OPINI– “Sebagian besar lapangan pekerjaan manusia akan direbut oleh AI”. Ungkapan yang saya dapatkan dari seorang tokoh pebisnis terkemuka yang bernama Jack Ma.
Belakangan AI memang mulai memperlihatkan eksistensinya. Terutama di Indonesia, yaitu melalui salah satu saluran TV nasional yang mempertontonkan pembawa program acara televisi yang lazimnya dilakukan oleh seorang manusia saat itu digantikan dengan penggunaan AI. Akibatnya, kini marak berita yang mewartakan pekerjaan-pekerjaan yang akan tergantikan oleh AI.
Sebenarnya, AI bukanlah hal yang baru. Ia telah ada sejak dimulainya perkembangan komputer digital pada tahun 1940-an. AI atau Artificial Intelligence yang secara sederhana sering disebut sebagai kecerdasan buatan yang tercipta dari buah karya manusia itu sendiri. AI memiliki kemampuan yang dapat menggeser peranan manusia dalam mengerjakan berbagai tugas. Salah satu contoh yang barang kali pernah dilihat bersama adalah keberadaan robot yang menggantikan tugas pelayan disalah satu restoran.
Dengan menghangatnya kembali berita tentang penggunaan AI, tentu saja menimbulkan sebuah kecemasan dari para pekerja (manusia) terhadap posisi mereka saat ini. Meski demikian dan jika hari itu memang betul akan terjadi. Menurut saya, tetap akan ada pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh AI, ialah Guru. Mari kita lihat.
AI dengan segala kelebihan dan kecerdasannya hanya akan mampu menyaingi atau bahkan melebihi manusia dalam aspek rasionalitas. Ia tidak akan pernah sampai pada aspek keluhuran manusia yaitu tentang moralitas.
Guru merupakan seorang yang bertanggung jawab atas proses pendidikan seorang murid. Dalam proses tersebut, Guru tidak hanya sekedar mengajari murid yang menyisir pada daya akal semata (mendidik anak pintar). Tapi lebih dari itu, Guru merupakan manusia yang memiliki sifat luhur (moral) yang harus diajarkannya. Ia menjadi sebuah role of model bagi seorang murid. Yang secara sederhana merupakan sebuah usaha untuk membimbing dan menanamkan nilai-nilai moral kepada diri manusia.
Sebenarnya, dalam hal ini. Saya bukannya hendak membenturkan kedua hal tersebut seakan-akan yang satu memberi efek negatif terhadap yang lainnya. Akan tetapi, saya berkeyakinan bahwa peranan seorang Guru tidak dapat digantikan oleh AI . Oleh karena itu, Guru tenang saja, tidak usah cemas.
Bahkan dengan kehadiran AI pekerjaan Guru akan lebih cepat. Oleh salah satu petinggi Google mengatakan bahwa “Dengan penggunaan AI, Guru dapat membuat rencana belajar dalam 20 menit. Sehingga Guru bisa lebih fokus dalam membuat pengalaman dalam kelas, fokus menyediakan dukungan kepada murid. Dan itu tidak bisa digantikan oleh AI”. Terang Shantanu Sinha dalam sebuah akun instagram Narasinewsroom, Selasa (22/05/2023).
Oleh karena itu, pekerjaan sebagai seorang Guru jika diartikan sebagaimana demikian akan sulit digantikan oleh AI. Membayangkan hal itu terjadi, memicu banyak pertanyaan. Bagaiamana AI dapat memahami keadaan (jiwa) seorang murid? kondisi sosial, ekonomi, keluarga dan lain sebagainya. Barangkali AI mampu memberikan solusi, layaknya hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang murid untuk bisa mengatasi masalah yang meraka alami. Tapi murid adalah manusia yang memiliki kompleksitas perasaan. Ia membutuhkan semacam pembinaan, pemeliharaan, bimbingan untuk mencapai nilai kesadaran yang berkaitan dengan tuntutan moral. Gurulah yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab moralitas terhadap seorang murid.
Berbeda halnya jika seorang Guru hanya sekedar mentransfer pengetahuan yang dia miliki, tanpa sedikitpun memperhatikan aspek moralitas. Maka bukan sebuah kemustahilan AI kapan saja bisa menggeser peranan seorang Guru. Oleh karenanya, Hidar Bagir dalam tulisannya mengatakan “Dalam hal rasionalitas (kecerdasan), AI tampil sebagai penantang berat dan bisa jadi tak terkalahkan”. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.