Saya tidak tahu, siapa yang mempunyai prakarsa gerakan pengumpulan koin untuk membantu Pemerintah Kota Parepare yang diberitakan tidak bisa membayar hutang-hutangnya. Jika gerakan ini lahir dari hati yang tulus dari menginisiatifnya, gerakan ini sangat menyentuh perasaan, karena sebagai warga kota yang baik, telah ikut solider dan berpartisasipasi menanggulangi kesulitan pemerintah kota. Memang, jikapun semua koin yang beredar di kota Parepare terkumpul habis, tetap tidak akan bisa melunasi hutang pemkot yang jumlahnya milyaran rupiah itu. Tetapi untuk sekedar membantu meringankan beban pemerintah kota, apa salahnya. Gerakan pengumpulan koin, pernah terjadi pada kasus pasien Prita di Jakarta melawan sebuah managemen rumah sakit yang berhasil menuntutnya lewat pengadilan, dan pengumpulan koin dari masyarakat berhasil sangat efektif. Dalam kasus Prita, pengumpulan koin atas inisiatif masyarakat adalah symbol sebuah gerakan melawan ketidakadilan dan kesewenagan keputusan pengadilan dan kuasa para pemilik modal besar.
Kemungkinan lain yang terjadi, gerakan mengumpulkan koin untuk membantu Pemkot Parepare adalah sebuah sarkasme atau sindiran yang tajam kepada Pemkot Parepare dan birokrasinya yang tidak hati-hati mengelola keuangan. Paling tidak, kurang mengantisipasi kebijakan pemerintah pusat yang melakukan pengetatan anggaran, walaupun dari segi lain, pemerintah pusat “mabuk” membangun infrasturktur untuk pencitraan penguasa.
Jika betul ini hanya sebuah sarkasme, maka gerakan ini berhasil dengan jitu memancing perhatian media, baik tingkat daerah, nasional maupun media social. Kenapa saya katakan demikian, karena dalam beberapa hari ini, saya mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari kawan-kawan di Jakarta, menanyakan cerita gerakan pengumpulan koin ini dan gagalnya pemkot Parepare dalam pengelolaan keuangan (ada yang menulis lebih kasar “bangkrut”) . Terlepas hal ini bukanlah masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh pemkot dan hanya dilebih-lebihkan, sarkasme ini sangat jitu.
Sebuah sarkasme memang selalu dahsyat, saya teringat kawan saya Soe Hoek Gie (almarhum), tahun 1966 yang tidak henti-hentinya berbicara, mengenai situasi pergerakan mahasiswa ketika itu. Ia selalu berbicara mengenai perlunya membuat jejaring dari gerakan moral yang mendesak dilaksanakan. Waktu itu, peran mahasiswa setelah turut berahasil menumbangkan pemerintah orde lama, memang jadi terkenal dan bergengsi. Apapun kegiatan mahasiswa, apalagi yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sangat dihargai dan selalu menarik perhatian masyarakat. Para pemimpin mahasiswa kemudian masuk keberbagai lembaga yang bersinergi dengan kekuasaan. Sejumlah pemimpin mahasiswa direkrut masuk lembaga legislatif, sejumlah lainnya ikut dalam lembaga yang didirikan oleh Kolonel Ali Murtopo yang menjadi Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Hoek Gie, walaupun salah seorang aktivis yang turut menentang komunisme PKI dan kekuasaan Soekarno ketika itu, tetapi kehadirannya, tidak pernah mewakili lembaga-lembaga mahasiswa yang ada. Ia selalu muncul atas nama kelompok kecil atau pribadinya .
Sebagai seorang anak muda yang kritis dan idealis, Hoek Gie pernah memberikan peringatan kepada pemimpin-pemimpin mahasiswa yang menjadi anggota legislatif awal Orde Baru. Para pemimpin mahasiswa yang mendapat fasilitas sebagai wakil-wakil rakyat, mulai tergoda dan terbuai masuk dalam lingkaran politik praktis. Pada suatu hari, Hoek Gie mengirimkan kepada semua pemimpin mahasiswa di DPR sebuah bingkisan berisi cermin dan lipstik. Maknanya untuk menyadarkan para pemimpin mahasiswa itu bahwa bercerminlah siapa diri Anda dan jangan lupa diri. Jangan hanya tahu berdandan dan menjadi pesolek, bersenang-senang, sementara rakyat masih menderita. Sindiran dengan mengirim cermin dan lipstik kepada aktivis mahasiswa yang menjadi anggota legislatif, sebuah sarkasme yang dahsyat. Ketika itu masyarakat kembali tersadar untuk mendudukkan bagaimana sebenarnya peranan mahasiswa pasca tumbangnya Orde Lama.
Di masa itu, memang berbagai argumentasi mengenai peranan mahasiswa dan pelajar pasca tumbangnya Orde Lama. Arif Budiman (Soe Hoek Djin) kakak kandung Soe Hoek Gie misalnya berpendapat bahwa gerakan mahasiswa pada waktu itu hanyalah gerakan moral. Gerakan mahasiswa dianalogikan seperti seorang tokoh penyelamat dalam sebuah filem koboi. Tokoh itu datang pada sebuah kota yang sedang kacau balau dan dikusai sebuah geng penjahat. Setelah semua penjahat dilumpuhkan dan keamanan di kota itu sudah dipulihkan, maka sang tokoh sudah harus pergi. Mungkin sebuah tugas lain akan menanti lagi. Sang tokoh tidak harus tinggal terus menerus di kota itu, karena bisa menjadi pamrih. Padahal gerakan mahasiswa, bagaimana dahsyatnya peran mereka, sebatas hanya gerakan moral. Mereka tempatnya di kampus dan tidak tinggal untuk menikmati hasil jerih payahnya. Hal seperti inilah yang diharapkan Arief Budiman kepada organisasi mahasiswa seperti KAMI. Setelah bersama beberapa unsur masyarakat berhasil menjatuhkan pemerintahan Soekarno, maka sebaiknya KAMI dibubarkan. Jika tetap dipertahankan, dikhawatirkan para aktivis KAMI akan ikut terbawa arus kekuasaan dan kembali mempraktekkan hal-hal yang justru mereka telah kritik dan dobrak.
Pangeran Diponegoro juga terkenal dengan sarkasmenya selama melancarkan Perang Jawa melawan kolonialisme Belanda dan Inggris. Setiap ia mendengar ada tumenggung atau panglima perangnya di daerah lain, kalah perang atau tidak berani melakukan penyerangan, maka ia akan mengirim kepada panglima perangnya celana dalam wanita.
Sarkasme atau bukan kepada birokrat dan pemimpin kita, masyarakat memang seharusnya selalu berpartisipasi dalam melakukan kontrol atas kinerja para anggota legislatif atau birokrat dan pemimpin yang mengambil kebijakan. Pembangunan kota memang bukan dengan “lipstik” atau gincu saja, tetapi bagaimana pembangunan itu berdampak baik kepada warganya. Berdampak terhadap kemajuan ekonominya, kesejahteraannya, rasa percaya dirinya, kebanggaan bersama mengenai kotanya. Membangun kota tidak hanya fisik dan material, tetapi percikan imajinasi masa depan yang hebat. Memicu semangat, visi besar, impian bersama seluruh warga kota, bukan hanya visi birokrasi yang “tidak” dikontrol wakil rakyat atau “tidak mau” dikontrol wakil rakyat.
Sarkasme sebagai sebuah sindiran hasiLnya memang efektif, ini pertanda warga kota jangan takut mengeritik, karena hal ini untuk kebaikan bersama. Kritik sosial tidak perlu selalu unjuk rasa yang menghabiskan energi dan fisik , tetapi juga melalui sindiran atau sarkasme.
Rakyat kecil di Jawa masa kerajaan masih mengendalikan semua kehidupan rakyat, jika rakyat ingin mengadu kepada raja, mereka melakukan gerakan “pepe”, dengan cara bergerombol duduk di alun-alun depan istana, tanpa berkata apa-apa. Jika terjadi demikian, raja akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak dikehendaki rakyatnya.
Sarkasme sebagai sebuah bentuk sindiran, kritik membangun jangan dianggap penghinaan. Selagi ada sarkasme dari rakyat, artinya rakyat masih punya kepedulian. Tetapi, sarkasme tidak ada artinya, jika pemimpin tidak pernah mawas diri dan peka atas suara serta keinginan rakyat.
Andi Makmur Makka
Budayawan/Penulis/Sastrawan
Asal Parepare yang tinggal di Jakarta