Ada 8 (delapan) prinsip perencanaan keuangan keluarga yang perlu menjadi pegangan sebuah keluarga :
1. BANGUN KOMUNIKASI YANG SINERGIS DENGAN PASANGAN
Meski merupakan unit kecil, keluarga bisa tetap dianggap sebagai sebuah organisasi. Perlu ada pemimpin, kepala, atau yang berperan sebagai manajer. Di luar itu ada yang menjalani peran sebagai anggota keluarga yang harus siap diatur dan diarahkan. Namun bukan berarti pembagian peran ini menghilangkan komunikasi yang sifatnya dua arah dan timbal balik. Misalkan seorang suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga sekaligus ujung tombak penghasilan keluarga, tetap perlu membangun sinergitas terutama dengan istrinya yang mungkin punya peran lain sebagai pengatur kran pengeluaran. Pihak istri perlu mendapat informasi dari suami sejak awal menyangkut potensi dan besaran penghasilan yang dialokasikan untuk belanja. Dengan mengetahui itu maka istri diharapkan bisa mengukur kekuatan dan kemampuan belanja yang dimiliki keluarganya. Pihak suami juga perlu mendapat informasi dari istri menyangkut kebutuhan ril keluarga, baik yang bersifat rutin, insidental, atau yang jatuh tempo. Dengan mengetahui hal tersebut, maka sangat membantu suami untuk bergerak cepat dan mengambil langkah antisipasi jika ternyata cash out (kas keluar) bakal lebih besar dibanding cash in (kas masuk). Lebih ideal lagi kalau semua hal bisa dibahas bersama. Mulai dari sumber penghasilan, alokasi keuangan keluarga untuk kebutuhan harian, besaran tabungan, pilihan investasi, hingga rencana jangka panjang seperti membeli mobil maupun pendidikan anak. Jika masing-masing punya hobi berbeda yang perlu alokasi pendanaan khusus, maka perlu disepakati anggaran untuk masing-masing agar tidak menjadi sumber perselisihan.
Jadi keputusan keuangan apapun yang diambil sebaiknya dikomunikasikan dengan baik bersama pasangan. Komunikasi yang sinergis menjadi kunci utama agar semuanya dapat sejalan, selangkah, sevisi, dan semisi dalam pengelolaan keuangan, sehingga tujuan dan mimpi keluarga dapat tercapai. Komunikasi yang baik juga bisa menghilangkan sifat saling curiga. Sebaliknya akan terbangun sikap saling percaya yang sangat dibutuhkan untuk menjalankan perencanaan keuangan keluarga secara baik.
2. BELANJA JANGAN MELEBIHI PENDAPATAN
Jangan pernah belanja melebihi pendapatan. Pribahasanya, lebih besar pasak daripada tiang atau istilahnya penghasilan cuma segini, tapi penghasilan sampai segitu. Jika itu yang terjadi, berarti keuangan keluarga kita sudah pasti berantakan, amburadul dan bakal hancur lebur. Tapi memang disadari bahwa menjalankan prinsip ini tidak mudah. Apalagi di era digital seperti sekarang ini, dimana akses informasi begitu mudah dan sangat terbuka. Media penyaluran dan penyedia informasi juga sangat beragam. Mulai dari bisik-bisik tetangga, obrolan teman, media cetak, televisi, sampai media internet yang bisa diakses menggunakan gadget/smartphone masing-masing. Kekuatan invasi dan infiltasi informasi memang luar biasa sampai bisa menembus ruang-ruang privat seperti dapur hingga kamar tidur seseorang. Sehingga untuk mendapat informasi tak lagi harus secara aktif mencari, tapi dengan cara pasif pun informasi itu bisa datang sendiri menyapa kita. Masalah besarnya adalah ketika informasi yang diterima sebenarnya bukan hal yang dibutuhkan. Produk jualan yang melintas di akun sosmed kita bukanlah prioritas untuk dibeli. Namun apa daya, akibat terpengaruh iklan yang menarik, ditambah potongan diskon besar dan janji give away, maka tidak sedikit warganet khususnya pengguna sosmed, yang niat awal membuka akun sosial sebatas ingin membaca status saja tapi saat sign out ternyata sudah berstatus sebagai buyer (pembeli) dari sebuah transaksi onlineshop.
Akhinya untuk bisa memegang prinsip ini, mau tidak mau harus kembali kepada penguatan perspektif tentang kebutuhan. Perlu kesadaran besar bahwa sebuah keluarga sebenarnya bisa tetap eksis dan berjalan baik, cukup dengan ditopang oleh pemenuhan kebutuhan yang bersifat pokok dan mendasar. Maka harus tetap fokus pada list belanja kebutuhan tersebut, apalagi jika kekuatan keuangan kita berada pada titik kritis. Posisi cash in hanya berlebih tipis dari posisi cash out, berarti jika volume belanja bertambah sedikit saja, sudah bisa membuat oleng cashflow keuangan keluarga.