan berbagai aksi pelaku kriminalitas. Sungguh rindu rasanya hidup dalam naungan Khilafah.
Oleh karena itu, kita harus berupaya mengubah masyarakat dan sistem negara saat ini menjadi masyarakat dan negara berasaskan Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiah. Ini karena hanya Khilafah Islamiah yang bisa mewujudkan sekaligus menjaga ketakwaan secara berjemaah. Mudik dengan tetap menjaga takwa akan menjadi realitas ketika Khilafah Islamiah telah tegak dan penerapan syariat Islam telah sempurna. Insyaallah. (*)
Sumber: Muslimahnews.net