3. HINDARI KEBIASAAN BERUTANG
Awalnya mungkin karena alasan terdesak, maka tidak ada pilihan lain kecuali berutang. Berhubung jalan utang ini sudah pernah ditempuh, membuat pikiran menjadi sempit, setiap ada masalah keuangan, solusi yang ada dibenak cuma satu, yakni dengan berutang. Akhirnya karena keseringan, berulang-ulang, jadinya terlatih dan menjadi “profesional”. Orang seperti ini bisa dianggap sudah berkarakter sebagai pengutang. Berutang sudah menyatu menjadi kebiasaan (habits). Menjadikan utang sebagai kebiasaan berarti posisinya sudah sangat berbahaya. Utang sudah menjadi gaya hidup. Utang sudah menjadi sikap yang bisa muncul begitu saja secara otomatis. Berutang bukan lagi semata karena diperhadapkan oleh keadaan yang mendesak, tapi ada yang terasa merenggut kebahagiaan kalau tidak punya catatan utang.
Soal bahaya dan mudharat utang ini sebelumnya sudah dibahas lebih luas pada tulisan pertama, pada topik menjernihkan perspektif tentang utang. Sehingga diharapkan tentang prinsip perencanaan keuangan keluarga yang tanpa utang, bukan lagi menjadi hal yang kabur. Maka pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab kali ini adalah, apakah bisa menghindari utang? Bagaimana caranya tidak berutang? Jawaban dari kedua pertanyaan ini adalah bisa dan itu mudah. Cukup patuhi prinsip pada prinsip nomor 2 (dua) diatas, yaitu belanja jangan melebihi pendapatan. Itu saja
4. RANCANG POLA HIDUP SEDERHANA
Pola hidup sebuah keluarga sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain soal paradigma atau perspektif, juga bisa dipengaruhi oleh faktor yang lain, seperti besar kecilnya jumlah penghasilan. Sebuah keluarga dengan penghasilan diatas 10 juta mungkin punya struktur belanja yang berbeda dengan kelompok keluarga berpenghasilan dibawah 10 juta. Pada kelompok yang pertama, struktur rencana belanja bulanan bisa saja terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Adapun pada kelompok yang kedua, struktur rencana belanja bulanan mungkinhanya terbagi 2 (dua), yaitu kebutuhan primer dan sekunder saja. Adapun kebutuhan tersier ditempatkan dalam struktur rencana belanja yang bersifat tahunan. Perbedaan seperti ini bukan hal yang ingin dipermasalahkan dalam bahasan ini. Sangat bisa dimengerti bagi yang berkemampuan lebih, akan punya orientasi dan preferensi belanja dengan standar yang lebih tinggi. Misalkan dalam memilih produk yang dibutuhkan, tidak lagi semata mempertimbangkan fungsi tapi juga aspek kenyamanan. Sikap yang tidak direkomendasikan bagi yang berkemampuan pas-pasan. Jadi selama masih dalam batasan yang wajar dan tidak sampai memaksakan diri maka kecenderungan seperti yang disebutkan tadi bukanlah persoalan berarti.
Jadi hidup sederhana yang dimaksud dalam hal ini adalah hidup yang sesuai kebutuhan. Ada takaran dan ukuran kemampuan keuangan, juga ada objektivitas menilai kebutuhan. Pola hidup sederhana adalah yang tidak berlebihan-lebihan sehingga jatuh dalam tindakan mubazir. Tidak juga berfoya-foya (tarf) dengan menghamburkan harta pada hal-hal yang sifatnya justru mendatangkan dosa dan kehancuran. Namun demikian, hidup sederhana bukan berarti juga membuat diri kita tersiksa. Dengan alasan hidup sederhana, membuat leher sering terbelunggu menahan lapar dan haus, padahal uang untuk itu ada. Dengan alasan penghematan, beberapa perabot vital yang sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, tidak pernah serius dibeli padahal anggaran untuk itu bisa diadakan. Pola hidup sederhana tak perlu juga seperti itu. Semua kebutuhan, terutama yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup tetap harus dipenuhi. Preferensi khusus dalam pemenuhan kebutuhan juga tidak masalah selama ada kemampuan. Tapi yang paling ideal adalah ketika kebutuhan kita bisa terpenuhi dengan baik dan disisi lain masih ada kelebihan yang bisa digunakan untuk berbagi manfaat kepada sesama.