OPINI — Aktivitas dakwah merupakan bagian terpenting dalam Islam dan merupakan keniscayaan. Keniscayaannya membutuhkan pemahaman mendalam mengenai konten dan objek dakwah agar dalam penerapannya mampu menginspirasi orang mengamalkan ajaran Islam secara benar dan sungguh-sungguh serta menghidupkan kesadaran.
Dalam berdakwah yang dibutuhkan bukan sosok manusia yang “mati rasa” dan “tuna budaya”, mencampuradukkan antara “ceramah agama” dengan “ilmu agama”. Mereka menggunakan majelis ceramah agama sebagai panggung ‘fatwa’(dalam tanda petik) yang tidak mencerdaskan dan tidak mencerahkan umat. Singkatnya, ‘dakwah’ (dalam tanda petik) yang memecah belah umat.
‘Dakwah’ yang secara sosiologis semakin mempersubur intoleransi. ‘Dakwah’ yang tidak mampu mendamaikan per-(pem)-bedaan, benturan soal adat istiadat, dan upacara ritual. ‘Dakwah’ yang tidak mengedepankan prinsip saling pengertian (mutual understanding). ‘Dakwah’ yang tidak mampu memahami keniscayaan pluralitas, keragaman dan kemajemukan. ‘Dakwah’ yang kurang berhasil memanfaatkan “energi sosial” guna meretas problematika umat manusia. Ringkasnya, ‘dakwah’ yang tidak berjalan secara lebih proporsional, dewasa dan inklusif.
Seorang penganjur kebaikan, dalam menyampaikan ajaran agama, tidak cukup hanya “cenderung ke ilmu”, tetapi ia mesti “mematangkan ilmu”. Materi dakwah yang disampaikan bukan hanya murni hasil bacaan dari buku atau textbook, tetapi mesti memahami kebutuhan dan mengerti budaya masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya. Bahkan secara esensial dakwah mesti melibatkan dialog produktif yang sarat wisdom, keramahan dan dilakukan secara persuasif.
Alquran telah banyak memberikan resep untuk menyembuhkan penyakit-penyakit masyarakat. Sebagai basis utama kegiatan dakwah, Alquran menyuguhkan tiga pendekatan dalam berdakwah, meminjam terjemahan Ach. Dhofir Zuhry, yaitu: al-hikmah (filosofis), al-maw’izhah al-hasanah (pembelajaran etis), dan al-jidâl al-ahsan (perdebatan elegan). Ketiga pendekatan ini termaktub dalam QS. al-Nahl [16]:125 dengan terjemahan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Ayat ini meletakkan pondasi dakwah sebagai pijakan bagi umat dalam mengemban amanah dakwah. Dakwah dilakukan dengan pendekatan filosofis (bi al-hikmah). Dakwah bi al-hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkaitan rahasia, manfaat dan tujuan dari wahyu; pengetahuan tentang suasana dan kondisi yang mengitari masyarakat; kemampuan memilah dan memilih konten dakwah yang sesuai dengan daya serap akal dan jiwa; memiliki kompetensi untuk menerapkan metode dan style dalam menyuguhkan bahan-bahan dakwah agar objek dakwah mudah menerima pesan-pesan keagamaan dan ajaran agama.
Dakwah juga dilakukan dengan pendekatan pembelajaran etis (maw’izhah hasanah) yang diterima dengan lembut oleh hati mad’uw (objek dakwah) namun berkesan di dalam hati mereka. Sederhananya, dakwah tidak menimbulkan rasa gelisah, cemas, takut dan melukai hati. Dakwah dengan pendekatan pembelajaran etis dituturkan dengan bahasa yang lembut sehingga memberikan ketenteraman dan kesejukan, bukan malah kekerasan dan umpatan. Pendeknya, seorang penganjur agama (dai) memiliki kemampuan merancang dan mengolah materi dakwah yang menyenangkan agar objek dakwah termotivasi untuk melakukan ketaatan.
Pendekatan lain dari dakwah adalah perdebatan elegan(al-jidâl al-ahsan). Perdebatan yang dapat menghalangi munculnya kesombongan dan ketinggian hati dengan cara menghadapinya secara santun dan beretika, baik tutur kata, bahasa, atau sikap yang lebih baik agar objek dakwah mudah menemukan kebenaran dan mampu mencerahkan mereka ke jalan Allah SWT. Pendeknya, dakwah yang santun dan beradab sebagaimana syiar (baca: tagline) IAIN Parepare: “Malebbî WarEkkadâna, MakkEâdde’ AmpÊna” (Santun dalam Bertutur, Sopan dalam Berperilaku).
Ulama dan para kyai di pondok dalam mendidik dan mendisiplinkan pengamalan ajaran agama khususnya fiqhi, shalat misalnya, memang menerapkan aturan dan tata tertib yang ketat, bahkan ada sanksinya. Bagi santri yang terlambat bangun sesudah panggilan shalat (adzan) shubuh telah dikumandangkan akan menerima sanksi disiram air; masbûq (terlambat satu atau beberapa rakaat shalat) juga mendapatkan sanksi. Namun kepada tetangga atau masyarakat, sanksi seperti itu, tidak bisa diterapkan. Pendekatan ilmu dakwah yang lebih dominan digunakan ketimbang pendekatan ilmu fiqhi.
Seorang ‘âlim yang turun berdakwah ke “komunitas teler” (baca: masih suka mengonsumsi minuman beralkohol); menemukan orang yang shalatnya masih bolong-bolong, hanya satu kali sepekan (shalat jum’at) atau tidak shalat sama sekali; dan berbagai macam pelanggaran agama yang diperagakan, karena dia ‘âlim dan memiliki pemahaman mendalam terkait ilmu dakwah dan ilmu fiqhi serta punya kebijaksaan tingkat tinggi, maka dalam meluruskan kekeliruan orang/masyarakat, ia tidak langsung mengharamkan-haramkan, mengkafir-kafirkan, dan memvonis orang/masyarakat tempatnya neraka.
Pendekatan yang digunakan untuk mengubah kebiasaan buruk orang/masyarakat, adalah pendekatan ilmu dakwah, bukan pendekatan ilmu fiqhi. Misalnya, kepada orang/masyarakat yang masih terbiasa “teler” setiap hari, dikatakan sebaiknya minum minuman kerasnya sekali sepekan saja. Kepada orang/masyarakat yang shalatnya hanya sekali seminggu, dikatakan akan lebih baik kalau shalatnya dua atau tiga kali dalam sepekan. Ajakan atau imbauan seperti ini bukan dimaksudkan untuk merusak ilmu fiqhi, tetapi bertujuan untuk mengondisikan secara psikologis orang/masyarakat agar memiliki kesadaran untuk mendekatkan diri pada ilmu fiqhi dengan menggunakan pendekatan ilmu dakwah.
Dengan ungkapan lain, jika kondisi masyarakat tidak dikenal dan dimengerti, maka sekalipun ia menamakan dirinya sebagai orang yang melakukan amar makruf, namun boleh jadi ia mengalami lompatan-lompatan akrobatik (berbahaya) dan berefek negatif atau hendak memaksakan sesuatu yang sebetulnya tidak bersesuaian dengan zaman dan tempat. Kondisi demikian bisa membuat frustrasi yang melahirkan reaksi dalam bentuk jengkel dan tidak sabar yang pada akhirnya menciptakan manusia ekstrem yang di dalam kamus hidupnya hanya mengenal sumpah serapah, membid’ah-bid’ahkan, menyalahkan, bahkan mengkafir-kafirkan sesama muslim. Mengapa begitu? Karena mereka tidak lagi mampu membedakan mana yang makruf dan mana yang munkar. Mana kebaikan yang sifatnya universal (al-khayr) yang tidak terikat oleh ruang dan waktu; dan mana kebaikan yang telah menjadi adat manusia yang terkait dengan ruang dan waktu (al-Ma’rûf) dan kebaikan itu merupakan pengejawantahan dari al-Khayr yang bersifat universal. Karena itu, bukan sebuah kekeliruan jika dikatakan bahwa konsep al-Ma’rûf itu bisa berubah sesuai tuntutan zaman dan tempat serta peradaban manusia dengan catatan selama tidak melawan arus dan bertentangan dengan konsep al-Khayr, kebaikan universal.
Pertanyaannya, bagaimana cara memastikan seorang penganjur agama apakah ia sedang berdakwah atau ‘berfatwa’? Apakah ia “mati rasa” dan “tunabudaya”? Jawabannya sederhana, jika ia senang mencaci maki dan kurang ajar kepada ulama, maka pastikan bahwa ia termasuk mengidap penyakit “mati rasa” dan “tunabudaya”, karena ia belum mampu menjadikan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi saw. sebagai basis utama dalam kegiatan dakwahnya; belum mampu mengamalkan keduanya dengan sepenuh hati dan belum bijak dalam menyikapi keadaan dan kondisi objek dakwah. Anda di mana?[*]
HP/ WA Budiman Sulaiman : 0852-5502-8555
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.